Jangan Ada Politisasi di Balik Pengakuan Presiden Jokowi Atas Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Jakarta-Pernyataan resmi Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebagai kepala negara yang mengakui dan menyesalkan telah terjadi pelanggaran HAM berat setidaknya dalam 12 peristiwa konflik di masa lalu, pada realitasnya mengundang reaksi dari berbagai pihak, terutama dari kalangan saksi dari terjadinya peristiwa tersebut, di antaranya adalah Amelia Yani Putri Almarhum Jendral TNI-AD Ahmad Yani yang gugur pada peristiwa berdarah 30 September 1965 silam. Kepada wartawan yang menghubunginya, ia mengatakan bahwa jika mengingat peristiwa tragedi berdarah 1965, yang diakui oleh Pemerintah Jokowi sebagai pelanggaran HAM berat, maka tidak bisa dilepaskan dan tidak bisa dilupakan oleh para keluarga anak-anak yang para orang tuanya telah dihabisi di luar batas-batas perikemanusiaan. Akan tetapi terkait peristiwa itu, dirinya sudah berusaha bersama Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) untuk melakukan rekonsiliasi dengan pihak yang orang tuanya terlibat dalam peristiwa HAM berat 1965 yakni PKI dan juga dari keluarga Pemimpin Besar Revolusi/Presiden Pangti ABRI Sukarno.

“Terkait peristiwa tersebut, semua tercantum dicatatan ayah saya yang ditulis dengan tulisan tangan beliau tentang PKI dan Presiden Pangti ABRI, namun anehnya, apa yang terjadi saat itu, kemudian divisualkan dalam film Penghianatan G30S/PKI, dilarang diputar selama hampir 18 tahun dengan maksud masyarakat Indonesia melupakan peristiwa tragedi nasional. Sekarang ketika film diputar kembali saya merasakan generasi usia antara 25-40 tahun adalah yang haus akan kebenaran peristiwa tersebut yang selama ber tahun-tahun diusahakan untuk dilupakan, padahal semestinya semua itu harus di buka. Adalah tugas saya untuk membuka semua catatan ayah saya seperti soal Dewan Jendral, Dokumen Gilchrist Jenderal-jenderal Pentagon berkulit sawo matang penghianat kata DN Aidit dll, supaya dari generasi ke generasi Fakta Sejarah itu tidak boleh dilupakan, bukan untuk mewariskan konflik tapi untuk mencegah agar tidak terulang kembali konflik tersebut,” ungkap Amelia Yani kepada Awak media, Kamis, 19/1/2023.

Propaganda PKI sangat masif lanjut Amelia Yani, dan saat itu juga dipercaya oleh Presiden Sukarno, merupakan fakta sejarah tak terbantahkan, menjadi bibit awal pemicu terjadinya Malapetaka 30 September 1965 silam, namun anehnya, malapetaka yang diciptakan oleh mereka yang ingin mengubah ideologi Pancasila itu, justru sekarang negara menyatakan bahwa negara mengakui dan menyesalkan peristiwa tersebut menjadi salah satu pelanggaran HAM berat di masa lalu, bahkan Tim yang dibentuk pemerintah Jokowi itu, akan menulis ulang sejarah?! Kalau bicara mengakui harusnya sudah dari dulu, kemudian menyesali telah terjadi peristiwa-peristiwa tersebut, menyesal kepada siapa?

“Menurut saya, pernyataan Presiden tersebut hanya kulitnya tapi tidak lebih ‘in depth’ atau mendalam, dan menyerahkan kepada Menkopolhukam untuk memfollow upnya. Seharusnya Forum Silaturahmi Anak Bangsa (FSAB) dilibatkan dalam Tim, karena FSAB telah memulainya, dan fakta-fakta sejarah 1965 saya memiliki tulisan ayah saya, kemudian juga catatan jalannya sidang Mahmilub berikut hasilnya, serta banyak lagi dokumen-dokumen serta para nara sumber yang masih hidup bisa dilibatkan. Penulisan Sejarah mau diulang? Mau seperti apa? Mau dibalikkan untuk kepentingan pihak lain? Justru hal ini akan menimbulkan gejolak dalam masyarakat yang lebih besar, untuk itu Menkopolhukam sebaiknya berhati-hati dalam melangkah, dan jangan ada muatan politis apapun dibalik maksud tersebut,” tukas Amelia Yani.

Amelia Yani juga mengatakan bahwa jika ingin menulis ulang sejarah, terutama mengenai peristiwa 1965 sampai dengan peristiwa jatuhnya Presiden Soekarno, maka harus ditulis secara komprehensif, misalnya saja, apa yang terjadi di tahun 1966, perlu diungkap di tahun 1966 telah terjadi demonstrasi besar-besaran yang dimulai sejak Desember 1965 oleh mahasiswa KAMI, dirinya pun ikut sebagai Ketua KAPPI setiap hari demo didepan Istana Negara meminta pertanggung jawaban Presiden Sukarno tentang peristiwa 1 Oktober, juga tuntutan TRITURA; yakni Bubarkan PKI, ‘Recall’ Kabinet 100 Mentri, dan Turunkan harga beras. Nah, itu fakta tak terbantahkan bahwa di Tahun 1965-1966 dapat dikatakan Bangsa Indonesia mengalami kemiskinan luar biasa, inflasi 650%, rakyat miskin, politik dan ekonomi hancur.

Semua itu, lanjut Amelia Yani, terjadi di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno, Apakah Presiden Sukarno itu sedemikian ‘untouchable’ dan perbuatannya dibolehkan rakyat? Sementara rakyat Indonesia miskin? Sampai akhirnya keluarlah Surat Perintah 11 Maret kepada Letnan Jenderal Suharto yang esok harinya 12 Maret 1966 PKI dan seluruh ormas-ormasnya dibubarkan.

“Mengapa hal ini tidak pernah ditulis, saat itu negara kacau balau, ideologi Pancasila mengalami ancaman nyata, digerus dan bahkan mau diganti oleh kalangan komunis beserta antek-anteknya, ini fakta sejarah yang obyektif dan tidak ada rekayasa, sehingga sesungguhnya penulisan sejarah yang diulang apanya, itu benar-benar terjadi, jadi mau ditulis ulang? Silahkan kalau mau menulis ulang sejarah, tapi ingat, jangan sampai penulisan ulang sejarah itu justru bisa menciptakan konflik dan mewarikan konflik, yang sangat kontradiksi dengan visi, misi dan perjuangan FSAB yang sejak tahun 2003 menerapkan pola silahturahmi sebagai wahana rekonsiliasi, serta memperjuangkan agar tidak mewariskan konflik,” tegas Amelia Yani.

Sementara itu, dihubungi secara terpisah, Martinus Johan Mosi salah seorang korban Malapetaka Mei 1998 silam, kepada wartawan ia mengatakan bahwa di setiap peristiwa konflik yang terjadi di masa lalu, pastinya terdapat dua kubu berseberangan, yakni pelaku dan korban, masing-masing pihak tentunya menyimpan sakit hati, dendam dan bahkan trauma yang tidak mungkin bisa disembuhkan, sehingga menjadi sesuatu peristiwa yang bisa saja diwariskan oleh generasi selanjutnya.

“Nah kalau itu terjadi, maka kehidupan berbangsa dan bernegara di negeri ini akan terganggu, dan negeri ini tidak akan bergerak maju ke masa depan, karena tidak bisa beranjak dari dendam terhadap peristiwa konflik yang terjadi di masa lalu. Nah, inilah kemudian menjadi pembahasan serius di FSAB sebagai organisasi yang mendasarkan diri pada gerakan moral perubahan ‘mindset’ untuk berusaha menghilangkan rasa dendam turunan dari semua pihak yang terlibat konflik sehingga menimbulkan tragedi kelam dalam sejarah bangsa Indonesia,” ungkap Martinus Johan Mosi kepada awak media, Sabtu, 21/1/2023 di Jakarta.

Menurut Martinus Johan Mosi, ketika ia mengalami peristiwa malapetaka di bulan Mei 1998 silam, yang merupakan tragedi bagi kelompok minoritas etnis Tionghoa, yang saat itu menjadi sasaran amuk massa, dan juga menjadi target tindak kejahatan seperti penjarahan, pembakaran, intimidasi dan bahkan diduga terjadi pembunuhan maupun pemerkosaan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab, tentu saja peristiwa itu sangat membekas menyakitkan bagi dirinya. Kemudian dirinya pun sangat berharap agar kasus ini diungkap, ditangkap, diadili dan dihukum para pelakunya, namun setelah puluhan tahun peristiwa itu terjadi, didorong oleh rasa kemanusiaan yang diyakininya sebagai pengamalan sila ke 2 Pancasila, maka muncul dalam dirinya untuk memaafkan apa yang terjadi pada peristiwa itu, termasuk juga para pelakunya, akan tetapi dirinya tidak bisa melupakan tragedi Mei 1998, agar peristiwa itu tidak boleh terulang lagi di masa mendatang, maka jangan pernah melupakan tragedi Mei 1998.

“Namun, terkait peristiwa Mei 1998, yang mengherankan, sampai sekarang, kita tidak pernah mendengar pemerintah mendalami peristiwa ini dengan menanyai para korban dan pelaku. Kita tidak tahu apakah yang disebut korban juga ribuan rakyat kecil yang terpanggang hidup-hidup di mall-mall dan jutaan rakyat yang akhirnya kehilangan pekerjaan, serta ribuan rumah tangga yang hancur sebagai ekses dari kerusuhan tersebut,” ucap Martinus Johan Mosi.

Selain itu, lanjut Martinus Johan Mosi, dikabarkan pelaku melakukan provokasi dan sangat terlatih pindah dari satu mall ke mall lain. Lalu siapakah mereka, siapakah yang melatihnya, siapakah yang mendanai pelatihan mereka, hingga sekarang, dirinya tidak melihat ada proses penelitiannya dan tahu-tahu sekarang Presiden mengakui dan menyesali peristiwa tersebut sebagai salah satu pelangaran HAM Berat di masa lalu. Tanpa proses, tanpa diketahui kenapa serta siapa pelaku serta korbannya, lalu dengan apa agar bisa membuat peristiwa tersebut tidak terulang lagi.

“Saya sangat bingung dengan pernyataan Presiden tersebut, kita tunggu saja apa kelanjutan dari pengakuan dan penyesalan ini, mudah-mudah bisa semakin jelas, dan jangan terkesan basa-basi politik, maupun jangan ada politisasi dibalik pengakuan dan penyesalan terhadap peristiwa yang disebut pelanggaran HAM di masa lalu tersebut. Kalau mau serius selesaikan masalah tersebut, libatkan masyarakat, diantaranya FSAB yang sudah terapkan pendekatan silahturahmi untuk berhenti mewariskan konflik dan tidak membuat konflik baru,” pungkas Martinus Johan Mosi.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News