Soal Pengakuan Pelanggaran HAM, Negara Jangan Menimbulkan Konflik Baru

Jakarta- Pengakuan dan penyesalan Presiden Joko Widodo terkait pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu dinilai sekadar aksesori politik semata, memicu adanya berbagai pendapat di kalangan masyarakat, salah seorang di antaranya dari Joesoef Faisal anggota Forum Silahturahmi Anak Bangsa (FSAB), saat dihubungi wartawan, ia mengatakan bahwa kerja team yang dibentuk Pemerintah dan dipimpin Mahfud MD terkesan cacat, karena hanya bermuara pada pengakuan dan penyesalan kejadian, yang hanya bersifat sepihakdari negara.

“Dari hasil kerjanya, memprihatinkan, karena Tidak sedikitpun menyinggung apa yg dilakukan oleh mereka yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi Komunisme, kekejaman, pembunuhan dan pemberontakan yang diprakarsai oleh mereka. Tangan mereka penuh darah dengan berbagai pembunuhan terhadap Masyarakat, TNI, pejabat Pemda Jatim 1948, santri, ulama, tokoh masyarakat, keluarga pahlawan revolusi dll, ini yang seharusnya Team Pak Mahfud MD mencermatinya ”ungkap Joesoef Faisal kepada awak media, Rabu, 18/1/2023.

Lebih lanjut Joesoef Faisal, menjelaskan bahwa peristiwa 1965 merupakan suatu peristiwa yang terindikasi oleh adanya perbuatan mereka yang ingin mengganti Pancasila itu, sehingga boleh dikatakan mereka itu menggali kuburannya sendiri, mereka adalah korban akibat perbuatan tindakan mereka sendiri yang mengakibatkan kemarahan dendam dan amuk masa. Akibat tindakan mereka ingin berkuasa dengan menghalalkan segala cara. Mereka yang memulai, sejak 1948 hingga 65. Bagaimana dengan korban-korban keganasan mereka, kenapa hal ini tidak disinggung, begitu banyak masyarakat, ulama, santri, pejabat Pemda Bupati dsbnya, kenapa Fakta tersebut tidak disinggung.

“Terkait masalah itu, maka saya sebagai anggota FSAB yang mempunyai motto “Tidak mewariskan konflik dan tidak membuat konflik baru” dan prinsip forgive but not forget. Untuk itulah kami mengajak untuk membangun Indonesia kedepan, dengan prinsip memaafkan tapi tidak melupakan. Tapi jangan membolak balikan dan melupakan sejarah,” tukas Joesoef Faisal.

Hal senada juga disampaikan Nina Pane, penulis buku the Children of War yang isinya tentang FSAB, terbitan Penerbit Buku Kompas. Buku tersebut sudah diterjemahkan ke bahasa Inggris dan terpilih mengikuti International Book Fair di Frankfurt, Jerman, pada tahun 2015.

Nina Pane mengatakan bahwa FSAB seharusnya diajak serta dalam berbagai upaya penyelesaian konflik masa lalu di Indonesia. FSAB patut dijadikan role model karena telah berhasil melakukan pendekatan silaturahmi di antara para korban konflik di Indonesia dari masa ke masa. Bukan hanya Peristiwa G30S tahun 1965 saja, tetapi berbagai peristiwa konflik yang terjadi sebelum tahun 1965 tersebut, misalnya Peristiwa DI TII, PRRI/Permesta, dan lain-lain.

“Semua peristiwa konflik itu, berdampak pada keluarga, yaitu anak sampai cucu mereka. FSAB telah mampu membuat mereka berkumpul dengan pendekatan silahturahmi, saling memaafkan tetapi tidak melupakan. Mereka bergaul satu sama lain secara rukun dan sewajarnya karena menyadari bahwa mereka sesama anak bangsa yang kebetulan ayahnya atau kakeknya, terlibat dalam konflik yang sama sekali tidak mereka kehendaki,” ucap Nina Pane.

Ia juga menjelaskan bahwa FSAB tidak pernah menggunakan istilah “Pelaku dan Korban” yang terkesan mengandung stigma dan dendam berkelanjutan, tetapi justru mengedepankan motto “Berhenti Mewariskan Konflik, Tidak Membuat Konflik Baru” yang tidak memilah-milah siapa Pelaku dan siapa Korban, karena sejatinya siapapun pelakunya dan siapapun korbannya mengalami sebagaimana ungkapan “Yang menang jadi arang, yang kalah jadi abu” alias sama-sama sengsara. Peristiwa itu tidak boleh dilupakan maksudnya untuk memberikan pembelajaran, sebagai langkah edukatif dan preventif agar di masa mendatang jangan sampai terjadi lagi peristiwa serupa.

Selain itu, menyinggung tentang keinginan pihak-pihak tertentu untuk menulis ulang sejarah, Nina Pane mengingatkan bahwa hal ini mengandung konsekuensi yang akan mengacaukan legalitas dan legitimasi Pemerintahan RI dari masa ke masa yang selama ini diakui dunia

Di akhir perbincangan dengan awak media, Nina Pane menyampaikan imbauan kepada negara, mengenai permintaan maaf dari negara agar disampaikan kepada seluruh rakyat Indonesia saja yang pada umumnya masih hidup menderita setelah 77 tahun merdeka akibat adanya berbagai konflik.

“Mengenai pemberian santunan juga sebaiknya digunakan untuk kepentingan menyejahterakan seluruh rakyat Indonesia,” pungkas Nina Pane kepada awak media, Rabu, 18/1/2023 di Bali.