Kekayaan Taipan dan Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat

Oleh: Defiyan Cori (Ekonom Konstitusi)
Negara yang pengelolaannya berdasar pada demokrasi politik dan ekonomi tentu saja memberikan kesempatan yang sama bagi setiap warga negaranya untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi. Maka itu, prasyarat utama setiap pelaku usaha yang terlibat di dalam pasar harus mewujudkan persaingan yang sehat dan wajar. Tapi, faktanya dalam banyak kasus justru konglomerasi semakin marak, ditandai tidak hanya oleh adanya ketimpangan sektoral saja, bahkan juga pendapatan antar kelompok masyarakat. Sementara, kelompok masyarakat ekonomi badan usaha Koperasi dan Usaha Kecil Mikro yang berkontribusi lebih dari 65 persen atas Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tidak ada catatan kenaikan kekayaannya!
Data diakhir tahun 2022, majalah Forbes yang menyampaikan publikasi atas 50 orang terkaya di Indonesia membuktikan, bahwa konglomerasi hanya memakmurkan orang per orang. Menurut publikasi Forbes itu, total kekayaan (asset) para konglomerat Indonesia mengalami peningkatan sebesar 11% atau mencapai sejumlah US$180 miliar setara Rp2700 triliun (US$1=Rp15.000) dibandingkan tahun 2021 yang sejumlah US$162 miliar atau sejumlah Rp2.430 triliun. Berarti terdapat kenaikan kekayaan mereka senilai US$18 miliar atau Rp270 triliun! Tidak salahlah, apabila publik mempertanyakan asal muasal kenaikan kekayaan konglomerat tersebut ditengah pandemi Covid19 yang berimplikasi buruk pada kinerja ekonomi Indonesia dan dunia.
Pertumbuhan harta kekayaan konglomerat, khususnya pengekspor komoditas yang beriringan dengan kenaikan harga dunia sangat bertolak belakang dengan kinerja perekonomian Indonesia. Capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2022 hanya sebesar 5,72%, sedangkan tahun 2021 lebih rendah, yaitu 3,69% atau naik sebesar 2,03% saja. Selanjutnya, berdasar laporan Forbes itu terdapat paling tidak 22 orang taipan Indonesia yang mengalami pertumbuhan kekayaan bersihnya (net asset). Sangat kontras kenaikan harta kekayaan para taipan ini atas capaian pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan persentase lebih kecil.
Taipan Hartono bersaudara,  pemilik Djarum Group masih memuncaki konglomerat terkaya di Indonesia dengan nilai kekayaan sejumlah US$47,7 miliar, atau terdapat kenaikan sejumlah US$5,1 miliar dibanding tahun 2021 yang berjumlah US42,6 miliar. Kenaikan terbesar harta kekayaannya tercatat berasal dari pertumbuhan bisnis PT Global Digital Niaga Tbk. yang merupakan bisnis digitalisasi. Selain itu, menarik untuk dicermati adalah taipan terkaya diposisi kedua yaitu Low Tuck Kwong yang bertambah kekayaannya oleh kenaikan harga batu bara di tengah krisis energi global. Peningkatan kekayaannya sungguh luar biasa dan hampir berlipat ganda menjadi US$12,1 miliar, yang sebelumnya kurang lebih separuhnya saja.
Pertanyaannya, adalah apakah tidak ada indikasi adanya praktek monopoli atau kartel dan persaingan usaha tidak sehat dalam pasar komoditas, khususnya terkait penentuan kebijakan harga? Hal ini perlu ditelusuri, sebab pasca reformasi Mei 1998, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Praktek Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebelumnya, Indonesia tidak memiliki UU yang mengatur soal monopoli dan praktek persaingan usaha tidak sehat yang membuat bermunculannya konglomerasi serta ketimpangan ekonomi secara struktural.
Dengan latar belakang tumbuhnya sejumlah kecil konglomerasi ekonomi dan bisnis yang mendominasi sebagian besar perekonomian Indonesia itulah dipandang perlu meratifikasi salah satu dokumen Sistem Ekonomi Kapitalisme-Liberalisme berbasis Pasar. Penguatan kinerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang pada bulan Januari 2023 ini sedang menyeleksi calon komisioner menjadi relevan untuk dituntut sebagai manifestasi mewujudkan keadilan ekonomi. Jangan sampai publik menilai hadirnya UU No. 5/1999 ini hanya merupakan bentuk pengebirian monopoli alamiah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang dijamin konstitusi ekonomi, Pasal 33, ayat 2 dan 3 UUD 1945.
Terutama monopoli penguasaan negara melalui BUMN atas cabang-cabang produksi yang penting dan yang menguasai hajat hidup orang banyak. Sebagai contoh, pengusahaan komoditas batubara, sawit, nikel, bauksit dan lain-lainnya sebagai komoditas dasar apakah konstitusional dikuasai oleh korporasi swasta sementara mandatnya ada pada BUMN. Tidaklah aneh bermunculan para taipan terkaya itu disebabkan kebijakan negara memberikan peluang kepada mereka dan BUMN hanya diberikan porsi terkecil yang tidak mungkin dapat memakmurkan seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, para komisioner KPPU periode 2023-2028 harus melakukan aksi ekonomi konstitusi, tidak saja mengawasi monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, tapi memasukkan pentingnya komoditas strategis hanya dikuasai oleh BUMN. Dengan demikian, terminologi monopoli dalam konteks penguasaan mandat negara oleh BUMN ini menjadi pasal khusus bagi pelaksanaan UU No.5/1999 tersebut.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News