Penulis: Hari Akbar Apriawan, Direktur Eksekutif IRES (Indonesia Resilience)
Akhir tahun ini, ada kabar gembira datang dari Jakarta. Tebet Eco Park mendapatkan penghargaan Gold Award di ajang Singapore Landscape Architecture Awards 2022 untuk kategori Parks and Recreational.
Pencapaian tersebut terasa istimewa, karena Tebet Eco Park adalah karya kolaborasi anak bangsa. Sejak awal mula pembangunan, Anies Baswedan dan pemprov DKI Jakarta melibatkan para ahli lanskap dan juga warga sekitar taman.
Apa yang disebut sebagai kolaborasi benar-benar hadir dan diterapkan dalam proses pembangunan Tebet Eco Park. Tidak ada satu pihak pun yang ditinggalkan. Jadi semua pihak akan merasa memiliki dan rela menjaganya.
Di luar penghargaan dan pencapaian dari Tebet Eco Park, ada satu hal penting yang mungkin kurang disadari oleh khalayak, yaitu fungsi kesiagabencanaan dari Tebet Eco Park. Taman ini, selain jadi ruang publik terbuka yang bisa diakses tanpa biaya, juga jadi tempat untuk kesiagaan bencana.
Tebet Eco Park adalah tempat retensi atau penampungan air saat musim penghujan. Tujuannya untuk mengantisipasi adanya banjir. Jadi bila terjadi peningkatan volume air di sungai-sungai sekitar Tebet, air akan dialirkan ke taman ini.
Cara ini, membuat pemukiman warga akan aman dari risiko dan dampak banjir, karena air akan dialirkan di tampung di taman ini. Ketika air tertampung di taman ini, perlahan akan terserap ke dalam tanah dan taman bisa digunakan seperti semula.
Konsep ruang publik sekaligus ruang kendali dan siap siaga bencana bukan hanya ada di Tebet Eco Park. Untuk tujuan pengendalian banjir, Anies Baswedan juga membangun Ruang Limpah Air Brigif di daerah Jagakarsa, Jakarta Selatan.
Ruang limpah ini selain bisa digunakan untuk aktivitas luar ruang warga, juga digunakan untuk mencegah terjadinya banjir. Apakah ruang publik yang dibangun Anies Baswedan hanya untuk mencegah banjir? Jawabnya tidak.
Berbagai ruang publik yang dibangun di masa Anies Baswedan juga jadi titik-titik kumpul seandainya ada bencana seperti gempa bumi. Saat terjadi gempa, tentu diperlukan sebuah ruang khusus yang aman dan nyaman bagi warga untuk berkumpul.
Titik kumpul yang ideal harus memenuhi empat kriteria yaitu mudah diakses, areanya cukup luas, aman digunakan, dan ada penanda titik kumpul. Ruang-ruang publik di Jakarta sudah memenuhi keempat syarat tersebut.
Bila melihat taman dan trotoar yang dibangun dan direvitalisasi, hampir semua area tersebut memenuhi syarat untuk jadi titik kumpul. Misalnya trotoar yang luas di sepanjang Sudirman-Thamrin. Sudah pasti aman untuk dijadikan titik kumpul dan bisa menampung orang dalam jumlah banyak. Taman-taman Maju Bersama tentu saja juga jadi titik kumpul yang aman.
Kebijakan-kebijakan Anies Baswedan dalam membangun ruang publik yang siaga bencana tersebut sudah seharusnya dilanjutkan dan juga diadopsi oleh pihak-pihak lain. Inilah bukti kebijakan Anies Baswedan yang visioner dengan menyiapkan ruang publik dengan konsep siaga bencana.
Semoga, konsep ini akan semakin banyak diterapkan di berbagai daerah, saat Anies Baswedan menjadi Presiden Indonesia.