Otoritarianisme biasa disebut juga sebagai paham politik otoriter, yaitu bentuk pemerintahan yang bercirikan penekanan kekuasaan hanya pada negara atau pribadi tertentu, tanpa melihat derajat kebebasan individu.
Gaya kepemimpinan otoriter adalah memiliki kecenderungan memaksakan kepatuhan mutlak. Sistem ini biasanya menentang demokrasi, sehingga pada umumnya kuasa pemerintahan diperoleh tanpa pemilihan umum secara demokratis. Kalau terpaksa harus melewati pemilu maka rekayasa untuk menang dengan cara apapun menjadi target utamanya.
Sinyal itu sudah terlihat dengan jelas Jokowi akan membangun dinasti otoriter perpanjangan masa jabatannya, ala Xi Jinping bahkan saatnya tiba momentunya bisa diperlakukan darurat militer ala presiden Marcos. Membangun dinasti otoriter dengan kudeta konstitusi, bias berakhir dengan tragis .
Jokowi bisa mengakhiri masa jabatannya dengan tragis dan tidak akan ada yang melindungi Jokowi setelah jatuh. Dia tidak memiliki kekuatan apapun kalau sampai jatuh terkapar dari kekuasaannya.
Otak penyesatan untuk skenario perpanjangan masa jabatan Presiden atau keinginan untuk jabatan tiga periode sudah terdeteksi dengan terang benderang, diduga kuat bukan pada kekuatan pribadi Jokowi, terasa hanya sebagai wayang permainan kekuatan diluar dirinya.
Kondisi seperti ini sangat rentan begitu skenario gagal, Jokowi akan ditinggal atau dibiarkan sendirian. Kalau Jokowi tidak hati hati karena tidak ada kawan politik yang abadi. Mereka bisa saja meninggalkannya ketika kepentingan pribadi politiknya sudah menguap.
LBP dan kawan kawan yang sudah kita ketahui sebagai king maker politik yang konon bisa menentukan perpolitikan Jokowi sesungguhnya bukan kekuatan yang memadai untuk melindungi Jokowi ketika bencana datang menerkamnya. Bisa terjadi kejelian LBP justru akan terbang melarikan diri sebelum bencana datang menerjangnya, tidak akan peduli dengan nasib mantan bosnya.
Saat itu Jokowi bisa seperti seekor bebek terduduk ( sitting duck) di hamparan tanah terbuka yang menjadi sasaran empuk para pembidiknya.
Setelah menjadi sitting duck, jangan harap TNI dan Polri akan melindungi Jokowi setelah lengser dari kekuasaannya. Karena sudah jadi rahasia umum, diduga kuat selama jadi presiden, Jokowi telah merusak pola karir para perwira.
Dia memilih perwira-perwira di posisi strategis hanya karena faktor kedekatan pribadi, sebagai bumper pelindung dirinya, ini merusak soliditas TNI dan Polri.
Setelah Jokowi lengser dari kekuasaannya, para perwira pilihan Jokowi tersebut pasti dicopot atau cari selamat sendiri. Tidak ada satupun yang berani melindunginya karena mereka orang lemah, perwira yang tidak mendapat “pengakuan” dari teman dan para prajuritnya.
Hura-hura selama ini dengan mengumpulkan masa Pro Jokowi ( Projo ), pada kesempatan lain berubah dikemas nama masa rakyat, itu bukan pendukung believe karena kecintaan itu hanya fatamorgana karena kepentingan politik sesaat, sangat rentan dalam sekejap mata ambyar berantakan.
Mereka bukan relawan militan, melainkan gerombolan yang dimobilisi. Bergerak karena transaksi politik yang terus terbongkar masa marah karena dibohongi baik dalam bentuk pertemuan atau uang saku yang tidak sesuai dengan yang dijanjikan.
Cebong sulit digerakan tanpa iming-iming uang dan pembagian goodybag (berisi kaos dan sembako).
Relawan seperti ini mustahil mau dimobilisasi sebagai tameng hidup ketika Jokowi jadi bidikan politik apalagi setelah lengser dari kekuasaannya. Sejatinya mereka cuma pasukan hura-hura.
Para taipan yang selama ini mendukung pencitraan Jokowi juga pasti kabur. Karena yang namanya pengusaha pasti kutu loncat. Selalu menempel kepada siapapun yang berkuasa.
Tidak hati dan legawa dengan ikhlas berhenti setelah menjalani dua kali masa jabatannya harus siap siap jadi “sitting duck”. Seekor bebek yg terduduk lemah, menjadi sasaran empuk para pembidik politik, baik dari masyarakat sipil dan dari kalangan barisan para jenderal dan purnawirawan TNI-polri sakit hati.
Lebih rumit lagi, perilaku otoritarianisme dengan segudang prestasi pembatasan kritikan publik, pembubaran ormas Islam, radikakisasi Islam, persekusi ulama serta pembantaian dan pelanggaran HAM berat yg ditonjolkan selama memimpin, mendudukkan Jokowi sebagai public enemy number one.
Jokowi bisa menjadi musuh masyarakat nomor satu sekalipun sudah lengser dari kekuasaannya, lebih celaka kalau sampai menjadi pesakitan proses hukum dari macam macam masalah hukum yang melilitnya.