Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)
“Drakor berjudul The Emperor: Owner of the Mask. Kisahnya tentang raja palsu yang dijadikan boneka. Namun ketika raja asli hendak kembali ke istana, justru terjadi perebutan tahta antara keduanya.”
Serangan Oligarki makin ganas, semua potensi yang akan menggangu kekuasaannya mencengkeram negara dengan segala cara akan di libas dan dihabisi.
Aspirasi masyarakat agar negara kembali ke UUD 45 asli, akan dijadikan mangsa politik oleh pada bandar dan bandit politik untuk menunda pemilu dan menambah masa jabatan presiden.
Model pencitraan masih saja dilakukan oleh Presiden, bergaya lugu, lugas dan seolah olah tampil sebagai negarawan.
Presiden Joko Widodo menegaskan tak setuju dengan usul masa jabatan presiden diperpanjang menjadi tiga periode. Ia pun merasa curiga pihak yang mengusulkan wacana itu justru ingin menjerumuskannya.
“Kalau ada yang usulkan itu, ada tiga (motif) menurut saya, ingin menampar muka saya, ingin cari muka, atau ingin menjerumuskan. Itu saja,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/12/2019).
Beda waktu dalam hitungan detik dan menit sudah kembali kewatak aslinya. Dengan percaya diri dibalut diplomasi gaya katak tanpa beban dan dosa Presiden mengatakan itu terserah rakyat, saya akan taat pada undang undang.
Logika dan nalar politik normal diterabas, seolah olah semua manusia dungu tidak bisa menangkap kedunguan yang muncul. Begitu ada aturan yang menghambat segara diganti dengan instrumen aturan baru melindas aturan lama.
Semua masalah kenegaraan yang melibas dan menabrak konstitusi bersumber dari Presiden sendiri, lepas karena tekanan atau apapun alasan politiknya.
Menambah masa jabatan tiga tahun atau nafsu keinginan berkuasa tiga periode atau seumur hidup, sama saja akan menabrak konstitusi. Nampaknya rekayasa ini setali tiga uang (drie pennies) artinya sepaham atau sama dan tidak ada bedanya, rekayasa Oligarki dengan keinginan P Jokowi sendiri.
Bahwa Negara Indonesia itu saat ini tidak ada atau tidak hadir, karena negara, rezim dan presiden saat ini hanya boneka kapitalis yang tidak sesuai dengan cita cita kemerdekaan bangsa Indonesia (Emha Ainun Najib)
Sesungguhnya setelah penggantian UUD45 dengan UUD2002, kerusakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang makin menjauh dari amanat para pendiri bangsa sudah makin jelas bagi mereka yang jeli, peka dan terlatih.
UUD45 adalah pernyataan kehendak bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, kehendak itu kini makin surut karena dikalahkan oleh *perang asimetris* yang dilancarkan oleh kekuatan asing nekolimik yang bersekongkol dengan para kaki tangan domestiknya.
Perang asimetris saat ini sudah menelan korban MPR digusur bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara musyawarah, oleh partai politik melalui pemilu langsung one-man one-vote dalam rekrutmen eksekutif.
Parpol berubah menjadi algojo rakyat memonopoli secara radikal, aristektur legal politik dirancang untuk mengkonsentrasikan kekuasan ke segelintir elite parpol, sementara Pemilu dijual murah bahkan seperti dihibahkan secara cuma cuman kepada para bandit, bandar dan badut politik.
Perlu diingat bahwa Pemilu yang jujur dan adil hanya mungkin dilaksanakan oleh bangsa yang merdeka, bukan bangsa yang bermental jongos yang mudah diintimidasi oleh politik uang, BLT dan bagi bagi sembako menjelang pemilu dan hidup dari hutang.
Para pejabat dengan dengan logika politik pas pasan karena minimnya pengalaman dan miskin wawasan dan kering kerontang dari kognisi pemahaman sejarah serta kosong dari asupan betapa sakralnya UUD 45, malah berjoged ria bergaya manusia kesurupan dan bertingkah laku seperti jongos neokolonialisme.
Kondisi diperparah oleh partai politik tidak pernah mampu melakukan pendidikan politik, bahkan partai politik hanya bisa hidup dari political illiteracy dan penjongosan politik konstituen mereka. Bergaya seperti raja, the government can do no wrong. (Daniel M Rosyid)
Para pejabat negara yang bermental jongos telah menyeret, membuat dan membawa Republik ini kehilangan akal sehat dan kemampuannya untuk beradaptasi secara cepat dan tangkas sehingga menjerumuskan bangsa ini ke tepi jurang failed state.