2 Tahun KM 50, Menuntut Janji Penegakan Hukum & Keadilan dari Presiden Jokowi!

Oleh: Marwan Batubara, TP3 & UI Watch

Pada tulisan pertama diuraikan beberapa tanggapan atas pernyataan Kapoda Metro Jaya Fadil Imran (dan sejumlah aparat negara lain) pada Konferensi Pers (Konpres) yang berlangsung 7 Desemeber 2020. Dalam tulisan berikut diungkap berbagai fakta mengapa secara pro justisia pengadilan HAM perlu segera dijalankan, mengingat pembantaian enam pengawal HRS memenuhi kriteria kejahatan kemanusiaan sebagai pelanggaran HAM Berat.

Hanya merujuk pada esensi penjelasan Kapolda dan tanggapan TP3 tersebut kita dapat menilai penyelesaian kasus KM50 masih belum sesuai kaidah hukum dan keadilan. Apalagi jika kita mempertimbangkan berbagai fakta dan informasi yang ditemukan TP3, aktivis HAM, LSM dan sejumlah lembaga, termasuk yang terungkap dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua yang melibatkan Irjen Ferdy Sambo. Maka dengan mudah bisa dinilai proses pengadilan, yang telah berlangsung sebelumnya, atas pembantaian enam pengawal HRS masih sangat jauh dari kebenaran dan keadilan, sehingga perlu segera diproses sesuai peraturan yang berlaku.

Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, demi hukum, untuk hukum dan undang-undang, maka proses hukum secara pro justisia harus segera dimulai sesuai dengan hasil penyelidikan baru yang seharusnya dilakukan Komnas HAM. Mengapa demikian? Sebab “Hasil Penyelidikan” berdasarkan UU No.39/1999 tentang HAM yang dilakukan Komnas dan hasilnya disampaikan kepada pemerintah (8/1/2021) hanyalah “Hasil Pemantauan”, bukan hasil penyelidikan. Sehingga, proses hukum yang akhirnya memvonis bebas dua orang terdakwa (anggota Polri) tidak sah dan mestinya batal demi hukum.

Karena itu TP3 tetap konsisten dengan sikap dan tuntutan semula yang telah disuarakan sejak Januari 2021, bahwa pembantaian enam pengawal HRS merupakan pelanggaran HAM Berat. Sehingga proses hukum bersifat pro justisia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, UUD 1945 dan sesuai ketentuan UU No.26/2000, tentang Pengadilan HAM, berupa proses penyelidikan, harus pula segera dimulai Komnas HAM dengan melibatkan Penyelidik Ad-hoc. Mengapa pembantaian ini termasuk kategori pelanggaran HAM Berat? Mari dicermati.

Menurut Pasal 7 dan Pasal 9 UU No.26/2000 *suatu kejahatan disebut (memenuhi syarat) sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang masuk kategori pelanggaran HAM Berat jika suatu perbuatan atau tindakan yang dilakukan merupakan bagian dari serangan yang meluas ATAU sistematik terhadap penduduk sipil, antara lain berupa: pembunuhan, pemusnahan, perampasan kebebasan fisik, penyiksaan, dll.

Penjelasan ketentuan UU di atas adalah:

1) Suatu kejahatan sudah dapat disebut sebagai kejahatan kemanusiaan, meskipun perbuatan yang dilakukan hanya satu atau dua jenis saja, misalnya pembunuhan atau penyiksaan, dan tidak harus mencakup seluruh jenis kejahatan yang disebutkan dalam Pasal 9 UU No.26/2000;

2) Istilah sistematik diartikan sebagai tindakan yang diorganisasi secara mendalam dan mengikuti pola tertentu berdasarkan kebijakan yang melibatkan sumber daya publik atau privat yang substansial;

3) Istilah meluas diartikan sebagai tindakan massif, berulang-ulang dan berskala besar yang dilakukan secara kolektif dengan dampak serius, serta diarahkan terhadap sejumlah korban;

4) Serangan meluas atau sistematik tidak mensyaratkan bahwa kejahatan yang dilakukan harus selalu memenuhi kedua kriteria: meluas dan sistematik, tetapi cukup salah satu syarat saja, yakni meluas ATAU sistematik.

Merujuk berbagai fakta lapangan yang diperoleh TP3 dan juga dialami pihak-pihak terkait, diyakini telah terjadi rangkaian operasi sistematis dan meluas terhadap HRS dan pengwalanya, oleh aparat pemerintah, baik sebelum kepulangan dari Saudi Arabia (November 2020), maupun sesudah kepulangan. Diantara kebijakan dan tindakan yang bersifat sistematik terhadap HRS dan pengawalnya setelah kepulangan dari Saudi adalah:

• Tindakan otoriter penguasa yang menjadikan HRS sebagai penjahat “kesehatan”, terkait peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, pernikahan putrinya, serta kasus swab test RS Ummi. PN Jaksel dan diperkuat PT Jaktim memvonis HRS (12/12/2020) 4 tahun penjara hingga Juni 2024. HRS dibebaskan bersyarat (status masa percobaan) pada Juli 2022. Namun aktivitasnya sangat dibatasi, sehingga rezim penguasa sangat nyata telah melanggar HAM sesuai Pasal 28 UUD 1945. Rezim mencabut hak-hak HRS secara politik, keperdataan (sebagai bapak dan wali nasab), pengurus organisasi, menjalankan mata pencaharian tertentu, perampasan aset, dll;

• Sejalan dengan unsur sistematis terdapat pula rantai komando dan tanggungjawab komando oleh organisasi tertentu dan aparat negara, baik secara aktif ataupun pasif (omission). Operasi penguntitan dan tindakan brutal berujung pembantaian enam pengawal di KM50 dipimpin seorang komandan pengendara Land Cruiser hitam, yang juga memimpin selebrasi “keberhasilan” operasi. Karena sistematik dan otoriter, rezim hanya mengadili 3 tersangka Polri, 1 orang mati dan 2 orang akhirnya divonis bebas;

• Adanya KOOPSUS TNI (dibentuk sesuai Perpres No.42/1019) pada peristiwa penurunan baliho HRS/FPI yang dipimpin Pangdam Jaya Dudung dengan mengerahkan kendaraan dan senjata tempur.

Tindakan ini dinilai bukan murni oleh institusi pertahanan negara, namun lebih pada kebijakan dan keputusan politik pemerintah. Hal ini merupakan bagian dari rencana bernuansa politis, terstruktur dan sistematikbyang melibatkan berbagai aparat pemerintah, bukan saja oleh Polri, tetapi juga TNI guna “menghabisi” aspirasi dan peran politik HRS.

• Adanya operasi sistematik oleh aparat negara, minimal dari unsur Polri dan TNI, terbukti pula saat Konpres yang dihadiri Pangdam Jaya Dudung Abdurrachman Bersama Kapolda Metro Jaya Fadil Imran pada 7 Desember 2020. Pihak Kependam Jaya menyatakan Pangdam Jaya hadir untuk memberi dukungan penuh kepada Polda Metro Jaya dalam penegakan hukum terhadap adanya aksi melawan hukum yang dilakukan oknum FPI.

Selain menunjukkan adanya operasi sistemtik aparat negara yang memiliki unsur komando, hal ini juga menunjukkan adanya tindakan “menghakimi”, pernyataan sepihak dan fitnah keji terhadap anggota FPI, sekaligus ke-enam pengawal HRS: bahwa yang melawan hukum adalah para korban pembantaian, bukan para pembantai sistemtik itu sendiri;

• Adanya operasi intelijen tiga anggota BIN yang sedang menarget HRS dan FPI di Markas Syariah Megamendung yang tertangkap Tim FPI (4/12/2020). Identitas lengkap ketiga anggota BIN berhasil diperoleh. Dari penangkapan ini diketahui pula adanya operasi intelijen yang sedang diemban, disebut Operasi Delima. BIN telah “membantah” ketiganya sebagai anggota BIN;

• Dalam kasus pembunuhan Brigadir Josua terungkap peran Satgasus Merah Putih yang terlibat merekayasa kasus dan menghilangkan barang bukti. Ternyata untuk kasus KM50 Satgasus yang dipimpin Irjen Fedy Sambo antara lain terlibat dalam:

a) mengerahkan 30 anggota guna menangani kasus;

b) diduga ada anggotanya (ACN alias A) yang menghilangkan atau merekayasa perangkat dan konten CCTV;

c) Diduga ada anggota Satgasus (Bripka MM) berdiri di sebelah Land Cruiser hitam saat penyerahan enam korban di KM50;

d) Diduga terlibat merekayasa kebohongan bahwa pengawal HRS memiliki senjata dan menyerang petugas, sebagaimana diuraikan oleh Kapolda Metro pada Konpers 7/12/2020.

Uraian di atas menunjukkan telah terjadi operasi sistematik oleh aparat negara lintas lembaga yang telah mengakibatkan terjadinya pembantaian enam pengawal HRS di KM50. Sesuai Pasal 7 dan 9 UU No.26/2000, tindakan operasi sistematik tersebut memenuhi kriteria sebagai kejahatan kemanusiaan yang masuk kategori pelanggaran HAM Berat.

Karena merupakan pemimpin tertinggi yang membawahi lembaga-lembaga yang terlibat operasi sistematik, maka Presiden Jokowi layak dituntut untuk bertanggungjawab. Presiden Jokowi harus bersikap konsisten dengan janji kepada TP3 (9/3/2020): menuntaskan kasus pembantaian tersebut secara adil, transparan dan diterima publik.[]

Jakarta, 10 Desember 2022

 

Simak berita dan artikel lainnya di Google News