Merujuk pada Buku Putih yang diterbitkan oleh TP3, ada tiga personal yang diduga berpeluang terbuka menjadi aktor tersebut. Dapat salah satu atau bersama-sama.
“Pertama, Irjen Pol Fadil Imran. Ini berdasarkan pada keterlibatan banyak anggota kepolisian dari Polda Metro Jaya. Termasuk Fikri Ramadhan dan Yusmin Ohorella yang menjadi terdakwa. Kapolda Metro Irjen Fadil Imran bersama Hendra Kurniawan (Karo Paminal Divisi Propam) dan Dudung Abdurrahman (Pangdam Jaya) memimpin Konperensi Pers pada hari kejadian 7 Desember 2020,” kata Pemerhati Politik dan Kebangsaan M Rizal Fadillah kepada redaksi www.suaranasional.com, Sabtu (26/11/2022).
Kedua, Irjen Pol Ferdy Sambo mantan Kadiv Propam dan Kepala Satgassus yang jelas telah melibatkan anak buahnya dalam operasi pembuntutan dan pembunuhan 6 anggota Laskar FPI. Sekurangnya 30 anggota Propam yang sebagiannya merangkap Satgassus ikut di lapangan. Pola perekayasaan Ferdy Sambo di kasus Duren tiga relatif sama dengan rekayasa kasus Km 50. Kebohongan dalam kualifikasi obstruction of justice.
“Ketiga, Jenderal Pol Budi Gunawan Kepala BIN yang telah melibatkan anggota BIN sejak di Mega Mendung melalui “operasi delima” yang terbongkar oleh anggota Laskar FPI. Anggota BIN pula yang terlibat kejar-kejaran di Interchange Karawang Barat yang menembak 2 anggota Laskar FPI. Komnas HAM menyebut ada instansi di luar Kepolisian yang terlibat dan itu tentunya adalah BIN. Jadi Kepala BIN Budi Gunawan harus ikut bertanggungjawab atas peristiwa ekstra judicial killing tersebut,” ungkapnya.
Kata Rizal, Ketiga aktor itulah yang semestinya dibawa ke Pengadilan HAM berdasar UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Diminta pertanggungjawaban dan dibuka berbagai komando dan perintah-perintahnya.
Adakah operasi ini sepengetahuan atau dengan persetujuan Presiden ? Jika iya, maka Presiden pun harus diseret ke muka persidangan.
“Pembantaian 6 anggota Laskar FPI adalah terstruktur dan sistematis karenanya merupakan pelanggaran HAM berat. Bukan pidana biasa. Sebagai pembunuhan politik dengan target HRS, maka selayaknya proses peradilan tidak terhenti pada pelaku di lapangan semata, melainkan harus menyeret auctor intellectualis nya,” pungkasnya.