Memahami Anies Baswedan dan Politik Identitas

Oleh: Smith Alhadar (Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe))

Anies Rasyid Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta, sering disalahfahami. Tokoh besar seperti dia — besar dalam moral, pikiran, dan tindakan — memang sulit difahami dengan pikiran yang konvensional karena melampaui sekat-sekat sosial, agama, dan zaman.

Legacy-nya yang ditinggalkan ketika memimpin Jakarta selama lima tahun (2017-2022) tak mungkin diperinci dan dijelaskan dalam tulisan singkat ini: terlalu banyak dan terlalu kompleks. Tulisan ini malah akan terlihat sumir kalau mencoba memaparkan semuanya tentang dia.

Sulitnya memahami Anies karena ia selalu berpikir dan bertindak out of the box. Tak heran kita selalu dibuat terkejut ketika ia melahirkan karya yang berceritera. Dan semuanya bermuara pada kepentingan semua manusia secara berkeadilan.

Memang baru kali ini ada pemimpin di Indonesia yang mampu secara gamblang mengaitkan program pembangunannya dengan ideologi bangsa. Lebih khusus lagi, semua yang dilakukan adalah pemenuhan janji kemerdekaan. Kendati demikian, penentangnya cukup banyak. Sebagian karena tidak memahaminya dan sebagian lain sengaja membunuh karakternya dengan isu politik identitas.

Tiba-tiba saja identitas dan politik identitas — yang sebenarnya merupakan hal yang wajar — menjadi terminologi yang menyeramkan layaknya isu PKI, yang mengalihkan perhatian masyarakat dari isu-isu substantif kenegaraan dan kebangsaan. Anies dikatakan mengusung politik identitas, yang dalam konteks ini berarti ia memiliki pemikiran dan sikap intoleran serta diskriminatif terhadap kelompok lain.

Bahkan ia menghadirkan ancaman terhadap Pancasila, demokrasi, pluralisme, dan hak asasi manusia. Aneh bukan? Pasalnya, selama memimpin Jakarta tak satu pun program atau kebijakan Pemprov DKI yang membenarkan tuduhan para pembencinya. Malah para tokoh semua agama dan kelompok sosial mengapresiasi kinerjanya.

Tentu saja Anies punya identitas sebagaimana seluruh manusia di muka bumi dari dulu sampai sekarang. Identitas adalah bagian dari konsep diri seseorang yang berasal dari pengetahuan mereka tentang keanggotaan dalam suatu kelompok sosial bersamaan dengan signifikansi nilai dan emosional dari keanggotaan tersebut.

Identitas sosial berkaitan dengan keterlibatan, rasa peduli, dan juga rasa bangga dari keanggotaan dalam kelompok tertentu, suatu esensi yang dapat dimaknai melalui tanda-tanda selera, kepercayaan, sikap, dan gaya hidup. Identitas pada dasarnya merujuk pada refleksi dari diri kita sendiri dan persepsi orang lain terhadap diri kita.

Sementara politik identitas adalah alat politik suatu etnis, suku, budaya, agama, atau lainnya, untuk tujuan tertentu. Misalnya, sebagai perlawanan atau alat untuk menunjukkan jati diri kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi secara ekstrim yang bertujuan mendapat dukungan orang-orang yang merasa sama, baik secara ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya.

Politik identitas hadir sebagai narasi resistensi kelompok terpinggirkan akibat kegagalan narasi arus utama mengakomodasi kepentingan minoritas. Secara positif, politik identitas menghadirkan wahana mediasi penyuaraan aspirasi kelompok tertindas.

Anies diframing sebagai pengusung politik identitas sebagaimana yang dijelaskan di atas. Hal ini tak bisa dilepaskan dari kekalahan gubernur petahana Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dalam kontestasi pilgub 2017. Di tengah kontestasi, sengaja atau tidak, Ahok membuat kesalahan yang tidak perlu ketika sebagai seorang non-Muslim berbicara tentang Surah Al-Maidah Ayat 51 yang terkesan pejoratif.

Ayat itu menyerukan kaum Muslim untuk tidak menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin mereka. Ahok menganggap ayat itu merugikan dirinya meskipun lawannya — Anies maupun AHY — sama sekali tidak menggunakan kitab suci untuk menyerangnya. Ahok menganggap ayat yang merugikan dirinya itu sebagai pembodohan. Timbul polemik di kalangan Muslim sendiri terkait spirit ayat itu. Tapi MUI di bawah kepemimpinan Prof KH Ma’ruf Amin mengeluarkan fatwa yang menyalahkan Ahok.

Berdasarkan fatwa itu, kaum Muslim di bawah pimpinan Habib Rizieq Shihab mengadakan beberapa kali tabligh akbar di Monas yang dihadiri jutaan orang, termasuk Presiden Joko Widodo, untuk memprotes Ahok. Anies tak ikut dalam rapat raksasa itu, juga tak berkampanye menggunakan simbol-simbol agama. Ia malah mendatangi semua tokoh agama untuk mencari dukungan. Salah satu tokoh yang ditemui adalah Rizieq Shihab, pemimpin FPI.

Singkat cerita, Ahok kalah dan masuk penjara. Betapa realitas ini menyakiti simpatisan Ahok. Anehnya, Anies disalahkan. Padahal, jumlah suara kaum Muslim yang diberikan kepada Anies dan Ahok hampir sama banyak. Ini menunjukkan isu Surah Al-Maidah tak berdampak banyak pada kekalahan Ahok. Lagi pula, lebih daripada 90 persen suara non-Muslim diberikan kepada Ahok. Dus, kaum non-Muslimlah yang memainkan politik identitas. Serangan fajar atau pembagian sembako secara masif yang dilakukan Ahok pada hari pemilihan ditengarai menjadi penyebab kekalahan Ahok. Di luar itu, sebenarnya Ahok tidak berprestasi. Di bawah kepemimpinannya, jumlah warga miskin meningkat.

Fakta lain, yang dikaitkan dengan politik identitas Anies, adalah tindakannya menghentikan proyek reklamasi belasan pulau di Teluk Jakarta dan mencabut izin usaha PT Grand Ancol Paragon, perusahaan yang menaungi club malam Alexis. Proyek reklamasi dan Alexis adalah milik non-Muslim. Anies menghentikan rekkamasi karena proyek itu menghancurkan mata pencarian nelayan kecil dan kerusakan lingkungan, yang sudah lama menjadi keprihatinan aktivis lingkungan.

Sedangkan penutupan Alexis disebabkan prostitusi dan perdagangan manusia yang tentu saja melanggar UU dan HAM. Dus, semuanya tidak ada hubungannya dengan politik identitas. Anies tidak melarang orang untuk menjadi kaya sepanjang kekayaan didapat secara jujur dan kerja keras dengan patuh pada aturan main.

Kendati demikian, narasi Anies pengusung politik identitas terus diorkestrasi sampai hari ini. Bahkan menjelang pilpres di mana Anies diprediksi akan menjadi salah satu kontestan yang berpotensi memenangkan pertarungan isu politik identitas kian gencar dipropagandakan. Mereka pura-pura atau memang tidak tahu bahwa sebenarnya hari ini politik identitas sedang dimainkan para pemimpin parpol nasionalis, bukan Anies. Tiba-tiba saja mereka pakai peci, kerudung, menghadiri pengajian, dan menemui tokoh serta ormas Islam. Pokoknya berislam-islaman sedang menjamur. Saya tak usah menyebut motif mereka. Toh, pembaca sudah tahu.

Pada awalnya, persepsi Anies mengusung politik identitas dalam pengertian ekstrim karena bertemu Rizieq di momen yang kritis bisa difahami. Tapi setelah lima tahun menjadi pemimpin Jakarta yang sangat plural dalam semua aspek sosiologis seharus persepsi itu lenyap sebagaimana diperlihatkan Nasdem. Dulu, partai ini pendukung gigih Ahok. Kini Nasdem menjadi parpol pertama yang mengusung Anies. Bahkan ia berani melawan Jokowi yang tidak menghendaki Anies ikut kontestasi pilpres. PKS, PPP, dan PAN malah belum menentukan sikap terkait Anies.

Memang ketika memimpin Jakarta tak satu pun kebijakan Anies yang mengindikasikan ia menjalankan politik identitas. Tidak ada sikap intoleran ataupun kebijakan diskriminatif terhadap kelompok sosial manapun. Semua warga DKI mendapat perlakuan sama, apapun latar belakang sosiologis mereka. Malah pembangunan rumah ibadah non-Islam yang di masa lalu sulit mendapatkan izin, di masa Anies izin diberikan. Tak heran, hasil survey lembaga-lembaga survey yang kredibel menunjukkan tingkat kepuasan warga Jakarta terhadap kinerja Anies mencapai 83 persen, angka mungkin belum pernah dicapai gubernur-gubernur sebelumnya kecuali Ali Sadikin.

Semakin gencarnya propaganda politik identitas yang disematkan pada Anies lebih menunjukkan ketakutan pada kemungkinan ia memenangkan pilpres. Siapakah mereka yang takut? Tak lain, kaum oligarki ekonomi dan politik. Pasalnya Anies adalah tokoh independen yang sangat cerdas dan tak dapat dibeli atau dimainkan, yang berkomitmen menghadirkan keadilan sosial sebagai salah satu cita-cita proklamasi. Dengan demikian, para oligark melihat Anies orang yang akan mengubah status quo.

Memang orang seperti dia mengganggu tidur orang-orang yang sedang menikmati kekuasaan ekonomi dan politik. Di pihak lain, mereka kehilangan ide untuk melawan Anies secara fair dan rasional. Maka isu politik identitas — yang sebenarnya dimiliki setiap individu dan entitas — diulang-ulang untuk meredupkan populeritas Anies. Toh, menurut ahli propaganda NAZI Jerman, Joseph Goebbels, kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran.

Sayang dalam konteks pribadi besar seperti Anies, yang prestasinya demikian terang-benderang untuk dinilai semua orang, kebohongan itu akan menjadi bumerang. Semakin disudutkan semakin besar simpati kepadanya. Orang Indonesia dikenal tak toleran kepada kezaliman yang ditimpakan kepada seseorang. Memang Anies hanya bisa dikalahkan oleh moralitas, pikiran, dan tindakan yang agung, bukan pikiran dan moral yang kerdil.

Tangsel, 25 Nov 2022

Simak berita dan artikel lainnya di Google News