by M Rizal Fadillah
Menurut keterangan Kepolisian motif Siti Elina berjalan di depan luar pagar Istana dan mengacungkan pistol FN ke anggota Paspampres adalah ingin menemui Jokowi dan menyampaikan bahwa bernegara berdasar Pancasila itu salah seharusnya Islam. Keberadaannya dikait-kaitkan dengan Negara Islam Indonesia (NII). Aksinya dengan mudah dilumpuhkan oleh beberapa personal polisi lalu lintas.
Motif jauh dari relevansi aksi. Mau ketemu Presiden Jokowi dengan cara menodongkan pistol FN ke arah Paspampres. Lucu sekali. Menurut berita tetangga, Siti Elina baru menjadi guru ngaji dan stress terhimpit oleh persoalan ekonomi. Nah mulai ketemu benang merahnya lebih kuat ke ekonomi ketimbang ideologi. Mungkin kecebur kolam jebakan.
Bahrul Ulum suaminya yang dituduhkan terkait NII konon ditangkap bukan untuk kasus Siti Elina. Lalu siapa yang memainkan Siti Elina ? Ketika kasus ini diambil alih oleh Densus 88 maka jadilah bagian dari dugaan terorisme. Lalu ini akan segera masuk ke ruang yang semakin gelap. Kasus karet multi dimensional. Kiri kanan oke.
Cerita dimulai dari motif perjuangan ideologi yang dilakukan dengan cara naif, lucu dan bodoh. Rekayasa lebih relevan menjadi model gerakan Satgassus Sambo ketimbang mendirikan Negara Islam. Singgungan kepada umat Islam yang masif, tendensius dan berulang. Moeldoko dan BNPT mulai ikut mengatur ritme orkestra. Konon 2023 dan 2024 akan meningkat radikalisme. Ia mencoba menjadi tukang sihir eh tukang ramal.
Dirkrimum Polda Metro Jaya Kombes Hengki Haryadi menyatakan Siti Elina terkait kelompok radikalisme “Setelah kami lakukan riksa ternyata benar tersangka ini mengarah kepada hal hal berkait radikalisme dan teror”. Belum terekspose darimana ia memiliki pistol dan mengapa melakukan tindakan sebodoh dan selinglung itu.
Mungkin akan segera tercatat dalam buku sejarah bahwa pernah ada radikalis atau teroris terbodoh di dunia yang ingin jumpa Presiden dengan cara mengacungkan pistol kaliber FN. Jauh di luar gerbang Istana. Memakai jilbab dan hijab lagi. Sungguh pelecehan luar biasa dalam perekayasaan yang keji.
Gawatnya, buku-buku yang disita dan dikaitkan dengan radikalisme adalah “Jalan Menuju Hidayah”, “luruskan Aqidah Anda” dan “Pribadi dan Akhlaq Rosul”. Waduh jika buku-buku agama dengan judul seperti ini dianggap radikal apalagi teror maka semakin ngawur saja negara ini dibawa.
Mungkin ada benarnya jika para mantan Kapolri berkumpul dan sengaja mendatangi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk mendukung dan mendorong perbaikan kinerja Kepolisian yang dinilai semakin babak belur pasca terbongkarnya perilaku “mafia” dan “tukang rekayasa” Satgassus pimpinan Ferdy Sambo. Terorisme termasuk mainannya pula.
Kasus Siti Elina yang aneh dan tidak rasional itu perlu dicermati apakah kejahatan sebenarnya atau kejahatan buatan. Isunya terorisme dan radikalisme. Isu itu selalu digunakan untuk memojokkan umat Islam. Mengapa dibangun framing HTI dan NII itu organisasi teroris ? Apa dasar hukum nya ? Sungguh zalim sekali.
Sebaiknya bapak Densus 88 membaca dan mendalami buku-buku “Jalan Menuju Hidayah”, “Luruskan Aqidah Anda” dan “Pribadi dan Akhlak Rosul”.
Semoga dengan mendalami itu bapak mendapat hidayah Allah, lurus akidah dan senantiasa meneladani akhlak Rosulullah SAW.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 29 Oktober 2022