Oleh: Anthony Budiawan – Managing Director PEPS (Political Economy and Policy Studies)
Hukum dibuat dengan tujuan memberi keadilan bagi semua pihak. Yang salah dinyatakan salah, yang benar dinyatakan benar, menurut hukum atau undang-undang yang berlaku. Artinya, semua orang sama dihadapan hukum.
Hukum berkaitan erat dengan logika, dan hukum dibangun berdasarkan alur pemikiran logika.
Menurut logika argumentasi Prof Romli Atmasasmita, Guru Besar Universitas Padjadjaran, Anies terbukti bersalah dalam kasus Formula-E. Prof Romli yakin Anies telah melakukan tindak pidana. Pertama, sudah ada perbuatan (actus reus) melawan hukum, dan kedua sudah ada niat jahat (mens rea): https://www.republika.co.id/berita/rj8mgj409/penjelasan-prof-romli-soal-adanya-mens-rea-dalam-penyelenggaraan-formula-e
Tulisan ini mempertanyakan logika argumentasi Prof RomIi dan konsekuensinya terhadap sistem keuangan daerah (APBD) serta sistem keuangan negara (APBN).
Ada tiga alasan utama Prof Romli menyatakan Anies bersalah dan melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan daerah dalam proyek Formula-E. Pertama, menurut Prof Romli, tidak ada pos anggaran untuk Formula-E di dalam APBD 2019, sehingga pelaksanaan proyek tanpa anggaran tersebut melanggar keuangan daerah (DKI).
Kesalahan kedua, meskipun tidak ada anggaran, Anies memaksa menjalankan proyek Formula-E dengan memberi kuasa kepada Kadispora untuk melakukan pinjaman kepada Bank DKI. Kesalahan ketiga, perjanjian dengan Formula-E menggunakan business-to-government yang melanggar persetujuan Kemendagri, yang mengharuskan pendekatan business-to-business.
Dari penjelasan Prof Romli, pelaksanaan proyek yang tidak ada pos anggarannya merupakan pokok tindak pidana yang merugikan keuangan daerah. Anggaran Formula-E memang tidak tercantum di dalam APBD DKI 2019. Tetapi, ada di dalam APBD Perubahan (APBD-P) DKI 2019. Kalau memang benar anggaran Formula-E ada di dalam APBD-P 2019, maka argumentasi Prof Romli dengan sendirinya gugur? Artinya, Anies tidak melakukan tindak pidana. Bukankah begitu?
Kemudian, seandainya benar, sekali lagi seandainya benar, tidak ada anggaran Formula-E di dalam APBD-P 2019, apakah ‘kesalahan’ ini merupakan tindak pidana? Pidana apa? Korupsi? Apakah ada kerugian keuangan DKI (negara)?
Sedangkan menurut hasil audit BPK terhadap Formula-E yang dipublikasi 20 Juni 2022 menyatakan Formula-E Jakarta layak dilaksanakan: https://jakarta.bpk.go.id/hasil-audit-bpk-nyatakan-formula-e-jakarta-layak-dilaksanakan/. Artinya, tidak ada kerugian keuangan DKI (negara), tidak ada pidana, bukankah begitu?
Selanjutnya, kita coba terapkan logika Prof Romli di tingkat pemerintah pusat, APBN.
Berdasarkan audit BPK untuk semester pertama 2022 terungkap ada 9.158 temuan dengan 15.674 permasalahan senilai Rp18,37 triliun. BPK menyatakan secara jelas, ada 8.116 permasalahan karena akibat ketidakpatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan, dengan potensi kerugian negara Rp17,33 triliun. Ketidakpatuhan artinya sama dengan pelanggaran, bukankah begitu?
Sebagian besar potensi kerugian negara tersebut terkait potensi pelanggaran pemberian insentif dan fasilitas perpajakan program PC-PEN (Penanganan Covid – Pemulihan Ekonomi Nasional), meliputi berbagai pelanggaran dari yang tidak berhak menerima hingga tidak valid.
Mengikuti logika argumentasi Prof Romli, audit BPK tersebut menunjukkan pertama, sudah ada perbuatan (melawan hukum) atau actus reus, karena potensi kerugian negara sudah terjadi, dan sudah dihitung BPK, dan kedua juga sudah ada niat jahat atau mens rea, karena insentif diberikan kepada pihak yang tidak berhak dan tidak valid.
Dengan demikian, menurut Prof Romli, penanggung jawab APBN terbukti sudah melakukan tindak pidana korupsi, dengan potensi kerugian Rp18,37 triliun, seperti logika argumentasi yang disangkakan kepada Anies Baswedan terkait Formula-E, meskipun, dalam hal APBD DKI, tidak jelas tindak pidana apa, karena tidak ada potensi kerugian negara (DKI)?
Kalau logika argumentasi Prof Romli yang dikenakan kepada Anies juga dikenakan pada pengelolaan keuangan negara, APBN, dengan prinsip kesetaraan hukum dan keadilan, maka logika argumentasi Prof Romli mengatakan Presiden Jokowi, sebagai penanggung jawab APBN, telah melakukan tidak pidana korupsi? Apakah demikian?
Maka itu, sangat bahaya sekali logika argumentasi Prof Romli, yang melihat permasalahan dengan sudut pandang sangat sempit, sehingga logika seperti itu bisa mempunyai dampak sangat buruk secara nasional.
Terakhir, proyek Formula-E, seperti proyek-proyek lainnya, harus dilihat dari dua sisi. Yaitu pelaksanaan (pembangunan) proyek dan operasional. Kalau pelaksanaan pembangunan proyek tidak mempunyai masalah keuangan, artinya bisa dipertanggungjawabkan, maka sudah sepantasnya menyatakan proyek Formula-E tidak bermasalah.
Hasil operasional proyek (Formula-E), misalnya rugi, tidak pernah bisa menjadi kerugian keuangan negara, sepanjang tidak ada korupsi. Kalau kerugian pengelolaan Formula-E dianggap sebagai kerugian negara, dan tindak pidana, maka ini bisa menjadi malapetaka bagi pengelolaan keuangan pemerintah (daerah maupun pusat).
Bayangkan, berapa banyak proyek nasional yang rugi, antara lain proyek-proyek jalan tol yang sekarang harus dijual oleh BUMN-BUMN Karya, atau proyek LRT Palembang, atau bahkan proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung yang pastinya juga akan rugi? Apakah semua ini akan menjadi kerugian negara dan menjadi delik pidana
Kalau logika argumentasi hukum hanya didasari rasa kebencian, pada akhirnya bisa berbalik kembali kepada tuannya, seperti bumerang. Kalau tuannya tidak pandai menangkap bumerang yang kembali tersebut, bisa-bisa leher yang terpotong.