Publik lebih mempercayai The Washington Post daripada pernyataan Kadiv Humas Polri terkait jumlah tembakan gas air oleh aparat kepolisian dalam tragedi Kanjuruhan.
“Kadiv Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo menyebut 11 tembakan gas air mata dalam tragedi Kanjuruhan. Namun publik lebih The Washington Post yang menyebut 40 tembakan gas air mata,” kata aktivis politik Rahman Simatupang kepada redaksi www.suaranasional.com, Sabtu (8/10/2022).
Menurut Rahman, kepercayaan masyarakat terhadap Polri sangat rendah dalam tragedi Kanjuruhan. “Apalagi ada Aremania yang memposting video kejadian Kanjuruhan dijemput paksa aparat kepolisian dan videonya di tiktok dihapus,” paparnya.
Rahman mengatakan, The Washington Post dalam menurunkan berita tragedi Kanjuruhan termasuk jumlah tembakan gas air mata menggunakan pendekatan science. “Laporan The Washington Post bisa dipertanggungjawabkan secara science,” jelas Rahman.
Kepolisian Negara Republik Indonesia membantah hasil investigasi media asing The Washington Post yang menyebut ada 40 tembakan gas air mata saat kerusuhan suporter di Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur, pada 1 Oktober 2022.
“Sebelas tembakan, seperti yang Bapak Kapolri (Jenderal Listyo Sigit Prabowo) sampaikan,” kata Kepala Divisi Humas Polri Inspektur Jenderal Polisi Dedi Prasetyo saat menyampaikan perkembangan penanganan tragedi Kanjuruhan di Markas Kepolisian Daerah Jatim, Surabaya, seperti dilansir Antara, Jumat (7/10/2022).
“Kejadian itu ada dua TKP. Pertama terkait Pasal 359 atau 360 di dalam. Di dalam memang anggota Polri melakukan penembakan gas air mata dalam rangka penghalauan,” katanya.
Massa suporter Aremania ini, diklaim Dedi, hendak melakukan tindakan anarkis sehingga aparat keamanan membenarkan dengan menembakkan gas air mata. Tak hanya itu, gas air mata juga ditembakkan ke massa suporter yang ada di luar stadion.
“Di luar pun ada kejadian. Ketika tim pengamanan mengevakuasi pemain dan ofisial Persebaya ke luar stadion dihadang, butuh waktu sekian lama. Juga terjadi perusakan, pembakaran, dan sebagainya,” jelas Dedi.
“Di situ juga aparat melakukan penembakan gas air mata untuk menghalau dan membubarkan massa agar tidak terjadi tindakan yang lebih masif lagi,” tambahnya.