Reformasi kepolisian dan penataan ulang harus dilakukan setelah munculnya berbagai tragedi yang menimpa rakyat mulai KM 50, kasus Sambo dan Kanjuruhan yang dilakukan aparat korps Bhayangkara.
“Rakyat harus meminta, menekan dan meminta kepada negara untuk mereformasi kepolisian yang ada saat ini dan harus ditata ulang dengan ketat untuk mengembalikan Tugas Pokok Kepolisian. Mencontoh Meksiko yang telah berhasil menata ulang kepolisian yang terlanjur rusak berat terlibat jaringan korupsi,” kata Koordinator Kajian Politik Merah Sutoyo Abadi kepada redaksi www.suaranasional.com, Kamis (6/10/2022).
Sutoyo menilai aparat kepolisian terkesan membela diri dan mengerahkan buzzer untuk menyalahkan suporter Arema FC dalam tragedi Kanjuruhan.
“Terkesan sedang dibangun membela diri dengan mengerahkan pasukan Buzzer, dan terpantau beberapa pejabat negara merekayasa membenarkan tindakan brutal dan kejam pembantaian di Stadion Kanjuruhan,” ungkapnya.
Polisi perlu direformasi dan ditata ulang, kata Sutoyo karena selama ini korps berbaju coklat terlihat kejam dalam menghadapi para demonstran. Belum lagi perilaku anggota kepolisian yang melakukan pungli dan membekingi perjudian dan prostitusi.
“Sangat kejam mengatasi massa demo, dipukul, diseret, diinjak dan ditendang dan perilaku kejam lainnya yang diluar nalar perikemanusiaan,” paparnya.
Kata Sutoyo, tragedi Kanjuruhan merupakan ladang pembantaian (the killing field) yang memakan korban ratusan orang meninggal dunia. “Dalam satu serangan perang pun tidak memakan korban demikian banyak, tak satupun yg gentle bertanggung jawab,” ungkap Sutoyo.
Perilaku polisi yang kejam, kata Sutoyo diduga akibat mendapat pendidikan di China sebagaiman pendapat Rizal Ramli.
Prof Rizal Ramli spontan membuka tabir kebiadaban mereka, dikatakan: Polisi Indonesia telah dilatih oleh polisi China dalam beberapa tahun terakhir, tidak heran tidak menghormati hak asasi manusia,” ujar Rizal Ramli dikutip dari unggahan twitternya, @RamliRizal (4/10/2022).
Menurut Sutoyo, media asing juga menyoroti kekejaman polisi dalam menghadapi massa.
Gaung bersambut The New York Times mengatakan : “Indonesia’s pollice force is highly militarised poorly trained in crowd control, has never been held accountable for missteps, expert say“. ( Kepolisian Indonesia sangat termiliterisasi, kurang terlatih dalam pengendalian massa, tidak pernah dimintai pertanggungjawaban atas kesalahan langkah, kata pakar).
Kata The Times, polisi Indonesia tidak pernah seberkuasa dan ‘sekejam’ ini. Selama tiga dekade lebih Soeharto berkuasa, militer sering dianggap berkuasa. Namun selepas 1998, polisi berkuasa sangat.
Pembantaian masal tersebut : “without warning sprayed tear gas at tens of thousands of spectators crowded in a stadium.” ( tanpa peringatan menyemprotkan gas air mata ke puluhan ribu penonton yang memadati sebuah stadion )
Pengamat politik Asia Tenggara Aaron L Connelly mengatakan, “Jokowi has been building a uniquely close relationship with the police … The police now act as both a security and political force, actively building legal Cases againt govenent opponent ( and ) silencing critics”. (Jokowi telah membangun hubungan dekat yang unik dengan polisi .. Polisi sekarang bertindak sebagai kekuatan keamanan dan politik aktif membangun kasus hukum melawan lawan pemerintah ( dan ) membungkam kritik)
“Kalau analisa Aaron Connely, ini benar maka semua kekacauan aparat kepolisian yang makin liar dan kejam, Presidenlah yang paling bertanggung jawab,” jelas Sutoyo.
Pengamat sosial politik dari Australia, Jacqui Baker, menilai kegagalan reformasi di institusi Polri sebagai salah satu penyebab tak langsung tragedi maut di Stadion Kanjuruhan, Sabtu (1/10/2022).