Gerwani yang diceritakan menari dengan telanjang di Lubang Buaya era Orde Baru hanya fiktif.
“Ini dulu yg diajarkan di sekolah waktu saya msh kecil, Gerwani nari2 nungging dan telanjang di Lubang Buaya. Ngarang ceritanya itu lho yg norak,” kata Pendiri Pesantren Ekologis Misykat Al-Anwar Bogor, Roy Murtadho di akun Twitter-nya @MurtodhoRoy, Jumat (30/9/2022). “Udah begitu dipercaya,” ungkapnya.
Roy Murtadho mengatakan seperti itu menanggapi akun Twitter Komunitas Bambu @KomunitasBambu: “Mereka melakukan pelecehan seksual terhadap para tahanan, bahkan mengebiri kemaluannya, mencungkil matanya, dan menyiksanya hingga mati. Hal ini sama sekali tidak masuk akal, tapi cerita ini masih dipercaya hingga sekarang”.
Seorang kurator museum di lokasi itu, M. Yutharyani, menjelaskan bahwa tidak ada kekerasan seksual yang terjadi dan tidak ada para perempuan menari telanjang di sana.
Sejumlah perempuan dari Gerwani, menurut penelitian profesor dan antropolog Universitas Amsterdam Saskia Eleonora Wieringa, memang berada di Lubang Buaya menjelang aksi dari kelompok yang menamakan diri Gerakan 30 September.
Namun, Gerwani sebagai organisasi tak pernah terbukti terlibat dalam aksi penyiksaan dan pembunuhan para perwira AD.
Dalam kesaksian Suharti, salah satu mantan anggota Gerwani yang dituliskan Saskia, Gerwani sejak awal 1965 memang sering berada di Lubang Buaya bersama sejumlah organisasi pemuda lain. Termasuk pemuda Nahdlatul Ulama (NU), Perwari, Wanita Marhaen, Wanita Islam dan Muslimat, untuk pelatihan dalam rangka persiapan konfrontasi dengan Malaysia.
Begitu pula dengan kesaksian Serma Bungkus, mantan anggota Resimen Tjakrabirawa yang penculik para jenderal. Dalam buku “Antara Fakta dan Rekayasa: Berdasarkan Kesaksian Para Pelaku Sejarah”, Bungkus menyatakan bahwa tidak ada tarian atau pesta yang diiringi nyanyian-nyanyian di Lubang Buaya.
Gerwani menari telanjang terus digaungkan dan ditambah variasi beberapa bulan setelah terjadi peristiwa G30S. Misalnya media terkemuka Kompas melaporkan pada 13 Desember 1965 bahwa 200 perempuan diminta untuk menari telanjang, ditonton oleh sekitar 400 pemuda, setelah itu mereka melakukan “seks bebas”.
Pada 1983, muncul kesaksian berikutnya dari salah seorang perempuan yang waktu itu hadir di Lubang Buaya, setelah ia keluar dari penjara: “Waktu itu saya berumur 16 tahun dan anggota Pemuda Rakyat … Saya menyaksikan para prajurit membunuh jenderal dan berlari pulang. Saya ditangkap jam 09.00 pagi hari dan di penjara selama dua minggu. Saya dipukul dan diinterogasi. Mereka menelanjangi saya dan memaksa untuk menari telanjang di depan mereka lalu difoto. Kemudian saya dibebaskan. Setelah beberapa saat, saya ditangkap dan dibebaskan lagi. Secara total saya ditangkap lima kali sebelum akhirnya mereka memutuskan untuk menahan saya di penjara. Kejadian tersebut di awal November tahun 1965 dan saya dibebaskan pada Desember 1982.”
Wanita muda ini menghabiskan waktu di penjara selama 17 tahun dan tidak pernah dibawa ke pengadilan. Tidak satu pun dari gadis-gadis dan perempuan yang hadir di Lubang Buaya mendapatkan keadilan. Tampaknya pihak militer tidak bisa mengungkapkan kisah mereka yang nyata.