Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)
Dalam sebuah kesempatan Jendral (Purn) Gatot Nurmantyo memberikan pencerahan tentang bahaya apabila Pancasila dilibas dan diubah menjadi negara liberal akan melahirkan kemiskinan dan suburnya komunis di Indonesia.
Pencerahan tersebut mengingatkan pada pendapat Stiglitz, penerima dua penghargaan Nobel Laureate (tahun 2001 untuk kategori ekonomi dan tahun 2007 untuk kategori perdamaian), pada kuliah umum di Central Europe University, Budapest, Hungaria, awal November 2014, dengan berat hati harus memberikan jawaban negatif atas pertanyaan yang sekaligus menjadi topik kuliah umum waktu itu.
Stiglitz memberikan jawaban “No” untuk pertanyaan yang berbunyi “Can Iiberal democracy create shared and sustained prosperity?”
(Dapatkah demokrasi liberal menciptakan kemakmuran bersama dan berkelanjutan?” )
Ketika Pancasila diabaikan saat ini maka masyarakat Indonesia langsung dihadapkan pada dua kutub persoalan, yakni liberalisme yang di antaranya mendorong kebebasan individu, sementara di sisi lain terdapat fundamentalisme yang membuat seseorang tidak toleran dan makin tajamnya jurang antara si kaya dan miskin tidak bisa dihindari.
Pada banyak hal, memiliki kandungan positif. Seperti mendorong seseorang untuk memperoleh haknya dalam kesejahteraan dengan berkompetisi. Namun, bila tak diatur ( kembali ke tujuan negara sesuai dalam pembukaan UUD 45 ) dan munculnya liberalisme sangat memungkinkan yang kuat akan menggusur ( yang lemah makin lemah ), yang miskin makin miskin – sebaliknya yang kaya makin kaya dan menindas.
Artinya, komunisme, liberalisme, sosialisme, dan fundamentalisme bukanlah ideologi asli suku-suku di Indonesia. Ideologi-ideologi itu diimpor di sinilah Pancasila dan rakyat Indonesia diuji.
Aliran liberalisme bisa membuat seseorang tak peduli kepada orang lain sehingga semangat gotong-royong meluntur. Sementara fundamentalisme mendorong lunturnya sikap toleransi, menghargai, dan menghormati yang lain. Akibatnya, kedamaian dan ketenteraman bisa terusik.
Konstruksi kehidupan bernegara yang beraliran liberal saat ini akan membawa bencana kehidupan masyarakat menjadi berantakan.
Tatanan yang dirancang para pendiri bangsa bahwa dalam kontruksi keindonesiaan, yang pertama adalah bahwa sila pertama dari Pancasila harus menjadi pondasi sekaligus mewarnai sila-sila yang lain. Sila pertama tidak dijadikan bingkai, tetapi sebagai pondasi.
Menempatkan sila pertama Pancasila sebagai bingkai atau wadah, sangat berisiko mendorong pihak-pihak yang memiliki ideologi tertentu, mengubah ideologi negara.
Hal tersebut, bisa menjadi bibit konflik yang berkepanjangan karena kondisi bangsa dan negara yang plural.
Kedua, dengan memahami sifat dan jiwa yang tergali dalam sejarah lahirnya Pancasila, patut untuk menjadi bingkai dari konstruksi keindonesiaan adalah sila Persatuan Indonesia.
Dengan demikian, rumusannya adalah apapun agama yang dipeluk (sesuai Sila Pertama), apapun aktualisasi kemanusiaan yang dilakukan (Sila kedua), bentuk demokrasi apapun yang dijalankan (Sila keempat) dan model keadilan yang dibayangkan (Sila kelima) tetap dalam bingkai persatuan Indonesia atau NKRI (Sila ketiga).
Setelah Pancasilais diabaikan dalam tatanan kehidupan bernegara dan saat ini telah berubah menjadi liberal. Didepan mata kita negara akan berantakan. Lahirnya kemiskinan tanpa perlindungan negara sebagai lahan suburnya kebangkitan komunis di Indonesia.
Kondisi seperti tidak ada jalan selain kesadaran untuk kembali ke UUD 45 asli dan Pancasila sebagai dasar, sumber hukum dan semangat bagi penyelenggaraan negara, dan pemerintah.
Kalau kesadaran tersebut tetap tidak disadari maka bencana dipastikan akan datang dengan segala macam ragam dan bentuknya. Dan berakibat negara berada di tepi jurang kehancurannya.