Pemerintah telah mengumumkan kenaikan harga beberapa bahan bakar minyak (BBM) seperti Pertalite, Solar, hingga Pertamax pada Sabtu (3/9) kemarin. Kenaikan harga tersebut tentu saja berdampak signifikan terhadap kehidupan rakyat dan perekonomian nasional.
Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) menilai kenaikan harga BBM akan memukul 70 persen rakyat Indonesia yang masuk dalam kategori miskin dan rentan miskin. Selain itu, 64 juta pelaku UMKM juga akan terguncang, karena mereka masih sangat bergantung pada BBM bersubsidi.
Ketua Umum PRIMA, Agus Jabo Priyono menyampaikan, naiknya harga BBM di tengah situasi ekonomi sebagian besar rakyat Indonesia belum sepenuhnya pulih dari dampak pandemi Covid-19.
Kenaikan harga BBM akan memukul 70 persen rakyat Indonesia yang kategorinya rentan dan miskin. Ini juga memukul 64 juta UMKM yang sangat bergantung pada BBM bersubsidi.
Upaya mengompensasi dampak kenaikan harga BBM dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) belum tentu efektif. Selain nominalnya yang terlalu kecil, yakni, Rp 600 ribu untuk 4 bulan, cakupannya juga hanya 20,65 juta orang dari 70 persen kelompok miskin dan rentan di Indonesia.
“Jika belum mampu membahagiakan rakyat, jangan persulit kehidupan mereka,” ungkap Agus Jabo dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (5/9).
Agus Jabo menjelaskan, kondisi APBN sepanjang Januari-Agustus 2022 mengalami surplus. Kondisi itu harusnya membuat pemerintah bisa mengamankan subsidi BBM, sehingga tidak perlu ada keputusan menaikkan harga BBM sekarang ini.
Apalagi, dalam pidato Presiden Jokowi menjelang peringatan HUT ke-77 Kemerdekaan RI lalu juga menegaskan bahwa postur APBN cukup aman, bahkan surplus, sehingga bisa menjaga harga BBM tetap bisa dijangkau oleh rakyat.
Menurutnya, untuk menjaga ruang fiskal tetap aman, selain memaksimalkan pendapatan negara dari pajak, termasuk memaksimalkan potensi pajak kekayaan, pemerintah perlu mendorong efisiensi besar-besaran untuk belanja birokrasi.
Pemerintah juga bisa menghapus anggaran yang memanjakan pejabat negara speerti uang pensiun DPR, renovasi kantor dan lain-lain, serta menunda proyek-proyek yang tidak begitu mendesak seperti infrastruktur, pembangunan Ibukota baru, dan proyek lainnya.
“Presiden bisa menunda pembangunan Ibukota baru hingga kondisi ekonomi Indonesia benar-benar pulih, sehingga bisa mengamankan anggaran sebesar Rp 466 triliun,” imbuhnya.
Ia juga menegaskan bahwa krisis energi yang terjadi hari ini dan masa depan harusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk menata ulang tata kelola energi nasional dari hulu ke hilir. Agar tata kelola energi nasional lebih berdaulat dan bisa memakmurkan rakyat sesuai mandat pasal 33 UUD 1945.
“Jangan lagi seperti kejadian hari ini: minyak mentah dari sumur-sumur minyak di Indonesia diekspor dan diolah di Kilang-Kilang minyak Singapura kemudian kita impor lagi,” tukasnya.
Agus Jabo menuturkan, PRIMA juga mendesak kepada pemerintah untuk meninjau ulang keputusan menaikkan harga BBM mempertimbangkan situasi ekonomi rakyat yang belum sepenuhya pulih dari pandemi.
Selain itu, mengingat cadangan minyak bumi yang makin terbatas dan ketergantungan pada impor yang semakin tinggi, pemerintah harus mempercepat transisi ke energi terbarukan yang potensinya melimpah di dalam negeri.
“Pengelolaan sumber daya energi, termasuk minyak bumi, juga harus dikembalikan pada mandat pasal 33 UUD 1945,” tutupnya.