Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan karpet merah oligarki China di Indonesia. Di era Jokowi investasi dari negara Tirai Bambu disertai kedatangan ribuan TKA China di Indonesia.
“Semua pintu dibuka oleh Jokowi, bahkan oligarki China diberi karpet merah untuk leluasa mengacak-acak Indonesia,” kata Koordinator Kajian Politik Merah Putih Sutoyo Abadi kepada redaksi www.suaranasional.com, Jumat (2/9/2022).
Indonesia masuk dalam skenario taktik dan strategi China dalam skema program traktat perdagangan yang dikenal dengan CAFTA (China – ASEAN Free Trade Area). “Untuk menciptakan Indonesia dalam kendali sesuai kepentingan ekonomi, budaya dan politik China,” papar Sutoyo.
Dalam menguasai berbagai negara termasuk Indonesia, kata Sutoyo China mempunyai strategi dengan nama One Belt One Road (OBOR). “China memberi hutang dan menawarkan investasi kepada Indonesia bukan hanya bermotif ekonomi tetapi jelas ada motif politik ketergantungan Indonesia kepada China,” tegas Sutoyo.
Kecelakaan ini sudah masuk pada titik nadzir. Pasal 6 (1) UUD 1945 yang semula berbunyi: “Presiden ialah orang Indonesia ASLI, diubah. Selangkah lagi target warga China harus bisa jadi Presiden Indonesia. Mereka sudah berhasil mengubah psl 6 (1) UUD 45 adalah prestasi gemilang sebagai pintu masuk China sebagai penguasa di Indonesia.
“Lengkap sudah instrumen pondasi Oligarki ( China ) untuk mengibarkan bendera sebagai tanda Indonesia sudah jatuh dalam penjajahan baru oleh Oligarki (China),” jelasnya.
Sutoyo mengatakan, berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk ini pemilikan tanah paling ekstrim di dunia, (berkaca pengalaman di Afrika Selatan, 5 persen penduduk kulit putih menguasai 50 persen tanah, negaranya bubar)
“Pembusukan dari dalam dan runtuhnya negara Indonesia sudah di depan mata. Terlihat masih normal tetapi sesungguhnya negara ini tinggal menunggu roboh dan kehancurannya,” jelasnya.
Pada masa Presiden Sukarno. Ketika dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1959. Isinya melarang mereka berdagang di daerah-daerah di bawah tingkat kabupaten. Semua pedagang eceran Cina harus menutup usahanya di pedesaan. Ratusan ribu WNA dipulangkan ke negeri leluhur.
Selain itu, Sutoyo mengatakan, di era Presiden Suharto, diterapkan kebijakan pokok warga asing dalam proses asimilasi terutama mencegah kemungkinan terjadinya kehidupan China menjadi eksklusif rasial.
“Masa Presiden Habibie terjadi kejadian fatal dan sangat menyakitkan ketika pribumi sedang terus terkena gempuran, keluarlah Instruksi Presiden Nomor 26 Tahun 1998 tentang Penghentian Penggunaan Istilah Pribumi dan Non Pribumi. Sebuah Keputusan yang menghilangkan akar sejarah terbentuknya NKRI,” ujarnya.
Beruntun pada masa Presiden Gusdur, Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono, lahir beberapa kebijakan Oligarki mulai menemukan bentuk dan tempat pijakan untuk mewujudkan i donesia sebagai imperium jajahannya.
“Lahirnya Keputusan Presiden Nomor 6/2000, yang memberikan warga China kebebasan melaksanakan ritual keagamaan, tradisi, dan budaya kepadanya. Lahir keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 2002, hari Imlek menjadi hari libur Nasional dan kebijakan yang isinya “kita tidak boleh menyebut China diganti Tionghoa atau komunitas Tionghoa,” pungkasnya.