Oleh: Yusuf Blegur*
Khasanah politik nasional selama satu dekade ini telah dipenuhi oleh kosa-kata dunia binatang. Tidak hanya cicak dan buaya, bahkan kecebong dan kampret hingga kadal gurun pun terus eksis menjadi ilustrasi sekaligus representasi keseharian dinamika retoris demokrasi di Indonesia. Umpatan, hujatan dan caci maki yang mengedepankan entitas kebinatangan bertebaran begitu marak di negeri Pancasila. Republik seperti kebun kumpulan para binatang.
Salah satu kerusakan fundamental dan prinsipil kepemimpinan rezim hampir dua periode ini adalah terjadinya pembelahan sosial pada rakyat. Tak ubahnya seperti menciptakan pola pertentangan kelas dalam masyarakat, pemerintah seakan terus membiarkan sikap permusuhan, kebencian dan bahkan konflik pada sesama anak bangsa. Tanpa memikirkan bahaya dan resiko yang begitu tinggi, kekuasaan tak tanggung-tanggung memainkan isu sara khususnya agama sebagai komoditas politik. Mirisnya lagi, rakyat di adu-domba sebagai trik rezim untuk menguras kekayaan negara sembari berupaya melanggengkan kekuasaan.
Unik tapi menyedihkan, disaat para pejabat dan pemimpin kering dari jiwa nasionalis dan patriotis. Rakyat justru kehilangan semangat kebangsaannya. Ikut dan larut dalam sistem yang rusak, menebar jargon dan slogan nasionalisme beraroma hangat-hangat tai ayam. Disana koruptor dan perampok, di sini maling, dimana-mana ada pencuri. Negeri seperti persada bagi banyaknya para pencoleng beragam muka dan kedok. Kemunafikan bermanifestasi menjadi ideologi, harta dan jabatan secara intens telah menjadi agama baru.
Cukup banyak yang melihat semua masalah rakyat, negara dan bangsa hanya bersumber dari tafsir, pemahaman dan kehendak sendiri. Hanya sedikit yang terbiasa tidak merasa hidup dan tinggal sendiri di bumi tanah air ini atau dimanapun tempat yang ada. Merasa paling berjasa, merasa paling memiliki dan merasa paling berhak atas negera dan masa depannya, membuat segelintir orang atau kelompok menjadi arogan dan sok kuasa.
Selayaknya, kalau menyadari kebhinnekaan dan kemajemukan itu berarti menghormati dan menghargai persfektif yang datang dari luar juga.
Bahwasanya masih teramat banyak ekspresi dan aspirasi yang ada dalam pasar raya KeIndonesiaan.
Bukan hanya dari satu golongan, ideologi, dan aliran politik semata. Tidaklah realistis malah cenderung menjadi otoriter dan dikrator, jika visi kebenaran hanya datang dari diri atau kelompoknya sendiri.
Bagaimana mungkin seorang yang mengaku-ngaku nasionalis gagap untuk terbuka dan kolot menggenggam eksklusifisme.
Merasa paling benar, paling hebat dan paling mengetahui segalanya tentang negeri ini. Orang-orang seperti itu bersama kelompok dan golongannya, menganggap semua tanggungjawab dan kepemimpinan rakyat, negara dan bangsa Indohesia hanya ada di pundaknya semata.
Bung Karno saja bergelora dengan Marchts Vorming, nasionalisme yang tumbuh dan hidup ditaman sari internasionalisme dan bahkan kegigihannya pada Nasakom diperjuangkan hingga ujung kekuasaannya.
Sebagai pemimpin bermahzab nasionalisme yang kiri, beliau sendiri tidak tabu dan alergi pada realitas sosial yang menjadi irisan global. Termasuk pada politik Islam yang pernah digelutinya bersama koleganya sesama pendiri bangsa.
Idealnya pemikiran dan sikap kebangsaan ini juga bisa inklusif setidaknya bisa menjadikan kritik oto kritik dan refleksi ke dalam terhadap dinamika luar, jika masih menganggap entitas sosial dan politik bangsa ini begitu plural. Tak boleh ada lagi yang membabi-buta mengaku-ngaku paling Pancasilais, paling nasionalis dan paling NKRI.
Sudah bukan jamannya lagi menggunakan pola menang-menangan dan merasa paling unggul. Setidaknya ada yang bisa dicari kongklusinya untuk membangun sinergi dan elaborasi dari perbedaan yang ada. Mungkin dari situ bisa diraih keharmonisan dan keselarasan dari keberagaman. Ada nilai-nilai universial yang bisa diraih, salah satunya tentang kemanusiaan meskipun pada hubungan yang paling ekstrim sekalipun di dunia seperti sara sekalipun.
Contoh saja dalam sosial keagamaan, yakinlah dan pegang teguh saja prinsip spirit dan religi masing-masing. Umat Islam tidak keluar dari aqidahnya, umat Kristen atau katholik pada keyakinan imannya. Begitu juga dengan umat Hindu, Budha dan lainnya, bisa berhikmad sesuai ajarannya masing-masing.
Jangan melampau batas, masuk yang bukan ranahnya apalagi memicu eksistensi berlebihan.
Jadi jujur ke dalam itu penting tentang siapa kita dan siapa orang lain serta bagaimana hubungan yang merangkul itu dapat dibangun secara langgeng. Mari dengan segenap kesadaran dan keihkhlasan, semua anak bangsa bersetia dan menggumuli konsensus nasional kebangsaan Indonesia. Tentunya dengan tidak mengabaikan cita-cita proklamasi sebagai jembatan emas menuju masyarakat adil dan makmur. Termasuk sanggup dan mampu membuang jauh-jauh nasionalisme tai kotok.
*Munjul-Cibubur, 4 Juli 2022.*