Rancangan Undang-Undang (RUU) memberangus kebebasan sipil dan menjadi alat represif Rezim Joko Widodo (Jokowi).
“Sejumlah pasal yang mengancam kemerdekaan berpendapat, membungkam kebebasan sipil serta akan menjadi sarana represi sebagaimana diatur dalam Pasal 240 dan 241 draf RKUHP terkait perbuatan menghina pemerintah yang dapat dikenai hukuman penjara maksimal 3 tahun, bahkan 4 tahun jika perbuatan tersebut dilakukan melalui teknologi informasi,” kata Ketua Umum Koalisi Persaudaraan dan Advokasi Umat (KPUA) Ahmad Khozinudin kepada redaksi www.suaranasional.com, Jumat (1/7/2022).
Kata Khozinudin, Pasal 353 dan 354 draf RKUHP terkait perbuatan menghina kekuasaan umum dan lembaga negara yang bisa dipidana penjara hingga 3 tahun.
Pasal 246 dan 247 draf RKUHP terkait perbuatan menghasut penguasa umum yang dapat dipidana penjara maksimal 4 tahun, dan Pasal 218 hingga Pasal 220 RKUHP terkait perbuatan menyerang kehormatan dan martabat presiden yang dapat dipidana penjara hingga 3,5 tahun.
Khozinudin mengatakan, adopsi sejumlah norma represi dalam pasal-pasal RKUHP ini akan semakin membuka potensi kezaliman rezim terhadap rakyat.
“Saat ini saja, norma hukum yang sudah ada seperti dalam ketentuan pasal 14 dan 15 UU No 1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana dan pasal 28 ayat (2) UU No 19 tahun 2016 tentang perubahan UU No 11 Tahun 2008 tentang ITE, diduga sering digunakan oleh rezim Jokowi untuk mengkriminalisasi Ulama, aktivis dan siapapun yang memiliki pendapat berseberangan dengan rezim dengan dalih menyebar hoax dan SARA,” jelasnya.
Norma-norma represif dalam RUU KUHP ini juga berpotensi akan disalahgunakan untuk merepresi aspirasi politik yang berbeda dengan rezim, khususnya bagi pendukung Capres – Cawapres yang berseberangan dengan Capres dan Cawapres yang didukung Petahana.
“Partai politik dan politisi di Senayan harus menyadari potensi bahaya dibalik RUU KUHP yang dapat dijadikan sarana menekan secara politik kepada pendukung Capres Cawapres yang mereka usung dalam Pilpres 2024 nanti,” tegasnya.
Menurut Khozinudin, sikap tertutup pemerintah dan DPR yang tidak membuka draf final RKUHP mengindikasikan ada motif jahat dibalik rencana pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang. Saat ini yang beredar ditengah masyarakat hanya RUU KUHP versi tahun 2019.
“Tidak menutup kemungkinan, isi RUU KUHP terbaru lebih represif ketimbang yang sudah diatur dalam draf RUU KUHP tahun 2019,” pungkasnya.