Perjuangan Presidential Thresold (PT) nol persen nampaknya akan terus berlanjut. Setelah belasan kali pengajuan Judicial Review ditolak Mahkamah Konstitusi (MK), kini harapan dari dikabulkannya PT nol persen tinggal pada gugatan judicial review yang diajukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang belum diputus MK.
Menurut aktivis Tionghoa, Lieus Sungkharisma, entah apa yang akan terjadi terhadap bangsa ini jika gugatan DPD itupun ditolak MK. Ketua DPD RI, LaNyalla Mattalitti jauh-jauh hari bahkan sudah mewanti-wanti MK, bahwa akan terjadi revolusi sosial jika gugatan lembaga tinggi negara sekelas DPD pun ditolak MK yang diketuai oleh adik ipar presiden Jokowi itu.
Situasi itulah yang kemudian mendorong Lieus Sungkharisma, bersama sejumlah pemuka agama Buddha dan Kong Hu Chu, Jum’at lalu (24/6/2022) meminta ijin dan mengajukan pemberitahuan ke Polda Metro Jaya untuk menggelar doa. Sayang, rencana doa untuk keselamatan bangsa itu gagal dilaksanakan karena aparat kepolisian di lapangan tak membolehkan.
Pelarangan dengan dalih yang sulit diterima akal sehat itu, tentu saja membuat Lieus berang. “Saya tahu aturan. Tapi kenapa saya dilarang? MK ini adalah gedung milik rakyat dan saya hanya mau berdoa di depan gedung ini,” katanya.
Lieus yang datang bersama enam orang pemuka agama itu, akhirnya kembali dengan membawa buah persembahan dan alat-alat sembahyang, termasuk hio yang sudah dipersiapkan.
Lieus menyebut, upaya berdoa di depan gedung MK itu dilakukan karena keprihatinannya atas putusan MK yang menolak semua permohonan judicial review terhadap pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Pasal 222 itu yang mengatur ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) sebesar 20%. Dan pasal itu bertentangan dengan UUD 1945. Karena itu kita ingin berdoa, memohon pada yang Maha Kuasa agar hati nurani hakim MK dibukakan Tuhan,” jelas Lieus.
Ditambahkan Lieus, memohon doa kepada Tuhan adalah salah satu jalan agar PT 20 persen itu dihapus. “Sebab peraturan itu selain merusak demokrasi, juga menjadi penyebab suburnya oligarki,” tegasnya.
Selain itu, tambah Lieus, PT 20% itu sangat berbahaya bagi masa depan bangsa. Sebab tokoh-tokoh bangsa yang memiliki kualitas yang baik, tidak akan mendapat kesempatan untuk berpartisipasi dalam Pilpres oleh karena penentuan calon hanya dimiliki parpol besar atau gabungan parpol.
“Lebih parah lagi, penentuan calon presiden tak bisa pula dilepaskan dari para pemilik modal (kekuasaan oligarki ekonomi) yang siap mendanai pencapresan yang diajukan partai-partai politik itu,” katanya.
Bahkan, kata Lieus lagi, dengan kekuatan uangnya, oligarki dapat mengatur siapa figur yang bisa diusung parpol dan bahkan bisa mengatur kemenangannya. “Itulah yang ditengarai terjadi sejak Pilpres 2014 dan 2019,” kata Lieus.
Karena itulah Lieus meminta rekan-rekannya sesama pengaju judicial review Pasal 222 UU Pemilu di MK, membangun persatuan untuk terus menyuarakan tuntutan PT nol persen ini.
“Sebab saya tidak mau apa yang dinyatakan Ketua DPD RI, La Nyalla Mattalitti bahwa akan terjadi revolusi sosial jika gugatan judicial review DPD pun ditolak MK, benar-benar terjadi di negeri ini,” katanya.
Maka satu-satunya jalan agar revolusi itu tidak terjadi, adalah dengan berupaya memanjatkan doa kepada Tuhan. “Sayang, MK pun ternyata banyak Jin-nya sehingga untuk berdoa pun orang dilarang,” keluhnya.