Oleh: Smith Alhadar, Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Di tengah lolongan anjing yang memilukan, seorang dukun sakti meramal: Anies Baswedan tak ikut kontestasi pilpres 2024. “Ada kekuatan-kekuatan jahat yang memblokade jalannya menuju pencapresan.” Langsung geger.
Sebagian orang senang bukan main mendengar kabar itu. Biarlah pendukung khilafah itu pergi! Tentu mereka tak percaya pada apa yang mereka katakan sendiri. Tapi itu tak penting. Yang utama adalah black campaign tertanam kuat di benak orang awam. End justifies the means, tak peduli propaganda itu menghancurkan nurani dan intelektual bangsa muda yang hendak bangkit.
Orang-orang jujur dan pandai sampai hilang akal, apa gerangan yang telah merasuki pikiran dan hati mereka sehingga sedemikian bencinya pada tokoh santun itu? Padahal, Anies berdiri tegak di sana, telanjang, untuk dinilai semua orang.
Tak apa tak menyukai dia. Toh, Anies bukan pangeran dari kahyangan yang berlenggok ringan di muka bumi tanpa cela. Tapi, sebagaimana sabda Utusan Tuhan, “Janglah kebencianmu pada seseorang membuat kamu tak berlaku adil padanya.” Ah, percuma saya ingatkan hal ini.
Namun, sebaiknya kalian berdebat dengan dia tentang apa saja yang kalian pandang sebagai dosanya. Anies menyukai debat jujur dan ilmiah, yang lawannya dipandang sebagai mitra dalam demokrasi. Tapi saya khawatir kalian ogah karena memerlukan data dan bobot intelektual yang tinggi untuk menghadapinya.
Sebagian lain tak percaya pada ramalan dukun sakti itu. Apapun, dia tetap dukun yang irasional. Namun, mereka belum dapat memetakan dengan pasti koalisi-koalisi yang mungkin terbentuk, partai apa mengusung siapa. Politik nasional hari ini masih sangat dinamis.
Lihat, baru dua hari koalisi Semut Merah terbentuk langsung bubar. Salah satu parpolnya minggat untuk membangun Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya dengan partai lain. KIB juga diragukan akan permanen hingga pilpres. Sementara capres yang didukung resmi belum ada. Alhasil, hitung-hitungan rasional belum dapat dilakukan, terlalu banyak variable dan dapat berubah cepat seiring dinamika di lapangan.
Dan Anies punya peluang mendapatkan perahu menuju pilpres. Elektabilitasnnya cukup tinggi. Lebih daripada itu, ini tokoh paling kredibel untuk memimpin Indonesia yang sedang terpuruk. Mana mungkin dukun lebih unggul dari cendekiawan politik. Namun, mereka mengakui banyak program Anies menghadapi resistensi bermotif politik.
Bagaimanapun, banyak yang terguncang mendengar ramalan itu. Wajah dukun sakti itu bersih, hati ikhlas, dan menolak bayaran. Mereka yang percaya menghubungkan kekuatan-kekuatan jahat itu dengan triumvirate (tritunggal): oligarki ekonomi, oligarki parpol, dan Ki Lurah. Maka, mereka cepat-cepat mencari Tuhan agar mengubah pikiran dan hati tritunggal.
Anies yang cerdas, bergengsi, dan visioner, harus menjadi salah satu di antara para aspiran capres yang tak punya visi. Yang jauh lebih penting, ada yang tak punya integritas, nirprestasi saat memimpim daerah, dan nasionalis impulsif yang tak lagi relevan dengan tuntutan zaman.
Namun, terkait doa mereka yang terguncang, seorang fakir memperingatkan: sudah sangat lama Tuhan muak dengan permintaan semacam itu. Bukankah telah diperingatkan bahwa “Tuhan tak akan mengubah nasib suatu bangsa hingga bangsa itu mengubah nasibnya sendiri?”
Kini, sedang berjalan siasat-siasat untuk menghempaskan Anies dari arena permainan. Memang ia memiliki kapasitas moral, intelektual, dan leadership yang mumpuni, tapi ia terlalu pintar, independen, moralis, dan menolak status quo. Orang seperti ini tak dapat dikendalikan karena menempatkan kepentingan rakyat di atas segalanya demi menghadirkan keadilan sosial sesuai dengan spirit Pancasila dan konstitusi.
“Persetan dengan konstitusi,” kata tritunggal, “Rakyat harus realistis bahwa nasib Indonesia hari ini ditentukan oleh kepentingan kami. “Bullshit dengan kedaulatan rakyat.” Bukankah rakyat tak punya duit, sedangkan pemilu butuh banyak dana yang hanya dimiliki oligarki?
Dukun sakti itu bilang, terbentuknya Koalisi Indonesia Bersatu atas perintah Ki Lurah, yang diarahkan untuk mengusung calon non-Anies. Masuk akal, karena berdasarkan kalkulasi politik, koalisi itu kontroversial. Konstituen dua dari tiga parpol koalisi mayoritas pendukung Anies. Apa boleh buat, ketundukan ketua umum parpol pada kehendak Ki Lurah lebih utama ketimbang patuh pada desakan konstituen meskipun resiko politiknya sangat besar.
Toh, Ki Lurah menawarkan kekuasaan dan jaminan kasus korupsinya akan dipetieskan. Ki Lurah berharap, parpol lain akan bergabung dengan KIB, yang elektabilitas bakal capresnya cukup tinggi. Kalau pun mereka enggan, sebagian parpol sisa akan membentuk koalisi tersendiri yang tak akan mendukung Anies, yang bukan orang partai.
Menyedihkan niat buruk Ki Lurah, tapi bisa diprediksi sistem politik kita akan berujung pada permainan semacam ini. Ambang batas pencapresan 20 persen mengamputasi kedaulatan rakyat dan menutup peluang figur-figur kredibel lain untuk ikut bersaing dalam pilpres.
Lalu, pemilu berbiaya besar membuka akses sebesar-besarnya bagi masuknya oligarki ekonomi sehingga berperan besar dalam menentukan figur capres. Dan yang mencemaskan, mereka memprioritaskan figur yang tak punya gagasan dan mudah diatur, seperti dalam pilpres kemarin.
Gerakan reformasi ’98 bertujuan menghadirkan pemerintahan demokratis yang bebas KKN. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Betapa apesnya kita! Gerakan yang meminta darah mahasiswa hanya mengantarkan oligarki ekonomi dan oligarki parpol ke posisi penentu hitam-putihnya negeri ini.
Dalam pilpres mendatang, bertambah lagi satu pemain, yang menjadi game changer, yaitu Ki Lurah. Dia punya calon favorit yang akan meneruskan program-program pembangunannya. Ia berasumsi sekiranya presiden berikut meneruskan proyek-proyek raksasa yang dicanangkannya, termasuk yang mangkrak, maka Indonesia akan menjadi negara makmur dan maju.
Amboi, mana mungkin! Hitung-hitungan akal sehat menggunakan semua disiplin ilmu yang relevan tak akan menghasilkan kesimpulan itu. Tapi memang bukan itu yang menjadi harapan utama Ki Lurah. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana presiden berikut menyelamatkan dinasti politik dan legacy-nya yang bermasalah.
Jangan meremehkan kemampuan Ki Kurah memainkan bidak-bidak di panggung politik kita. Sangat mungkin ia tak memahami keseluruhan ilmu politik, tapi nampak sangat mahir pada aspek hitamnya. Dan dia punya kuasa. Juga pengaruh. Parpol dan calon berebut coattail effect-nya. Tak usah tanya mengapa orang seperti Ki Lurah punya begitu besar pengaruh karena kita sedang berada di zaman deintelektualisasi.
Mereka tak hanya takut pada maksud Ki Lurah. Yang tak kurang menakutkan adalah peran oligarki ekonomi. Para oligark jelas tak menyukai Anies karena berkomitmen membawa Indonesia pada cita-cita kemerdekaan: menegakkan demokrasi yang merosot belakangan ini, mempersatukan kembali masyarakat yang terpolarisasi, menciptakan keadilan sosial yang sudah sangat lama terabaikan, dan menegakkan kedaulatan rakyat.
Komitmen yang terakhir itu membawanya berhadap-hadapan dengan tritunggal, terutama para pemodal yang menjadi keprihatinan publik belakangan ini. Pancasila dan konstitusi tinggal nama, spirit dan amanatnya dibajak untuk kepentingan mereka sendiri. Apa mau dikata, konon para oligark bersedia membayar triliunan rupiah kepada tiap parpol penentu asalkan tidak mengusung Anies.
Untuk mencapai tujuannya, Ki Lurah dan oligarki memelihara buzzer yang diberi tugas menggonggong bahaya intoleransi, radikalisme, dan khilafah, yang kesemuanya secara jahat dilekatkan kepada Anies. Kekuatan apa pun yang mengancam eksistensi NKRI memang harus digasak. Tapi isu-isu itu terkesan terlalu dipaksakan dengan mengorbankan keakraban di antara anak bangsa.
“Apakah skenario tritunggal akan berhasil?” tanya mereka pada dukun sakti. “Saya tidak tahu,” katanya. Memang masih ada parpol yang belum dikuasai Ki Lurah dan oligarki. Masih memungkin mereka berkoalisi untuk mengusung Anies. Dan nampak ada lampu kuning samar-samar di sana.
Karena posisi Anies sebagai aspiran capres belum aman, mereka mengabaikan peringatan si fakir dan terus berdoa. Anies bukan tokoh kaleng-kaleng yang layak dibuang dari sejarah politik bangsa. Di kemudian hari, anak-cucu akan mempertanyakan kearifan para elite kalau nemperlakukan dia dengan ceroboh. Wallahu ‘alam bishawwab!
Tangerang Selatan, 24 Juni 2022