Pidato Megawati Hanya Basa Basi Politik

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Ketua Umum PDI Perjuangan (PDI-P) Megawati Soekarnoputri mengatakan, tidak ada sebutan koalisi di Indonesia. Hal ini mengingat sistem tata negara menganut sistem presidensial dan bukan parlementer.  Megawati menilai  cocok penyebutan kerja sama politik dibandingkan koalisi. Hal ini pun disampaikannya di hadapan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang menghadiri acara Rakernas PDI-P, Selasa (21/6/2022). “Kalau kerja sama, yes,” kata Megawati dalam Rakernas PDI-P di Sekolah Partai, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Selasa.

Kalau hanya dari definisi bahasa apa bedanya koalisi dengan kerja sama ..?. Koalisi adalah sebuah atau sekelompok persekutuan, gabungan, atau aliansi beberapa unsur, yang dalam kerjasamanya, masing – masing memiliki  kepentingan  sendiri-sendiri. aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat.

Hanya dalam  praktik yang umum ditemui, pembentukan koalisi dalam sistem pemerintahan presidensial sejatinya merupakan praktik yang salah kaprah. Pembentukan koalisi dan oposisi partai politik hanya ada dalam sistem parlementer.

Koalisi memiliki peran yang substansial dan berbeda dalam sistem pemerintahan parlementer, bukan hanya bertujuan untuk memenangkan Pemilihan Umum.

Sampai di sini pidato Megawati, ada benarnya , tetapi tidak menyentuh substansi dan realitas yang terjadi selama ini .

Untuk apa kalau hanya  soal nama ( koalisi dan kerjasama ) tetapi mengabaikan prakteknya PDIP sebagai pemenang sekaligus tampak menempati posisi sebagai leader koalisi gemuk di kabinet selama ini.

Kondisi tersebut membuat check and balances dalam sistem pemerintahan presidensial tidak dapat berjalan dengan maksimal bahkan ditengarai lumpuh total bahkan netizen memberi stigma legislatif hanya sebagai stempel pemerintah.

Kenapa tidak masuk pada substansinya bahwa terjadinya koalisi gemuk di kabinet akan merusak tatanan  hususnya peran chek and balance macet total, dan PDIP via Ibu Megawati harusnya disampaikan dengan jelas dan PDIP menolak adanya koalisi gemuk dalam kabinet saat ini.

Terjadinya kemandulan fungsi pengawasan dari legislatif terhadap eksekutif mestinya di sadari oleh PDIP. Karena dalam sistem presidensial, presiden dan anggota parlemen terpilih secara terpisah dalam dua pemilu (legislatif-eksekutif) yang berakibat daulat kuasa antara keduanya relatif sama secara langsung lahir dari rakyat.

Oleh karena presiden berposisi cukup kuat, serta dipilih langsung oleh rakyat, tidak ada kewajiban membangun koalisi dalam membentuk pemerintahan. Karenanya, koalisi dalam membentuk pemerintahan nyaris tidak perlu. Jadi urusan koalisi atau kerjasama bukan hanya dibahas menjelang ahir masa jabatan Presiden dan hanya menjelang Pilpres 2024.

Sejak awal pemerintahan Jokowi semua partai termasuk PDIP selalu berebut jabatan menteri. Artinya sebenarnya sangat jelas, tak ada kebutuhan mendasar bagi Presiden sendiri untuk membangun koalisi dalam membentuk pemerintahan, membagi rata jabatan menteri asal asalan dr wakil partai.

Tanpa terasa,  logika seperti itu sebenarnya merusak kepercayaan publik atas pemerintahan, terlebih atas janji-janji yang selama ini dibahasakan oleh Presiden dengan keinginan membangun kabinet yang zaken. Dan rongrongan partai untuk meminta jabatan menteri sebenarnya adalah gangguan atas prerogatif itu sendiri.

Rasanya penting menjadi perhatian khusus Ibu Megawati bahwa prerogatif Presiden dalam menunjuk menteri-menteri kabinet tidaklah perlu dikaitkan dengan dukungan pada pemilu. Ini sebabnya, mengapa sedari awal sebenarnya kita harus menolak model threshold yang mengada-ada ala presidential threshold.

Ibu Megawati harus mengingatkan Ketua DPR RI Puan Maharani  nota bene putrinya ( otomatis kader PDIP) yang membuat pernyataan  meminta semua pihak menghormati aturan ihwal ambang batas presiden atau presidential threshold. Ia menegakan PT sudah final dan tidak dapat diubah. “Di DPR revisi undang-undang sudah final tidak akan dibahas lagi, itu sesuai dengan kesepakatan yang ada,” kata Puan di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (16/12/2021).

Sama sekali tidak ada perlawanan dari anggota dewan semua diam dengan tenang dalam koalisi partai gemuk partai partai dengan istana.

“Kalaulah tanpa nama koalisi tetapi memakai nama kerja sama seperti saat  ambang batas bagi partai atau gabungan partai untuk mengajukan capres atau cawapres (presidential threshold) dipakai dengan seakan-akan menyamakan kepentingan koalisi dalam membentuk pemerintahan dan menjalankan pemerintahan, semua terjebak dalam basa basa politik belaka”.

Jebakan logika ini sangat terlihat, sehingga bahkan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.53/PUU-XV/2017 dalam perkara pengujian presidential threshold pun mengikuti tabuhan genderang kepentingan politik ini. Sehingga menyamakan pengajuan syarat menjadi capres dengan cita-cita sistem presidensial.

Logika tersebut tersebut adalah logika sesat. Hal ini bahkan dibahas secara sangat baik dalam dissenting opinion pada putusan itu. Hakim Saldi Isra dan Suhartoyo mengatakan, rezim ambang batas dalam pencalonan yang menggunakan hasil pemilu legislatif sesungguhnya tidak relevan, dan logika mempertahankan dukungan besar pada presiden malah bisa menjadi perangkap menjadi pemerintahan otoriter.

Pidato Ibu Megawati ada benarnya tetapi dari substansi dan praktek kenyataan dalam pemerintahan saat ini – pidato tersebut hanya basa basi politik. Karena PDIP dengan Koalisi gemuknya telah mempertontonkan praktek kenegaraan yang keliru dalam sistem presidensial.

Dikutip dari Jurnal Comparative Political Studies, pembentukan koalisi (koalisi partai politik)  dalam Pemilihan Umum menyebabkan polarisasi  dalam sistem pemerintahan presidensial. Kondisi tersebut membuat check and balances dalam sistem pemerintahan presidensial tidak dapat berjalan dengan maksimal atau sesungguhnya terjadi kemacetan yang fatal dalam sistem Presidensial.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News