Agenda reformasi bangsa Indonesia menuju Orde Lama (Orla) dan jauh lebih buruk
“Agenda reformasi kini berbalik arah menuju Orla yang jauh lebih buruk,” kata Guru Besar ITS Prof Daniel Mohammad Rosyid dalam artikel berjudul “Piagam Jakarta: Kesepakatan Agung Yang Dikhianati”
Dalam melawan arus balik menuju Orla kata Daniel kekuatan moral mahasiswa harus segera dimulai dengan membangkitkan kembali daya kritis mahasiswa di internal kampus bukan hanya dengan demonstrasi di jalan-jalan di luar kampus.
“Template kehidupan dangkal pada banyak mahasiswa semacam lulus tepat waktu, meraih predikat cumlaude lalu bekerja di BUMN dan MNC atau menjadi youtubers telah melemahkan mahasiswa sebagai kekuatan moral. Sebagian besar koruptor adalah alumni perguruan tinggi terkenal dengan kualifikasi magister,” ungkapnya.
Kata Daniel, agenda reformasi berhasil mengubur Pancasila di bawah kaki kekuatan-kekuatan kiri dan nasionalis radikal terus menerus menuduh Islam sebagai musuh Pancasila, intoleran, bahkan anti-NKRI. Sambil terus mempropagandakan agenda sekulerisasi mereka, yang terakhir soal LGBT.
“Kekuatan-kekuatan kiri dan nasionalis radikal ini menabuh genderang islamophobia sehingga ummat Islam semakin terbungkam untuk mengartikulasikan kepentingan politik Islam secara bebas dan terbuka. Tuduhan politik identitas bahkan telah disematkan oleh elite parpol berkuasa untuk mematikan politik Islam sebagai imajinasi politik baru.
Menurut Daniel, model pengelolaan pemerintahan Islam alternatif perlu diwacanakan secara akademik dan lebih luas agar menjadi opsi yang wajar saat negara terjebak hutang yang makin menggunung, kesenjangan spasial yang meluas, ketimpangan ekonomi yang memburuk, serta kedaulatan negara yang menghilang.
“Dinamika global dan regional telah menyeret Republik ini menjadi hanya sekedar negeri satelit Amerika atau China,” ungkapnya.
Rangkaian Pemilu yg dibanggakan sebagai “praktek demokrasi terbesar ke-4 di dunia”, bahkan “Islam terbukti compatible dengan demokrasi” telah mengalami devolusi.
Pemilu makin terbukti hanya sebagai instrumen legitimasi kekuasaan para elite politik yang disokong para taipan, bukan sebagai platform rekrutmen pejabat publik yang dapat dipercaya untuk bekerja bagi kepentingan publik.
Dengan ongkos yang makin mahal, menurut Daniel, Pemilu telah dijadikan instrumen net transfer hak-hak politik rakyat pada partai-partau politik yang kemudian hampir secara sengaja tidak disalurkan ke Parlemen untuk diperjuangkan bagi kepentingan publik. Tanpa Daftar Pemilih Tetap yang dapat dipercaya, prosedur pemungutan dan rekapitulasi yang rumit dan rentan manipulasi, sering terjadi praktek jual beli suara siluman antara peserta Pemilu dengan oknum penyelenggara Pemilu.
“Pemilu langsung pejabat publik terutama Presiden di negara kepulauan dengan bentang alam seluas Eropa ini adalah sebuah praktek demokrasi yang paling muskil di seantero planet ini. Perbaikan kualitas data pemilih, dan perubahan sistem pemilu adalah agenda yang perlu segera disiapkan agar hemat anggaran sekaligus efektif untuk merekrut pejabat publik yang kompeten sebagai pelayan publik,” pungkasnya.