JAKARTA- Pansus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI meminta pemerintah memisahkan kasus BLBI yang saat ini ditangani Satgas BLBI dan Obligasi Rekap yang sampai saat ini justru tidak pernah dijelaskan pemerintah kepada publik. Pansus BLBI DPD RI bahkan mendesak pemerintah untuk segera tidak menganggarkan lagi subsidi bunga rekap ex BLBI mulai RAPBN 2023.
“Pisahkan BLBI dan Obligasi rekap dan segera moratorium atau setop dulu pembayaran subsidi bunga Obligasi Rekap Ex BLBI mulai tahun depan. Kondisi dunia sedang krisis, kita krisis berat karena pandemi, pemerintah musti dulukan kepentingan rakyat,” kata Ketua Pansus BLBI DPD RI, Bustami Zainuddin dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) Pansus BLBI DPD RI, Jumat (17/6).
Turut hadir dalam RDP ini, anggota Pansus BLBI DPD RI berturut-turut; Amirul Tamim, Abdul Hakim, Darmansyah Husein, Sukiryanto, Ajbar, Ibnu Kholil, dan Habib Bahasyim serta Staf Ahli Pansus BLBI, Hardjuno Wiwoho.
Seperti diketahui, pemerintah telah membentuk Satuan Tugas Penanganan Hak Tagih Negara Dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (Satgas BLBI) melalui Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 6 Tahun 2021.
Dalam Pasal 3 disebutkan tujuan pembentukan Satgas BLBI adalah untuk melakukan penanganan, penyelesaian, dan pemulihan hak negara yang berasal dari dana BLBI secara efektif dan efisien.
Upaya tersebut bisa berupa upaya hukum dan/atau upaya lainnya di dalam atau di luar negeri, baik terhadap debitur, obligor, pemilik perusahaan serta ahli warisnya maupun pihak-pihak lain yang bekerja sama dengannya, serta merekomendasikan perlakuan kebijakan terhadap penanganan dana BLBI.
Berangkat dari adanya Keppres tersebut, DPD RI membentuk Panitia Khusus (Pansus) BLBI sebagai bentuk tindak lanjut dan concern DPD RI terhadap penuntasan kasus BLBI.
“Nah, dari penelusuran Pansus BLBI DPD RI terhadap kasus skandal keuangan yang bisa diduga menjadi skandal terbesar di Indonesia ini, Pansus meminta pemerintah menjelaskan beberapa hal kepada publi,” ujar Bustami Zainuddin.
Karena itu, Bustami meminta pemerintah memisahkan kasus BLBI dan obligasi rekap BLBI.
Sebab, keduanya beda instrumen dan beda secara hukum. BLBI, menurutnya hanya merupakan salah satu bagian dari obligasi-obligasi yang dikeluarkan pemerintah untuk merekap perbankan. Instrumen ini diberikan untuk membantu bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas karena adanya penarikan uang secara besar-besaran (rush).
“Satgas BLBI mengatakan, para obligor masih berutang ratusan triliun. Lalu bagaimana dengan obligasi rekap, yang mana sampai sekarang bunganya dibayar pemerintah setiap tahun diduga sampai Rp 50-70 triliun setahun. Transparansinya yang kita minta. Belum termasuk obligasi rekap pokok itu Rp 400an triliun,” tegasnya.
Bustami mengatakan, dalam UU Keuangan Negara setiap pengeluaran pemerintah, satu sen pun, mesti dijelaskan kepada pubik. Sebab, obligasi rekap yang ditanggung negara sebagai siasat keuangan agar keuangan bank demi mencukupi rasio secara akuntansi, sampai sekarang, bunganya wajib dibayar pemerintah.
“Jadi obligasi rekap itu siasat keuangan atas saran dari IMF, seolah-olah pemerintah berutang kepada bank. Nah sekarang bank-bank yang diberi rekap itu kan sudah mapan, ya semestinya dibuka saja semua. Ini bagaimana urusannya kok uang rakyat untuk ngasih-ngasih bank yang sudah kaya raya,” papar Bustami.
Menambahkan, Wakil Ketua Pansus Sukiryanto singkat dan tegas mempertanyakan soal informasi adanya beban pemerintah Rp 48,3T yang masih membayarkan subsidi bunga obligasi rekap.
“Kita intinya minta pemerintah buat terang benderang masalah BLBI dan Obligasi Rekap BLBI. Rakyat berhak tahu, karena kan dibayar dari uang rakyat,” tegas Sukiryanto.
Sampai Rp 1000 Triliun
Sementara, anggota Pansus BLBI DPD RI, Amirul Tamim mempertanyakan komitmen pemerintah menuntaskan BLBIGate ini.
Sebab, saat RDP dengan Dirjen Kekayaan Negara dan Menpolhukam beberapa waktu lalu, pemerintah sangat serius untuk mengambil langkah-langkah hukum.
Bahkan pemerintah sendiri mengumumkan target asset yang disita mencapai Rp 110 Triliun.
Padahal dari data yang ada, nilainya bukan hanya Rp 110 Triliun saja melainkan Rp 1000 Triliun.
“Sebenarnya terbuka ruang untuk pidana apabila ditemukan alat bukti baru, ya BLBI maupun obligasi rekap saya kira,” papar Amirul.
Sejauh ini jelas Amirul, fenomena-fenomena skandal keuangan memang tidak ditangani secara serius. Hal ini menjadi model yang kemudian menyebabkan munculnya kasus-kasus serupa seperti kasus Century dan Jiwasraya. Karena itu, jika ini tidak ditangani maka dikhawatirkan akan muncul modus-modus serupa dalam upaya pengerukan uang negara.
“Kita harus mengantisipasi jangan sampai masuk sentiment-sentimen identitas. Sebab, saya dengar-dengar, sebenarnya terkait obligor-obligor yang menggunakan fasilitas BLBI tapi tidak tersentuh,” kata Amirul.
Sementara itu, anggota Pansus BLBI DPD, Abdul Hakim mendesak agar skandal BLBI ini dituntaskan. Dengan demikian tidak menjadi beban yang berkelanjutan bagi rakyat Indonesia.
“Saya kira, perlu mereview ulang besaran kerugian akibat BLBI ini, sehingga Pansus DPD berpegang pada data-data yang dapat dipertanggungjawabkan,” tandasnya.
Ditempat yang sama, Anggota Pansus BLBI DPD, Darmansyah Husein, mempertanyakan nilai piutang BLBI yang menjadi target Satgas BLBI. Itu adalah hal penting mengingat angka nilai asset disita pemerintah nilainya belum seberapa.
“Berapa nilai aset dari 22 obligor tersebut? Itu saja fokus bagaimana bisa disita untuk membayar utangnya,” tandas Darmansyah.
Di kesempatan itu, Staf Ahli Pansus BLBI DPD RI, Hardjuno Wiwoho menjelaskan Pansus BLBI mengundang sejumlah ahli dalam RDP ini untuk memperoleh gambaran dan pendalaman materi secara jelas dan rinci di seputar kasus BLBI.
“Target terdekat Pansus ingin mengetahui langkah apabila tidak mencapai target pengembalian kewajiban yang telah ditetapkan pemerintah dalam hal ini satgas BLBI tidak tercapai, apakah upaya hukum yang akan dilakukan terhadap para obligor yang mangkir,” pungkas Hardjuno.
RDP Pansus BLBI DPD RI dihadiri oleh beberapa narasumber penting yakni, Sekretaris Satgas BLBI, Bapak Sugeng, Direktur Jenderal Kekayaan Negara, Rio Silaban, Dirjen Kekayaan Negara (KN), Purnama T. Sianturi, Direktur PKN Rina Yulia dan Kasubdit PKN II Rizal dan Asrot.
Sementara dari Pansus BLBI DPD RI hadir Ketua Pansus BLBI DPD RI, 8 anggota Pansus serta staf ahli.