Rezim Bermental Budak

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Terdeteksi beberapa  pimpinan negara sudah menjadi jaringan kepentingan Yahudi, Katolik, dan kelompok invisible hand (kekuatan tak nampak), yang sekarang bermain dalam perubahan politik di Indonesia.

Kekuatan “Trilateral Commission” internasional, berkolaborasi dengan  kekuatan politik lokal, berusaha mengambil alih kekuasaan di Indonesia, dan itu terjadi sejak Pemilu 2014 tepatnya di era Jokowi, naik sebagai Presiden.

Rezim ini masuk sangat dalam, dalam bayang bayang liberalisme. Dibawah pengaruh Oligarki sekelas pengusaha Jacob Soetoyo Presdir PT Gesit Sarana Perkasa,  sambung dengan dengan Sofyan Wanandi ( Liem Bian Khoen) dan sembilan naga lainnya, semua terkoneksi dengan kekuatan-kekuatan “global” yang ingin melakukan penguasaan terhadap Indonesia.

Para kapitalis tersebut semua ada dalam Komisi Trilateral (TC),   berkumpul tidak hanya mengkaji dan merumuskan kebijakan, tetapi mereka sejak dulu telah berhasil menempatkan orang-orangnya dalam lingkungan penting pemerintahan di dunia. Agenda Politik Trilateral Commission TC , memiliki agenda politik-ekonomi. Mereka membuat jaringan kendali (control-grid) diktatoris di bawah para globalis.

Kendali para kapitalis kecenderungan keadaan menuju Technotronic Era, sebuah kediktatoran kaum liberalis yang hanya menyisakan sedikit ruang untuk prosedur-prosedur politik yang kita kenal. Apalagi bicara demokrasi Pancasila pasti akan digilas habis.

Kita sudah melihat dan merasakan pada akhir abad ini, penggunaan mindcontrol biokimia serta rekayasa genetik pada manusia, termasuk pada makhluk – makhluk yang berfungsi dan berfikir seperti manusia, dapat menimbulkan beberapa pertanyaan sulit.

Kontrol atas sumber daya ekonomi sebagai mantra kekuatan dalam politik moderen, para pimpinan demokrasi kapitalis, sistem dimana kendali ekonomi dan profit, sekaligus kekuasaan politik, harus bertahan dan bergerak maju melawan sistem demokrasi yang sejati.

Di era Reformasi, terjadi pergulatan antara kelompok yang menginginkan keberlanjutan liberalisasi Indonesia melalui reformasi vs kelompok yang tetap pada pemahaman lama : Indonesia harus bersih  dari asing.

Dari sinilah muncul konflik-konflik dan pertarungan politik, sejak lengsernya Presiden Soeharto kaum liberalis makin berani justru memanfaatkan slogan reformasi.

Era Habiebie : dianggap tidak ramah pasar.  Mega dan Gus Dur : terus dibayangi  tokoh mafia Berkeley yang berperan penting pada masanya. SBY dengan  regulasi baru yang melarang ekspor bahan mentah.  Membuat gerah para investor asing di Indonesia,

Di era Jokowi kekuatan liberalis tiba saatnya menemukan momentumnya makin menancapkan  kepentingannya tetap aman di Indonesia. Bahkan karpet merah untuk mereka masuk dengan leluasa, sampai sampai mereka memiliki kuasa membuat regulasi UU dan kebijakan negara lainnya.

Lebih tragis mampu membuat penguasa negara sebagai bonekanya.  Karena itu pasal berahirnya JW sebagai presiden mereka mencari-cari siapa kira-kira kandidat yang menurut mereka ramah terhadap kepentingan mereka.

Sejak era JW yang sudah kena stigma sebagai Presiden boneka, maka kontrol politik akan lebih keras tidak bisa dan tidak boleh lepas dalam kendali kapitalis Paska JW lengser  harus lahir Presiden boneka jilid 2

Lalu sampai kapan kita harus berada diketiak mereka …?. Selamanya Indonesia akan berada di ketiak para liberalis :  Selama masih memimpin negara masih bermental budak, selama masih ada orang yang tega menggadaikan kepentingan nasional demi keuntungan kelompoknya, selama tidak ada keberanian untuk berkata TIDAK, selama itu pula NKRI tidak akan pernah mencapai kata MERDEKA. Apalagi mereka adalah jaringan Yahudi, melalui ‘Trilateral.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News