Presiden di Simpang Jalan

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Sepenggal kalimat Umar bin Khattab setelah ditunjuk sebagai Khalifah ke dua : Saudara-saudara! Aku hanya salah seorang dari kalian. Kalau tidak karena segan menolak tawaran Khalifah Rasulullah (Abu Bakar) aku enggan memikul tanggung jawab ini. Ya Allah, aku ini sungguh keras, kasar, maka lunakkanlah hatiku. Ya Allah aku sangat lemah, maka berikanlah kekuatan. Ya Allah aku ini kikir, jadikanlah aku dermawan bermurah hati

Saudara-saudara, aku telah diangkat menjadi pemimpin bukanlah karena aku yang terbaik diantara kalian semuanya, untuk itu jika aku berbuat baik bantulah aku, dan jika aku berbuat salah luruskanlah aku……. Patuhlah kalian kepadaku selama aku mematuhi Allah dan Rasul-Nya. Jika aku durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya maka tidak ada kewajiban bagi kalian untuk mematuhiku…

Catatan di atas hanya sekilas sebagai kaca benggala : Presiden kita, ketika rakyat ingin meluruskan dari kekeliruan kebijakan yang diambil bahkan hanya sekedar kritik mengingatkan, langsung di persekusi, tangkap dan ditahan. Semua rakyat harus jadi loyalis buta terhadap apapun itu benar atau salah.

Presiden selalu mengucapkan bahwa dirinya taat konstitusi, bermacam macam narasi ingin bersama rakyat untuk rakyat. Saat bersamaan banyak UU titipan oligarki bermunculan bukan hanya mengabaikan suara rakyat, berujung pada banyak masalah menjadi liar tak bisa diselesaikan, ujungnya hanya membuat susah dan penderitaan rakyat.

Keinginan memperpanjang masa jabatan dan atau masa jabatan tiga periode, sudah dicegat rakyat masih saja bermanuver. Telah diingatkan bahaya hutang untuk membangun infrastruktur diabaikan sinyalnya akan berahir berantakan. Carut marut dalam tata kelola negara terus ditutup dengan  tebar pesona dan pencitraan.

Kesan Presiden tidak amanah, plin-plan, ambisi pada kekuasaan melekat pada dirinya tidak konsisten. Celakanya kesan sebagai Presiden boneka oleh masyarakat  sudah tidak mungkin bisa di hapus.

Ekonomi berantakan hutang menggunung, korupsi merambah di semua level dari pusat sampai desa telah menjadi prilaku buruk  budaya hitam pekat. Wajar gempuran dari para berbagai bidang keahlian  dan politisi yang terus menerpa dirinya. Semakin banyak ruang tembak tertuju padanya, sementara makin banyak rakyat yang kecewa

Serangan dari masyarakat muncul tanpa henti  membuat keki Jokowi di mata masyarakat. Setiap kebijakan selalu berakhir mengundang pro kontra akibat kebijakan yang mangrotingal tidak jelas ujung sasarannya. Diatas penderitaan rakyat , para pejabat negara hidup berpesta pora asik dengan jalan hidupnya sendiri sendiri yang hedonis dan terus memperkaya diri.

Koalisi gemuk andalannya sebagai pelindung dan pengaman kebijakannya ambyar. Mereka keluar bermain catur mengatur di balik layar kekacauan yang makin merambah kemana mana.

Semua pembantu para menterinya bebas dengan orkestrasi sesuai selera, hobi dan kepentingan dengan targetnya masing masing hampir semua sudah lepas dari kendali dan kontrol Presiden.

Para pimpinan partai dan petinggi pengendali partai  sedang bersolek, mendandani diri agar terlihat menarik di mata rakyat. Suara kartun berbalik arah banyak politisi bersolek dengan kebesaran simbol simbol agama.

Jokowi, terjebak dalam dilema, ia berada di persimpangan jalan. Maju kena mundur kena – masalah rumit datang silih berganti, Jokowi akan semakin tantrum dan bingung, galau, bingung dan resah. Menjadi sasaran tembak, lurus mengarah pada jantung dan pikirannya.

Seperti tengah berdiri di perapian, bara api yang menyala-nyala. Salah langkah akan terbakar salah menentukan kebijakan akan”habis” di mata netizen.

Politik hanya berhitung saat menguntungkan akan merapat dan akan  meninggalkan Presiden saat merasa sudah tidak berguna bahkan dalam hitungan politik akan  merugikan.

Tidak ada teman yang abadi mendampingi yang ada adalah kepentinganlah yang abadi. Orang benar dan tuluspun akan masuk dalam arus penurunan kepercayaan.

Hari hari yang melelahkan bagi Jokowi, tidak mudah merangkul masyarakat yang sudah terluka, Apapun kebijakannya akan mendapat penolakan dan perlawanan rakyat. Menyerah dan meletakkan jabatan saat ini atau nanti sama saja akan berahir nestapa.

Mungkin tidak pernah membaca sepenggal pidato awal Khalifah Umar bin Khatab, saat akan mengemban amanah sebagai Khalifah. Sebagai pondasi menjalankan amanah sebagai Presiden. Semua akan berahir melihat kantung mata Jokowi, dan tidak semakin gemuk tubuhnya, ia tengah berada dalam situasi dilema, seperti makan buah simalakama, serba tidak nyaman, penuh resiko.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News