Oleh: *Yusuf Blegur
Sejak kemunculan awal kiprah kepemimpinannya, Anies memang menyita banyak perhatian. Sorotan publik juga mengikutkan suara minor yang terkadang lahir sebagai subyektifitas yang tak terkendali. Bukan hanya sekedar rasa tidak suka, perjalanan karir politik Anies kerapkali dirundung rasa kebencian, permusuhan dan tidak terkecuali gelombang fitnah yang tak tahu kapan surutnya. Kehilangan akal sehat, menampakkan kepandiran sejatinya, menjadi rasis dan ikut-ikutan tidak suka baik karena takut kehilangan posisi sebagai keset kekuasaan atau gemar mengisi ruang produksi framing jahat, begitu marak merundung orang-orang sok politis dan seolah-olah berkarakter. Dari para buzzer pemulung uang receh, Ketua Umum Partai Politik berotak miring, hingga para pakar beraroma sampah yang pikirannya dipenuhi kotoran.
Anies sendiri sejatinya kental dengan figur pemimpin yang identik sebagai penggiat pendidikan, bukan sebagai gelandangan politik yang mencari petualangan demi mengejar ambisi jabatan dan kekuasaan. Atau sibuk berbisnis dan telaten bergerilya “polling capital”, membentuk status sosialnya sebagai orang kaya dan kuat memengaruhi kehidupan publik. Citra diri orang berpendidikannya kental dan tak terbantahkan dengan jejak rekam sebagai Rektor Universitas Paramadina, Pendiri Program Indonesia Mengajar, hingga menjadi menteri pendidikan dan gubernur Jakarta. Anies seiring waktu sepertinya terus mengokohkan dirinya sebagai pemimpin yang kuat dalam wilayah konseptual juga kuat dalam wilayah praksis. Sebagai seorang intelektual sekaligus akademisi, Anies sejauh ini berhasi menciptakan harmoni dan keselarasan antara wacana, paradigma dan persfektif pembangunan dengan kebijakan yang implementatif. Anies telah mempertontonkan kehadiran seorang pemimpin, layaknya pribadi yang satunya kata dan perbuatan, menonjolkan kapasitas, integritas dan holistik.
Capaiannya selama ini, khususnya ketika memoles kota Jakarta yang semakin modern dan tetap tidak mengabaikan sisi-sisi humanisnya, membuat Anies tidak hanya dicintai warga Jakarta, pesonanya juga telah merasuki sebagian besar seluruh rakyat Indonesia. Anies begitu dielu-elukan rakyat, tanpa sihir massal, ia begitu kuat membangkitkan kesadaran dan kerinduan rakyat akan pentingnya keberadaan pemimpin sejati. Boleh jadi, euforia yang telah menjadi kebutuhan mendesak rakyat, mencerminkan kinerja elok dan prestasi yang membumbung tinggi serta kesabaran dan ketulusannya menghadapi ujian berat kepemimpinannya. Seperti torehan tinta sahabat Ady Amar dalam bukunya, “Tak Tumbang Dicerca, Tak Terbang Dipuja”, Anies sekan menjelma menjadi salah satu dari sedikit manusia Indonesia, yang tengah menegakkan yang hak dan melawan yang batil. Pemimpin yang tak pernah lelah menanam kebaikan meski terus menuai badai hujatan diiringi hama kedengkian.
Fenomena Anies kini ibarat realitas di negeri ini secara keseluruhan. Anies berusaha merubah pertentangan antara politik ideal dengan politik realitas. Sama halnya dengan negara dan bangsa ini, disatu sisi sangat mengagungkan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, di lain sisi dengan kesadaran telah mencampakkan sekaligus membunuhnya pelan-pelan. Anies menjadi harapan bagi rakyat yang telah kehilangan ruh dan jiwa kebangsaaannya, padahal bumi pertiwi menyediakan surga bagi pribumi bumiputera pemiliknya. Anies telah menjadi penghilang dahaga rakyat seumur hidup kemerdekaan republik pada pemimpin yang mengemban amanat penderitaan rakyat, mekipun tidak sedikit yang telah menuangkan racun pada minumannya. Dicintai rakyat namun dimusuhi para pencoleng-pencoleng demokrasi dan konstitusi.
Persekongkolan permufakatan jahat dilengkapi “senjata” lengkap pembunuh aspirasi dan kehendak rakyat, tak ingin Anies sebagai presiden yang dicintai rakyat dan begitupun dengan rakyatnya yang tak boleh memiliki presiden yang mencintai rakyatnya.
Dengan kata lain ada kejahatan yang terstruktur, masif dan sistematik yang tak menginginkan Anies sebagai pemimpin nasional, Anies sebagai presiden Indonesia yang merangkul rakyatnya.
Sebuah pementasan politik yang sarat “Asal Bukan Anies”.
*Munjul, Cibubur-12 Juni 2022.