Oleh: *Yusuf Blegur
Perlahan tapi pasti, media sosial terus mencairkan kebekuan demokrasi formal. Pseudo demokrasi yang hanya melahirkan pemimpin korup dan tiran, sedikit demi sedikit berhasil ditelanjangi dan diarak massal.
Media sosial pada akhirnya menjadi etalase publik yang memajang distorsi penyelenggaraan negara.
Seiring era keberlimpahan informasi, perkembangan teknologi komunikasi terasa kian massal, efisien dan efektif dimanfaatkan publik. Tak hanya menyentuh dimensi sosial, interaksi udara menunggang kehebatan dan kecanggihan satelit itu, leluasa menyasar dinamika peradabapan manusia secara lebih komprehensif. Persoalan budaya, politik, ekonomi, hukum, keamanan dsb, menjadi langganan tetap dan menu keseharian dari membuncahnya tema-tema media sosial.
Menariknya, tak hanya menampilkan aspek kuantitatif dan kualiatif, konten media sosial juga dipenuhi keberagaman berita. Tentang pergerakan populasi manusia dan persoalan HAM, eksistensi perilaku dan habitat binatang, dinamika alam dan ekosistemnya, serta semua informasi lainnya yang saling bercampur mengisi hingar-bingar ruang lintas sosial tersebut. Alhasil, pelbagai isu dan intrik sesak menyeruak atas nama kebebasan berpendapat dan menikmati suguhan demokrasi. Sejalan dengan itu, antara hoax dan fakta semakin sulit dibedakan. Agitasi dan propaganda semakin tipis selisih identitasnya dengan keberadaan ujaran kebencian, permusuhan dan fitnah sekalipun. Ada pertarungan sengit antara yang gemar mengumbar kamuflase dan manipulasi data dengan yang masih setia mengusung suara marginal dan realitas obyektif rakyat. Pun demkian, selalu saja ada politisasi dan anggaran berbiaya besar yang menempel pada para buzzer dan pendengung yang beroperasi sebagai petugas pembelahan sosial, pemecah-belah bangsa dengan modus menghina agama dan melecehkan para ulama dan pelbagai gerakan moral.
Belakangan semakin terus bertumbuh dan meningkat eskalasinya, dari sekedar media alternatif menjadi media pengharapan dan tempat bertumpu gejolak hati dan jiwa rakyat. Ketika terjadi penyumbatan saluran aspirasi dari mekanisme formal dan normatif, suara rakyat mengalir deras menyusuri kanal-kanal pembebasan. Amanat rakyat yang digaungkan seakan seperti air bah yang tak terbendung. Bukan hanya sekedar aspirasi, lebih dari itu, keinginan yang membatin dan lama bersemayam sebagai “silent mayority”, kini menjelma menjadi amplitudo gugatan dan perlawananan serta pembangkangan. Media sosial akhirnya benar-benar menjadi media kesadaran kritis dan kesadaran makna bagi proses penyelenggaraan kehidupan bernegara dan berbangsa. Mengungkap kenyataan secara terbuka dan ekspresif, tentang nilai-nilai dan betapa paradoksnya ketika dituangkan dalam praktek-prakteknya. Lebih polos dan murni mengurai syahwat KKN, memamerkan betapa betapa bugilnya para politisi, pejabat dan pengusaha tanpa aurat integritasnya, serta bangganya para pemimpin dan penguasa pada kerakusan dunia. Termasuk juga begitu masif dan serba permisifnya, distorsi penyelenggaraan negara tampil seronok, mabuk dan tanpa malu, marak di pangung-pangung sosial rakyat.
Meskipun bagaikan berselancar dengan ranah pidana yang berbungkus UU ITE, media sosial tetap digandrungi rakyat sebagai wadah sekaligus sarana refleksi dan evaluasi kebangsaan. Sebuah gerakan gerilya opini dan berpotensi sebagai mobilisasi, juta langkah taktis dan stategis yang tak bisa diremehkan, sangat memungkinkan menjadi stimulus meraih capaian tuntututan kesetaraan dan keadilan sosial. Dengan lepas dan tanpa beban, namun tetap tajam dan menohok menguliti para pemimpin dan aparat pemerintahan yang korup dan dzolim. Rakyat larut menjadikan media sosial sebagai sidang sekaligus vonis dari pengadilan rakyat yang sesungguhnya.
Mungkin dan boleh jadi ini cara sebagian besar rakyat berkomunikasi, setelah negara dan aparat pemerintahannya gagal menyampaikan bahkan sekedar memahami kehendak dan aspirasi rakyat.
Ketika media mainstream tak berperan memainkan fungsi kontrol dan menyampaikan kebenaran, maka media sosial seakan meniadi kawan seiring sejalan dalam berdemokrasi dan ramah menerima kegelisahan dan kecemasannya.
Sama halnya dengan suara kritis, perlawanan dan pembangkangan yang selalu dikawal tindakan represif, penjara dan ancaman kematian. Maka celoteh rakyat yang sejatinya menjadi representasi dari upaya mencari nafkah keadilan dan kebebasan yang terbelenggu. Sepertinya, dapat mewakili anomali konstitusi, terutama saat pendapat rakyat tak lagi dapat dicegah untuk mengemuka dan memenuhi ruang publik, meskipun itulah satu-satunya dan yang terbaik yang dimikili rakyat dalam berdaulat sebagai warga negara dan warga bangsa.
Duhai media sosial yang revolusioner, meski tanpa pasukan dan senjata dan uang negara yang berlimpah, serta para pemuja dan penghamba kekuasaan yang berlindung atasnama negara.
Semoga tetap dinamis dan mengupayakan perubahan dan kehidupan yang lebih baik untuk rakyat, negara dan bangsa Indonesia. Layaknya keindahan jargon-jargon Pancasila, UUD 1945 dan NKRI yang sering dikumandangkan.
*Mantan Presidium GMNI