Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)
PDI Perjuangan (PDIP) dapat mengusung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (pilpres) 2024, tanpa berkoalisi. Hal ini sesuai dengan Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
“Hanya PDI Perjuangan yang punya lebih dari persyaratan 115 kursi parlemen yang bisa mengajukan calon. Jadi yang baru bisa memenuhi PDIP. Bisa maju (pilpres) sendiri tanpa ikut orang lain,” . Sesuai Pasal 222 mengatur mengenai presidential threshold (pres-t) atau ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh oleh partai untuk dapat mengajukan capres dan cawapres. Angka pres-t yang ditetapkan yakni 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional dalam pemilu legislatif (pileg) sebelumnya. Pada Pileg 2019, PDIP meraih 128 kursi dari total 575 kursi anggota DPR. Artinya, persentase kursi DPR yang dimiliki PDIP sebesar 22,26%.
Sementara Projo bukan partai politik, kekuatannya parsial dan mengambang dugaan kuat tidak paham tentang liku liku proses pertarungan capres. Kebanggaan Ganjar Pranowo atas dukungan Projo itu tersesat di jalan yang terang benderang.
Kedua Capres baik Ganjar atau Puan memiliki kelebihan dan kekurangan masing masing masing. Puan jelas memiliki kuasa politik PDIP hanya di kancah Nasional kualitas untuk Capres masih butuh waktu pematangan kedepan .
Sementara Ganjar mulai pintar meniru gaya Jokowi saat itu tebar pesona dan pencitraan. Kelemahan Ganjar jelas tidak akan bisa berbuat dan bergerak apalagi bermanuver politik, sekedar untuk beli kendaraan capres saja tidak akan mampu tanpa topangan Bandar Politik ( Oligarki ).
Posisi Jokowi yang masih merasa jumawa mengendalikan kekuatan politik sebenarnya sudah hambar bahkan akan berhadapan dengan resiko politik dan hukum yang sangat besar. Bisa menyelamatkan diri sudah untung apalagi akan menolong orang lain, hanya fatamorgana. Lagi Ganjar salah bersandar pada ruang yang rapuh.
Gaya Jokowi mempromosikan Ganjar di Rakernas Projo Magelang, tidak memiliki kekuatan di politik signifikan bahkan itu cara sia sia, menempatkan Ganjar di tempat atau titik agar mudah ditembak secara politis.
Dari kedua Capres potensinya hanya akan bisa melakukan tebar pesona dan pencitraan, belum kuat bertarung di wacana intelektual negarawan tentang Indonesia masa depan .
Jokowi bukan tanpa guna bisa saja difungsikan sebagai makelar Ganjar untuk berselingkuh dengan oligarki. Hanya apakah Jokowi masih ada kekuatan lobi dengan Oligarki, bisa berbalik berbanding lurus kejadiannya. Jokowi sendiri kalau dalam detik detik terahir sudah tidak bisa di tolong secara politik pasti akan jadi mangsa, dikorbankan dan di lemparkan kejurang bermacam macam kasus hukum yang akan menimpanya, dibiarkan berkalang tanah.
Sisi lain Oligarki juga sedang ada masalah yaitu goncangan krisis global yang kini mengancam, oligarki yang sejak awal mengidap retak internal, kini mengalami perambatan retak yang makin lebar. Republik Indonesia bisa kemudian berpotensi mengalami gelombang anarki, seperti amuk masa munculnya people power atau Revolusi.
Pidato Jokowi di forum Rakernas Magelang terkesan malah guyon, bisa jadi akan membahayakan Ganjar Pranowo karena pidato tersebut hanya halusinasi politik Jokowi masih mimpi di siang hari. Oligarki tidak akan serta merta mengikuti pikiran Jokowi yang selama ini justru dalam kendali mereka.