Oleh: Hendrajit, Direktur Eksekutif Global Future Institute (GFI)
Dalam tulisan terdahulu, Selasa 6 April 2010, terungkap bahwa adanya motif-motif politis di balik peringatan Angkatan Laut Singapura tentang bahaya merebaknya aksi perompakan di Selat Malaka menyusul tertangkapnya 14 orang asal Aceh yang diklaim sebagai kelompok teroris.
Sebagai salah satu negara anggota ASEAN, Singapura sebenarnya belum banyak kalangan yang tahu apa kekuatan yang sesungguhnya dari negara yang luasnya lebih kecil dari Jakarta itu. Pada kenyataannya, Singapura dikenal sebagai pusat keuangan di Asia Tenggara. Menurut penelusuran dari berbagai sumber, indikator-indikator ekonomi Singapura kerap menjadi tolak-ukur bagi pertumbuhan ekonomi di kawasan Asia Tenggara.
Masuk akal, karena negara yang didirikan oleh Lee Kuan Yew ini merupakan basis regional dari berbagai perusahaan multi-nasional negara-negara barat termasuk Amerika Serikat. Bahkan para konglomerat besar Cina dari Indonesia, Hongkong dan Taiwan, juga menjadikan Singapura sebagai basis regionalnya untuk melancarkan operasi bisnisnya di Asia Tenggara.
Namun tahukah anda bahwa sisi yang berbahaya dari Singapura di masa depan justru pertumbuhan pesatnya dalam bidang pertahanan? Tabloid Intelijen edisi 13-26 Juli 2006, mewartakan bahwa pada tahun 2000-2001 saja anggaran militernya sudah mencapai 4,3 miliar dolar AS.
Padahal kita negaranya jauh lebih besar, anggaran militernya pada 2010 diproyeksikan hanya 42 triliun rupiah.
Sekadar perbandingan dari segi peralatan militer, Singapura memiliki empat pesawat jet tempur F-16B, 10 F-18D, 36 F-SC, dan delapan F-5T. Sedangkan Indonesia, hanya punya 12 jet tempur F-16, dengan catatan hanya beberapa yang layak terbang.
Tak heran jika angkatan bersenjata Singapura cukup canggih secara teknologi, karena rata-rata anggaran militernya mencapai 6 persen dari total Produk Domestik Bruto (PDB).
Dari gambaran sekilas tersebut, jelas Singapura mengidap ketakutan berlebihan atau paranoid sehingga mendorong sektor pertahanan nasionalnya menjadi agenda yang paling utama.
Hal ini semakin diperkuat dengan fakta bahwa 10 persen dari jumlah penduduk Singapura yang sekarang berjumlah 3,2 juta penduduk, ternyata bekerja di bidang militer. 50 ribu personel bekerja full time, dan sekitar 250 ribu lainnya masuk kategori komponen cadangan yang bisa digerakkan kapan saja.
Yang lebih mencemaskan lagi, dalam memenuhi kebutuhannya terhadap peralatan militer berteknologi tinggi, Singapura mengandalkan pada Israel.
Secara psikologis, kedua negara memang memiliki ketakutan yang sama. Keduanya sama-sama negara kecil, sama-sama berwilayah sempit, dan berpenduduk pendatang yang bukan asli lokal. Dan dikelilingi oleh negara-negara besar berpenduduk mayoritas Muslim. Nampaknya inilah yang mendasari eratnya kerjasama militer kedua negara.
Ada cerita menarik dari ZA Maulani, mantan Kepala Badan Intelijen Negara di era Presiden BJ Habibie. Menurut Maulani, pada era militer masih dikuasai oleh Jenderal Benny Murdani, seringkali Indonesia mengirim personil-personil TNI untuk dilatih di Israel. Dan menariknya, Singapura dijadikan basis untuk memberangkatkan para personil TNI ke Israel secara rahasia.
Artinya, secara resmi TNI dikirim ke Singapura, namun setelah sampai di Singapura, kemudian segala identitas personil TNI tersebut diproses ulang, untuk kemudian diberangkatkan ke Israel dengan identitas baru hasil kreasi Singapura, namun setelah sampai di Singapura, kemudian segala ide aparat militer dan intelijen Singapura.
Berarti, ada semacam konspirasi antara beberapa perwira TNI, para petinggi militer dan intelijen Singapura, dan tentunya pihak Israel.
Dari berbagai penelusuran data dan dokumen oleh Tim Riset Global Future Institute, sejak menjadi negara merdeka dan lepas dari Malaysia pada 1965, Singapura memang mengandalkan Israel untuk membentuk tentaranya.
Israel kemudian mengirim beberapa perwira handalnya ke Singapura. Tim pertama dipimpin oleh Elazari, yang bertugas untuk memberi pelatihan mengenai sistem pertahanan dan keamanan dalam negeri.
Tim kedua, dipimpin oleh Mayor Jenderal Yehuda Golan, bertugas untuk membangun infrastruktur militer ala Israeli Defense Force (IDF). Yang menariknya lagi, tim militer Israel tersebut sebelum berangkat ke Singapura dilatih oleh Jenderal Rehavam Ze’evi yang menurut informasi merupakan fundamentalis Zionis.
Kedekatan kedua negara semakin kelihatan jelas ketika pada 1968, tak lama setelah angkatan bersenjata Israel berhasil menaklukkan Mesir dan negara-negara Arab di gurun Sinai, Singapura membeli 72 tank jenis AMX-13 buatan Israel.
Dalam pembangun rudal anti tank, Singapura berkerjasama dengan Israel Aircraft Industries (IAI). Dan karena kerjasama tersebut, Israel bersedia mentransfer teknologi militernya ke Singapura.
Investasi Singapura di Israel hampir sebagian besar dikonsentrasikan dalam sektor teknologi tinggi. Pada 2000-2002, nilai investasi Singapura diperkirakan mencapai 400 juta dolar AS, dan sebagian besar ditanamkan di sektor-sektor industri berteknologi tinggi.
Sekadar informasi, sebagaimana diwartakan oleh Tabloid Intelijen edisi 13-26 Juli 2006, setidaknya dua perusahaan besar bermain dalam bisnis raksasa ini yaitu Temasek Capital TIF Ventures. Masuk akal, karena kedua perusahaan tersebut milik Dewan Pengembangan Ekonomi Singapura yang berinvestasi di lima perusahaan permodalan Israel.
Bukan itu saja. Kedua negara juga mengikat kerjasama industri melalui Singapura-Israel Industry R&D (SIIRD). Melalui lembaga ini, memberikan 50 persen dananya untuk pengembangan riset bagi perusahaan Israel maupun Singapura.
Operasi Intelijen Singapura di Indonesia
Singapura memiliki badan intelijen, namanya Singapore Intelligence Service (SIS). Menurut beberapa sumber informasi, mereka ini berperan besar dalam membantu Megawati Sukarnoputri menjadi Presiden sejak kejatuhan Suharto pada Mei 1998 lalu.
Kalau kita menelusur lepasnya Indosat ke tangan perusahaan Singapura Singtel semasa Laksamana Sukardi menjadi Menteri BUMN era Megawati, sinyalemen tersebut jadi masuk akal adanya.
Menurut informasi, selain Laksamana Sukardi, Mayor Jenderal Purnawirawan Theo Syafei disebut-sebut merupakan pemain kunci dalam memfasilitasi terjadinya pengalihan asset kepemilikan BUMN ke Singapora. Syafei dikenal sebagai perwira tinggi yang dekat dengan Benny Murdani.
Menurut informasi, para agen intelijen SIS tersebut berlindung atas nama Kedutaan Singapura.
Bahkan Tabloid Intelijen di edisi yang sama, menyebut koresponden Straits Times Derwin Pereira sebagai salah satu mata-rantai dari operasi intelijen yang dilancarkan oleh SIS.
Dalam konteks ini, peran SIS harus dibaca sebagai bagian dari mata-rantai konspirasi yang dilancarkan badan intelijen Amerika Serikat CIA dan badan intelijen Israel MOSSAD. Ketiga badan intelijen tiga negara tersebut inilah yang diyakini banyak kalangan telah ikut berperan dalam menjatuhkan Suharto dari tampuk kepresidenan pada Mei 1998.
Mengingat keahlian MOSSAD dalam teknik penyesatan (Deception), maka kita patut bercuriga terhadap peringatan yang dilontarkan angkatan laut Singapura baru-baru ini bahwa ada kelompok teroris yang sedang berencana lakukan aksi perompakan di Selat Malaka. Dalam peringatan tersebut, pihak Singapura menggunakan momentum penangkapan orang-orang Aceh baru-baru ini, sehingga memberi kesan mereka inilah kelompok teroris yang dimaksud.
Namun, dari fakta yang ada, intelijen Israel sangat ahli dalam menerapkan teknik False Flag alias bendera palsu.
Operasi ini biasanya dimaksudkan untuk merekrut agen atau operator lapangan dengan tujuan untuk melakukan operasi tipuan yang tentunya dengan menjalankan misi yang juga palsu adanya.
Dalam operasi false flag yang jadi keahlian Israel, MOSSAD seringkali merekrut orang-orang arab yang justru merupakan musuh mereka, dengan menyamar sebagai orang eropa, orang arab atau bangsa lain selain Israel.
Maka kalau ada aksi terorisme seperti pemboman Hotel Marriot, atau Ritz Carlton setahun yang lalu, maka adanya indikasi keterliban jaringan Al-Qaeda atau Jemaah Islamiyah, rasa-rasanya kita harus bersikap skeptis terhadap versi-versi resmi yang dilontarkan aparat keamanan kita.
Karena yang kita kira agen-agen kedua gerakan tersebut, bisa jadi merupakan bagian dari teknik operasi false flag yang diterapkan oleh MOSSAD, CIA dan SIS.