Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)
Seorang Presiden harus menguasai minimal lima fokus utama dalam penjalinan relasi dan berdiplomasi dengan negara lain, yaitu: Representing, yaitu kemampuan untuk mewakili negara, Promoting, yaitu kemampuan untuk mempromosikan negara, Protecting, yaitu perlindungan terhadap bangsa dan kepentingan negara, Negotiating, yaitu kemampuan negosiasi demi kepentingan negara, Reporting, yaitu melaporkan situasi dan kondisi suatu negara, termasuk sidang yang dilakukan demi kepentingan negara .
Seorang Presiden dituntut untuk dapat berbahasa asing. Agar dalam percakapan dengan lawan bicara tidak terkendala. Sangat tragis ketika sedang berdialog dengan lawan bicara tampak senyum senyum kecut seolah sedang menunjukkan dirinya paham apa yang sedang di sampaikan lawan bicara. Sedang yang sesungguhnya terjadi dalam otaknya mengalami kebuntuan dan kemacetan karena tidak paham apa yang sedang di sampaikan lawan bicaranya.
Seorang Presiden harus berwawasan luas, terutama jika bersinggungan dengan topik ekonomi, politik, dan budaya. Kemampuan untuk bernegosiasi juga diperlukan agar perundingan berjalan dengan baik, tidak terjadi fenomena kebingungan pada nalarnya.
Seorang Presiden harus memiliki kepribadian yang unggul dan wibawa itu diperlukan karena pada diri seorang Presiden menempel atas nama negara, dituntut untuk bisa bekerja diatas tekanan. Sementara itu, fungsi diplomasi lainnya dapat dipelajari selama berproses.
Ketika Presiden kita melakukan kunjungan kerja ke negara lain sebagian masyarakat kita merasa was was, karena kemampuan dan keterbatasan yang melekat pada dirinya. Was was akan terjadi kendala hanya mengandalkan penerjemah dan ketidak mampuannya menangkap dan sekedar berdialog secara normal dengan mitra dialog dalam forum penting.
Nama, harga diri, citra dan wibawa negara melekat dalam penampilan seorang Presiden saat berada dalam forum percakapan dengan Presiden atau kepala negara dalam percaturan dunia. Jangan sampai negara dipertaruhkan karena terjadinya kecelakaan, Presiden tidak faham situasi dan kondisi politik baik negara yang dikunjungi atau situasi politik global yang sedang terjadi dan menyelimuti masalah antar negara.
Apa tidak mengetahui Presiden AS Joe Biden, sedang menggalang blok untuk mengepung Putin, tapi dia datang ke Biden ketika Indonesia berketetapan akan mengundang Putin pada pertemuan G.20. Over confidence seolah olah Biden akan bisa ditaklukkan dalam diplomasi acak acakan, hanya bermodal pengalaman bisa marah marah di dalam negerinya kepada para pembantu menterinya.
Apa tidak mengetahui bahwa Singapura diblacklist Russia, tapi dia mengekor Singapura untuk mencari perlindungan ke AS. AS dan sekutunya sedang sibuk luar biasa menggalang kekuatan melawan Rusia. Kepentingan Joe Biden dan Leen Hsien Loong dalam US -ASEAN Summit cuma mau melakukan diplomasi dan demonstrasi menekan Putin dan Xi Jinping.
Apabila Presiden kita mengabaikan situasi politik global, sedang di kepala sang Presiden, hanya karena ingin menyelamatkan perekonomian Indonesia, mencari pinjaman berdalih menarik investasi. Kalau ini yang terjadi maka terjadilah proses diplomasi yang kalang kabut.
Sinyal tidak ada sambutan resmi dari pemerintah AS . Dikabarkan ketika Jokowi dan rombongan tiba di Pangkalan Militer Andrews, Washington D.C., Amerika Serikat, Selasa (10/5), sekitar pukul 21.40 waktu setempat atau pukul 08.40 WIB, Rabu, tidak ada penyambutan resmi dari pejabat Amerika. Ini sinyal harus melangkah dan bersikap hati-hati.
Itu sinyal politis, bahwa AS merasa tidak berkepentingan dengan Indonesia atau lebih parah Indonesia hanya dianggap sebagai negara yang tidak diperlukan baik secara politik, ekonomi dan kekuatan yang layak diajak bicara apalagi untuk diajak masuk malam sekutu mereka. “Seperti kambing lapar mencium rumput, dia sadar ada harimau bersembunyi di situ. Tapi dia berharap sang harimau berbaik hati “, ini fatal.
Presiden Indonesia datang AS dalam rangka menghadiri forum US -ASEAN Summit ( KTT ASEAN – Amerika
Membahas perubahan iklim ). Kalau dalam fokus bukan perubahan iklim yang menjadi prioritas,”tetapi bagi Jokowi, ini langkah terakhir menyelamatkan krisis di dalam negerinya”. dia datang ke AS pasti dengan kepala menunduk…”
Presiden Jokowi mungkin sekuat tenaga berusah saat ketemu Joe Biden akan menyelipkan agenda mohon bantuan ( mungkin juga akan berhutang dengan dalih investasi). Kalau itu yang menjadi agenda dalam pikirannya, proses diplomasi akan kocar kacir.
Presiden Jokowi harus siap mental, apabila negosiasi permintaannya akan di tolak minimal tidak direspon. Berbalik arah bisa jadi justru akan di tekan Biden yang bersikeras dan tegas minta Jokowi tidak mengundang Putin untuk hadir dalam G 20 di Bali ( batalkan mengundang Putin ). Akan ditekan hentikan ketergantungan Indonesia kepada China. Harus bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang selama ini dan Islamophobia yang terus terjadi di Indonesia.
Kalau itu tidak dipahami dan tidak di respon positif oleh Presiden Jokowi bisa terjadi sinyal terburuk datang dari Joe Biden : Anda harus segera berhenti jadi Presiden secepatnya. Bisa jadi dalam lingkup convidential dibatasi waktunya, agar secepatnya mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Presiden.
Akibat kekacaunya komunikasi, lemahnya kepekaan dan kemampuan berdiplomasi dalam pertemuan tingkat tinggi berhadapan dengan negara adidaya dan atau pada pertemuan di forum internasional. Itu akan berakibat fatal.
Semoga semua itu tidak terjadi karena akibat diplomasi yang kalang kabut, nama baik negara menjadi taruhannya.