Hukum Milik Penguasa dan Penguasa Adalah Hukum

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Rasanya bangsa ini sedang memasuki sebuah era kelam. Eksistensi etika mengalami pembunuhan secara perlahan tapi pasti. Tanpa ada yang merasa kehilangan. Tidak ada lagi kepedulian akan “hilangnya” Pancasila, sebagai sumber dari segala sumber etika yang mengawal penegakan hukum.

Meminjam ucapan Ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat, Earl Warren,  “In civilized life, law floats in a sea of ethics” (dalam kehidupan yang beradab, hukum mengapung di atas samudra etika).

Hukum itu sebagai sesuatu yang hanya dapat tegak. Berlayar, bergerak di atas etika. Etika adalah landasan bagi hukum. Dan hukumpun mengapung di atas samuderanya”.

Hukum itu tak mungkin tegak dengan cara yang adil, jika air samudera etika tidak mengalir atau tidak berfungsi dengan baik. “Apa masih diperlukan penataan untuk mengembangkan infrastruktur etika jabatan-jabatan publik dan etika profesional yang berbasis pada etika sosial, yang berfungsi dengan baik dalam mengendalikan perilaku ideal warga masyarakat”.

Tumbuh dan berkembangnya “rule of law” diperlukan basis sosial yang luas bekerjanya sistem etika sosial dalam masyarakat. Jika hukum diumpamakan sebagai kapal, sementara etika itulah samuderanya, “maka kapal hukum tidak mungkin dapat berlayar mencapai pulau keadilan, jikalau air samuderanya (etika itu) kering dan tidak berfungsi”.

Gagal dan banyaknya anomali hukum di Indonesia, sangat mungkin etika berbasis nilai nilai Pancasila sebagai sumber hukum  telah menguap dan mengering. Dipertontonkan dengan terang terangan pencari keadilan yang berlawanan dengan penguasa pasti kandas. Jangankan sampai proses di pengadilan pada tahap pelaporan sudah ditolak dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal.

Ratusan mungkin ribuan pencari keadilan terakhir sebagai contoh indikasi kuat kebohongan Big Data yang dimainkan LBP mental ketika di laporkan ke Bareskrim. Kasus E-KTP yang melibatkan pejabat negara dan kasus hukum para Buzzer, hukum tak kuasa menyentuhnya. Anehnya pejabat dan politisi yang menyimpan kasus hukum, sementara bebas dari jeratan hukum dan harus rela dirinya dijadikan budak penguasa, seperti pedati hanya bisa bergerak atas kendali penguasa.

Saat ini kasus jadi jadian HRS sudah terjadi dan menyusul kasus jadi jadian yang menimpa Bung Edy Mulyadi. Jelas sekali semua sebuah rekayasa , kasus hukum yang direkayasa.

Hebatnya penegak hukum suka suka melanggar hukum. Gagasan pembentukan pengadilan etik untuk penyelenggara yang terindikasi melanggar hukum mengambang bahkan dimentahkan oleh putusan MK di pertentangan dengan ide “Peradilan Etik” dengan mempertentangkannya dengan “Peradilan Hukum”.

Terkait akibat relasi iparan Ketua MK dengan Presiden. Begitu juga benturan kepentingan dalam komunikasi publik dalam urusan pribadi vs jabatan, makin menjadi – jadi. Urusannya menjadi  campur aduk tanpa etika sama sekali.

Belakangan ini, tidak sulit menemukan munculnya berbagai pernyataan atau hasil kajian pakar hukum yang menyebutkan, sekarang etika sosial dan moralitas berbangsa kita justru sedang mengalami anomali, keadaan seolah tanpa norma. Ditengarai akhlak bangsa merosot karena kebebasan yang tidak terkendali. Bahkan negara di tengarai sedang menuju ke bentuk tirani dan diktator.

Bagaimana hendak mengharapkan hukum tegak dengan adil, jika sistem norma sosial dalam kehidupan bermasyarakat tidak berfungsi dengan baik dalam mengendalikan kualitas dan integritas perilaku kita sebagai warga masyarakat.

Yang menjadi masalah dewasa ini, – yang banyak dikeluhkan masyarakat, – bahwa lembaga negara yang yang mengatur etik, yang dibentuk berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang bukan berbasis UUD 1945, faktanya hanya dapat dikatakan sebagai state auxiliary organ. Diantaranya lembaga negara yang berada dibawah kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, atau merupakan lembaga negara independen. Sifatnya lebih berposisi ad-hoc, tidak bergigi atau ompong tak bergigi

Pelanggaran hukum oleh para pejabat negara terbalut kabut tebal dengan budaya ewuh pakewuh sesama sejawat. Hukum belum merupakan suatu komitmen nasional yang mengikat, dengan longgar bisa ditransaksikan antar nereka. Hukum masih sebagai aksesoris yang bisa ditawar -tidak memiliki aroma “kemuliaan” yang mengharuskan lahirnya kepatuhan kolektif terhadap hukum.

Etika pada dasarnya lebih luas dari pada hukum. Setiap pelanggaran terhadap hukum, kebanyakan adalah pelanggaran juga terhadap etika. Akan tetapi sesuatu yang melanggar etika belum tentu melanggar hukum. Etika lebih luas, bahkan dapat dipahami sebagai basis sosial bagi bekerjanya sistem hukum.

Akan kemana perahu besar, – bangsa besar ini – yang bernama Indonesia, akan dilayarkan oleh pemimpinnya yang menjadi nakoda diatas samudera yang airnya tidak mengalir. Adakah kepastian perjalanan perahu besar ini ke tempat tujuan dapat tercapai, saat ini masih hanya impian dari  mimpi disiang bolong.

Ibarat sedang berlayar dibawah kendali pemimpin negeri yang mengatur negara dengan suka suka dan  telah menggeser elemen etika sebagai dekorasi demokrasi musiman belaka, proses hukum di Indonesia tidak akan bisa berfungsi normal.

Tuntutan keadilan telah berubah menjadi anomali dan barang langka, lepas dari pengawalan dan kepastian hukum, selain hukum rimba. Mana yang kuat akan melahap yang lemah .

Perdagangan hukum yang jelas melanggar hukum telah melembaga menjadi budaya baru: sarana jual – beli paket hukum transaksional, sudah menjadi komoditas perdagangan bebas dan terbuka, tidak ada lagi etika.

Dalam terjemahan bebas kata Prof.  Mahfud MD, persoalan keadilan hukum hanyalah soal mencari pasal pasal yang diinginkan. Bukan pasal yang memiliki kepastian mengikat untuk tegaknya keadilan. Sampai kapan ini terjadi tanyakan kepada rumput yang bergoyang.

Kata Prof. Salim Said, pejabat negara sudah tidak takut lagi terhadap  pelanggaran sumpah jabatan yang beresiko hukum, karena *Tuhan saja sudah tidak ditakuti*. Ketika hukum sudah milik penguasa dan penguasa adalah hukum.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News