Perguruan Tinggi bermutasi menjadi preman politik setelah adanya perekrutan buzzer dari kalangan akademisi.
“Rekrutan baru bener-benar bisa membuat wajah perguruan tinggi bermutasi menjadi preman politik,” kata wartawan senior Gigin Praginanto di akun Twitter-nya @giginpraginanto, Senin (9/5/2022).
Kata Gigin, rekrutan baru buzzer dari akademisi hasilnya lebih parah. “Satu per satu akademisi direkrut menjadi buzzer. Hasilnya lebih parah. Kalau yang ada hampir semua tanpa latar belakang akademik,” ungkapnya.
Peneliti Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG), Rinaldi Camil, mengatakan bahwa penggunaan buzzer untuk kepentingan politik mulai digunakan pada 2009.
“Brand masuk melihat peluang marketing melalui jasa buzzer influencer pada 2006. Kemudian itu masuk ke politik untuk membangun citra kandidat,” kata Rinaldi, Kamis (3/10/2019) dikutip dari tempo.
Pada perkembangannya, buzzer digunakan untuk melawan kampanye hitam dan meningkatkan citra positif kandidat agar berpengaruh terhadap potensi keterpilihan.
“Dalam konteks ini buzzer bermanfaat untuk politik pragmatis dimana ada opini-opini yang perlu dimenangkan, supaya citra kandidat itu tidak tenggelam dengan fitnah-fitnah,” katanya.
Penelitian CIPG pada 2017 menunjukkan istilah buzzer untuk politik mulai populer pada Pilkada DKI 2012. Kemudian secara luas untuk kepentingan politik terjadi pada Pilpres 2014 dan akhirnya di setiap pemilu.
Rinaldi menjelaskan, buzzer memiliki kemampuan dalam mengamplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atau membangun percakapan. Buzzer biasanya memiliki jaringan luas, misalnya punya akses ke informasi kunci, mampu menciptakan konten sesuai konteks, cakap menggunakan media sosial, persuasif, dan digerakkan motif tertentu (bayaran dan sukarela).