Keberadaan buzzer sengaja dipelihara penguasa untuk agitasi dan adu domba sesama anak bangsa sehingga memunculkan polarisasi sangat tajam di masyarakat.
“Polarisasi makin menjadi karena buzzer sengaja dipiara untuk tujuan agitasi, propaganda dan mendemonologikan umat yang katanya mayoritas ini,” kata pengamat politik dan sosial Malika Dwi Ana dalam pernyataan kepada redaksi www.suaranasional.com, Senin (25/4/2022
Polarisasi makin parah, kata Malika adanya petinggi ormas besar yang menjadi penjilat penguasa sehingga tidak menjalankan fungsi kontrol terhadap rezim.
“Diperparah saat salah satu ormas besar yang seharusnya menjadi alat kontrol pemerintah justru para petingginya memilih menjilat kekuasaan,” ujarnya.
Kata Malika, mayoritas dijadikan sasaran propaganda kebencian dan demonologi, dengan tujuan polarisasi, agar orang benci, takut, dan memusuhi Islam. Polarisasi yabg begitu nyata di depan mata; sesama Islam dibuat saling bermusuhan, diadu domba.
“Umat yang katanya mayoritas ini sering dipanen suaranya tiap 5 tahun sekali, dimanfaatkan demi perolehan suara di pilpres/pilkada. Diperebutkan simpatinya demi meraih kekuasaan. Mereka berlomba mengenakan pakaian ngislami alias mendadak agamis dengan jilbab, gamis dan sorban,” jelasnya.
Demi seonggok kursi dan kekuasaan, mendadak berubah menjadi agamis, mendadak pula menjadi muslim tiba-tiba. “Topeng agamis laris manis jelang pemilu. Benci tapi butuh, diponyok ditelebok! Di satu sisi habis-habisan diambil manfaatnya, disisi lain dijadikan sasaran agitasi dan demonologi,” pungkasnya.