Oleh: R. Baskoro Hutagalung (Forum Diaspora Indonesia)
Ada perbedaan perubahan strategi global Amerika pasca perang dingin dalam mempertahankan hegemoninya di dunia.
Ketika periode perang dingin, Amerika akan melakukan perang langsung “head to head” dengan musuhnya yaitu Uni Soviet yang beraliran komunis. Namun saat ini Amerika lebih cenderung menggunakan strategi proxy dengan gerakan yang seminin mungkin menghindar dan terlibat langsung dalam sebuah konflik. Strategi ini menggunakan “proxy” berupa pasukan sekutunya untuk berada di depan teater perang itu sendiri.
Hal ini dapat kita lihat pada perang Ukraina sekarang. Bagaimana bahkan “satu topi” pun tak ada tentara Amerika di sana. Begitu juga di perang Libya, Yaman, dan Suriah. Berbeda dengan invansi di Irak sebelumnya.
Kenapa hal ini menarik kita bahas. Karena, perubahan geopolitik global ini punya relevansi terhadap geopolitik nasional kita. Kecolongannya Amerika di perang Rusia dan Ukraina, dengan berpihaknya negara Islam Cehcnya kepada Rusia dan ikut memerangi Ukraina secara militan, cukup memberi pelajaran berharga bagi Amerika.
Tentu, Amerika tak mau kecolongan ini terjadi di teater konflik selanjutnya di Indo-Asia-Pasific. Dimana Indonesia sebagai negara muslim terbesar, akan menjadi sasaran utama untuk dirangkul Amerika dalam menghadapi ekspansi agresif China komunis.
Apalagi dalam catatan politik lingkungan strategis dan dimata global, posisi Indonesia saat ini sudah tidak lagi “Bunny boy”-nya Amerika seperti era pemerintahan SBY. Tetapi, lebih condong dan terafiliasi ke China komunis. Dimana hal ini tentu akan membuat gerah Amerika.
Ditetapkannya resolusi PBB tentang “Gerakan Anti Islam Fobhia” dan disahkannya UU anti Islamphobia baik di Amerika dan di dunia, adalah lampu hijau bagi ummat Islam dunia, tapi “warning” yang keras terhadap kelompok-kelompok yang memusuhi Islam sedemikian rupa saat ini. Seperti yang terjadi di pemerintahan saat ini.
Gelombang demonstrasi yang tiada henti baik dari mahasiswa yang mulai bangkit dan terbangun dari tidur panjangnya, dari emak-emak militan, dari serikat buruh, dari para purnawirawan serta kelompok civil society ummat Islam, menandakan ada sesuatu perubahan besar dalam konstalasi politik nasional.
Ternyata intimidasi, kriminalisasi, pembunuhan, diskriminasi, serta caci maki terhadap kelompok Islam beberapa tahun belakangan ini justru membuat mereka semakin solid dan terkonsolidasi. Begitu juga dengan elemen kekuatan lainnya seperti mahasiswa dan buruh.
Ditambah berbagai persoalan “cash flow” keuangan negara Indonesia yang menurut media asing menuju “bangkrut”. Hutang menggunung menjadi beban APBN, kenaikan harga BBM dan sembako yang menggila, serta permasalahan sosial-politik-ketidakadilan hukum lainnya, bagaikan stimulus yang terus menjadi bahan bakar perlawanan rakyat di seantero negeri.
Jadi wajar banyak pengamat ekonomi seperti Dr. Rizal Ramli, Faisal Basri, Said Didu, Antoni Budiawan, dan para mantan militer dan inteligent di negeri ini mengatakan ; Warning buat kejatuhan jokowi sudah semakin dekat dan nyata. Apabila tidak ada “treatmant” khusus dalam mengatasinya.
Terbukti sudah juga bahwa, dukungan terhadap Jokowi selama ini dari masyarakat adalah dukungan semu dan absurd. Di sosial media semua tak lebih dari pada permainan para “buzzerRp” semata. Baik buzzer organik dari institusi aparatur pemerintahan, maupun para buzzerRp ideologis. Apalagi kalau berbicara dunia nyata. Tak pernah kita lihat, Jokowi diterima hangat dan membludak oleh masyarakat di luar basis massa “non-Islam”. Seperti di NTT dan Sumatera Utara. Itupun juga melalui konsolidasi pemerintah, tidak murni dari kehendak masyarakat.
Betul, jika di dalam barisan pendukung Jokowi juga banyak tokoh Islam, namun kalau kita teliti dan telusuri lebih dalam, para barisan Islam pendukung Jokowi saat ini berasal dari kelompok Islam Nasakom, campuran dari penganut paham liberal, syiah, dan neo-komunis. Ini adalah fakta dan nyata.
Jadi wajar saat ini, sering terjadi persekusi, diskriminasi, caci maki, terhadap kelompok Islam Al Sunnah Waljamaah. Sudah tak terhitung ulama dan tokoh Islam di penjarakan rezim saat ini seperti IB HRS, Ustad Alfian Tanjung, Ustad Maher, Gus Nur, Ustad Ali Baharsyah.
Sudah tak terhitung agenda, dan narasi kebencian yang dilakukan oleh rezim saat ini. Mulai dari isu radikalisme, cadar, pesantren sarang teroris, kadrunisme, suara azan di permasalahkan, masjid masjid diintimidasi, ulama dan pendakwah tak ada harganya lagi.
Sekolah keagamaan Islam disantroni seperti penjahat. Dan yang paling parah adalah, mengakitkan Islam dengan ancaman terorisne. Melalui lembaga bernama Densus 88 dan bahkan Kementrian Agama itu sendiri.
Semua perlakuan buruk terhadap ummat Islam selama rezim Jokowi ini berkuasa, sangat berbahaya dan membara bagaikan api dalam sekam. Inilah yang “warning” keras kita maksudkan pada judul tulisan diatas, karea konstalasi politik global saat ini mulai bergeser dan berubah.
Amerika saat ini punya kepentingan besar terhadap ummat Islam Indonesia dalam melawan hegemoni China komunis di Asia Pasifik. Di satu sisi, Islam Indonesia yang saat ini sedang “babak belur” di hajar rezim Jokowi dengan antek Nasakom nya, juga lagi butuh dukungan luar negeri untuk lepas dari cengkraman rezim otoriter saat ini.
Dan apabila dua kekuatan dan kepentingan ini bersatu, maka ini akan menjadi “malapetaka” bagi Jokowi berserta dengan para Oligharki di belakangnya.
Yang paling utama dari kekuatan Jokowi saat ini adalah, kekuatan besar oligharki di belakangnya. Para pengusaha raksasa, konglomerat yang kekayaan 9 orang itu sama dengan 120 juta kekayaan rakyat Indonesia.
Para oligharki inilah yang mendikte dan mengendalikan rezim hari ini. Dan para oligarki ini juga yang menjadi “jembatan” dan pelaksana dari agenda China komunis di Indonesia.
Dan tentu yang bisa menghadapi para Oligarki ini adalah kekuatan besar Amerika dengan berbagai macam kuncian dan infrastruktur kekuasaannya. Oligarki ini lumpuh, maka Jokowi lumpuh.
Kalau “analisis” ini memang terjadi, inilah yang akan menakutkan kita semua. Tak terbayangkan bagaimana arus balik, perlawanan dan pelampiasaj dendam ummat Islam Indonesia terhadap kelompok rezim hari ini. Insiden pembugilan terhadap Ade Armando itu belum apa-apa, dan itupun terjadi di saat rezim ini berkuasa. Bayangkan kalau rezim ini runtuh ? Bagaimana nasib Denny Siregar, Abu Janda, Guntur Romli, Husein Shahab, Eko Kuntadhi, atau mereka yang dibina melalui PSI.
Bagaimana nasib Luhut Panjaitan, nasib Yaqut, Mahfud, Tito, Gorries Mere, Hendro Priyono, Dudung, Fadhil, Diaz, Megawati, Jokowi dan keluarganya, Ali Mukhtar Ngabalin, Wiranto, ?
Bagaimana nasib Sinar Mas group, Hartono Djarum, Jams Ryadi Lippo, Antoni Salim Group, Aguan, dan para Taipan lainnya ?
Potrait buram 1948, 1965, dan 1998 bisa saja terulang kembali. Ketika rakyat tertindas oleh kediktatoran sebuah rezim, maka ketika lahir monentum balik, maka arus pembalasan dendamnya bisa terjadi berlipat ganda. Bisa juga bumi hangus dan berdarah-darah.
Astghfirullah. Untuk itulah, sebelum semua itu benar terjadi. Selagi masih ada waktu, kita semua berharap pemerintah hari ini segera berbenah diri dan merubah kebencian politik terhadap Islam (Islamphobia) segera.
Dendam masa lalu dan kebencian yang perturutkan tak akan pernah usai. Toh selama ini semua sudah hidup harmonis berdampingan. Jangan hanya gara-gara strategi oligharki untuk mengadu domba sesama anak bangsa, lalu kita perang dan hancur lebur semuanya.
Belajar dari sejarah dan statemen Pak Soeharto di tahun 1980-an. “Capek menghadapi ummat Islam”. Maka akhirnya Pak Harto mesra dengan Islam di masa 10 tahun akhir kepemimpinannya. So ???
Australia, 17 April 2022.