Presiden Joko Widodo (Jokowi) hanya boneka oligarki yang membiarkan Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatur semua urusan di Indonesia. Jokowi boneka oligarki terlihat adanya UU Cipta Kerja dan UU Minerba.
“Jokowi bersedia tampil sebagai boneka oligarki sambil membiarkan Menko Maritim dan Investasi Luhut yang dibesarkan Orde Baru, mengurus semuanya,” Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe) Smith Alhadar kepada redaksi www.suaranasional.com, Ahad (10/4/2022).
Kata Smith, Jokowi menjadi boneka oligarki terlihat ada UU Cipta Kerja dan UU Minerba. Kedua UU itu hanya melayani oligarki.
“UU Cipta Kerja yang melayani kepentingan oligarki sambil mengorbankan kepentingan buruh. UU ini dibuat tergesa-gesa dengan mengabaikan prosedur pembuatan UU sehingga MK memvonisnya sebagai inkonstitusional. Berikut, UU Minerba yang juga melayani kepentingan oligarki dan asing seraya melonggarkan pada kepatuhan menjaga lingkungan,” ungkapnya.
UU KPK direvisi, yang melemahkan lembaga antirasuah itu, dengan alasan absurd bahwa KPK yang kuat merintangi masuknya investor. Pada saat bersamaan rezim mengopresi oposisi. Semuanya berpulang pada ideologi developmentalism dan extractivism yang dianut Orba demi tercapainya stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan.
“Sayangnya, selain tak mencapai target, di wilayah-wilayah tambang terjadi kerusakan lingkungan yang parah dan merajalelanya korupsi,” ungkap Smith.
Selain itu, ia mengatakan, Integritas Jokowi juga mestinya dipertanyakan sejak awal ketika klaimnya membangun mobil Esemka saat menjadi walikota Solo terbukti bohong belaka. Para cendekia pendukungnya pun tak menuntut Jokowi merealisasikan puluhan janji kampanyenya yang tak satu pun ia penuhi.
“Dan suara mereka hanya terdengar samar-samar ketika Jokowi melakukan KKN dengan menyokong putera dan menantunya menduduki jabatan politik di Solo dan Medan. Memang mereka terpilih melalui pilkada, tapi mustahil anak-anak ingusan yang dikenal masyarakat ini memenangkan pertarungan kalau mereka bukan keluarga dekat presiden. Soeharto menyadari hal ini sehingga tak membiarkan putera-puterinya menduduki jabatan publik meskipun ia lebih daripada mampu untuk melakukannya,” pungkas Smith.