Gerakan yang menginginkan Joko Widodo (Jokowi) menjabat tiga periode ataupun menunda Pemilu 2024 dilakukan secara sistematis dan dikendalikan dari Istana.
“Gerakan Jokowi tiga periode atau pun perpanjangan masa jabatan presiden ini merupakan gerakan yang sistematis dan dikendalikan dari dalam Istana,” kata Direktur Eksekutif Indonesia Future Studies (INFUS) Gde Siriana dalam artikel “Mobilisasi Kepala Desa dan Agenda Presiden Tiga Periode”, Jumat (1/4/2022).
Kata Gde, mobilisasi kepala desa tampaknya merupakan upaya untuk membentuk opini publik Jokowi menjabat tiga periode didukung masyarakat pedesaan.
Gerakan tiga periode Jokowi dikendalikan Istana, kata Gde terbukti tidak ada teguran atau kemarahan yang terlontar dari mantan Wali Kota Solo itu untuk menertibkan manuver para pembantunya.
Mobilisasi dukungan akar rumput ini akan membelah masyarakat. Misalnya, beberapa pihak dalam Apdesi menyangkal klaim bahwa organisasi itu mendukung Jokowi tiga periode. Nafsu kekuasaan ternyata tidak mempedulikan kohesi sosial masyarakat dan bahkan cenderung memecah belahnya.
Kata Gde, posisi Presiden Jokowi sudah terjepit akibat agenda tiga periode jabatan Presiden. Sikap Megawati yang menolak penundaan pemilihan umum juga memperlebar keretakan di dalam lingkaran kekuasaan.
“Pembatalan agenda tiga periode dan penundaan pemilihan umum juga akan lebih merugikan Jokowi, terutama terkait dengan calon-calon yang dia kehendaki untuk memenangi pemilihan presiden 2024,” papar Gde.
Tiga periode jabatan Presiden, kata Gde, tampaknya berhubungan dengan sindrom petahana atau sindrom periode kedua. Petahana memiliki impian untuk terus dikenang oleh rakyat, dipuja sebagai pemimpin yang berhasil, dan mewariskan kejayaan. Ia juga ingin terus menjadi bagian dari orang yang mengatur kekuasaan berikutnya.
“Kini Jokowi tergoda dan bahkan sudah terjebak dan tersandera oleh lingkarannya sendiri ketika anak-mantunya didorong menjadi kepala daerah—suatu hal yang belum pernah terjadi di era presiden sebelum-sebelumnya,” ungkap Gde.
Menurut Gde, gagasan menambah masa kekuasaan presiden sudah turun pada tataran operasional, meski harus membeli dukungan publik maupun kader partai pemilik suara di DPR demi menyiasati konstitusi.
“Gagasan perpanjangan masa jabatan ini juga akan lebih menarik minat kader partai yang merupakan petahana di DPR dan DPD karena masa jabatan mereka pun akan ikut diperpanjang. Singkatnya, SPS: semua petahana senang,” pungkasnya.