Di balik Obsesi Tiga Periode

Smith Alhadar Direktur Eksekutif Institute for Democracy Eudation (IDe)

Heran, kendati dikecam dan ditolak di mana-mana, rezim Jokowi tetap ngotot memperpanjang masa jabatan. Menko Marves Luhut Binsar Panjaitan (LBP) sebagai dirigen paduan suara “Jokowi Tiga Periode” menghabiskan malam-malamnya mengatur siasat bagaimana cara menyukseskan gagasan tidak senonoh itu. Ketika satu siasat gagal, siasat lain dimunculkan.

Terakhir, 29 Maret, kita dibuat terkejut mendengar suara gemuruh ribuan kepala desa di Istoran Senayan, Jakarta. Mereka — mengatasnamakan Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) — hadir di sana dalam rangka Silaturahmi Nasional Kepala Desa. Di hadapan Presiden Joko Widodo dan LBP sebagai Ketua Dewan Pembina Apdesi, gemuruh yang direkayasa itu meminta rezim Jokowi memperpanjang periode kekuasaannya. Bukan main teganya rezim ini! Rakyat sudah sulit bernapas, tapi rezim masih ingin mengendalikan mereka.

Sebelumnya, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia melontarkan ke publik gagasan yang sama dengan dalih menjaga momentum geliat ekonomi nasional sesuai permintaan pengusaha. Pengusaha dirajakan, bukan rakyat. Gagasan itu rupanya berupa test the water. Kita mengira setelah Bahlil dikecam publik, keriuhan akan mereda. Nyatanya tidak. Sekonyong-konyong, setelah didikte LBP, tiga Ketua Umum parpol — PKB, Golkar, dan PAN — menyatakan hal yang kurang lebih sama, yang lagi-lagi menimbulkan keributan nasional. Ketum PKB Muhaimin Iskandar melihat geliat ekonomi sedang bagus-bagusnya dan harus dijaga momentumnya.

Berkebalikan dengan logika, dia menganggap penyelenggaraan pilpres pada 14 Februari 2024 — yang telah disetujui legislatif, eksekutif, dan KPU — akan mendisrupsi kinerja positif ekonomi itu, selain menghabiskan banyak anggaran. Kalau jabatan presiden diperpanjang, periode freeze (pembekuan) ekonomi selama dua tahun akibat pandemi covid-19 dapat dipulihkan. Seolah-olah kinerja ekonomi rezim pra-pandemi luar biasa produktifnya sehingga perlu diberi kesempatan lagi. Dia tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa selama rezim Jokowi berkuasa rakyat telah timbul-tenggelam di lautan penderitaan. Di bawah rezim Jokowi, pendapatan per kapita nasional merosot sehingga Indonesia jatuh ke peringkat bawah negara berpendapatan menengah. Hasil survey Saiful Mujani Research and Consulting, dilakukan pada 13-20 Maret, menunjukkan kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi anjlok hingga 7,1 persen dalam tiga bulan terakhir.

Sikap tiga parpol itu serentak mendapat kecaman lebih luas, termasuk dari parpol-parpol pendukung rezim. Publik memang kecewa berat. Pasalnya, alasan yg dikemukan tidak masuk akal. Pemilu justru akan menjadi stimulasi ekonomi karena besarnya dana yang masuk ke masyarakat dapat meningkatkan daya beli masyarakat yang, pada gilirannya, memutar mesin ekonomi. Penundaan pemilu malah akan menciptakan ketidakstabilan politik yang, dengan sendirinya, mengganggu kinerja ekonomi nasional. Jauh lebih penting, perpanjangan masa jabatan presiden melanggar konstitusi. Dalam keadaan darurat — misalnya, negara dilanda perang atau bencana nasional — konstitusi bisa diamandemen untuk beradaptasi dengan realitas baru. Masalahnya, Indonesia tidak dalam situasi genting.

Kendati mendapat resistensi kuat, LBP tidak menyerah. Bertebaran kemudian spanduk deklarasi “Jokowi Tiga Periode” di tempat-tempat strategis di berbagai daerah. Tidak jelas siapa yang memasangnya. Yang pasti bukan rakyat. Karena rakyat sedang jumpalitan mengatasi lilitan ekonomi yang dihasilkan rezim. Suara yang mengatasnamakan Apdesi adalah yang paling akhir setelah beredar video-video yang menampilkan suara orang kecil ingin Jokowi tetap duduk di Istana. Hasil investigasi Tempo mengungkap mereka dibayar orang tak dikenal.

Dugaan kuat, itu rekayasa LBP atau timnya. Toh, menurut Tempo, sikap tiga parpol itu merupakan desakan LBP. Memang LBP adalah “the real president” yang merasa berhasil mengemudikan bahtera Indonesia dalam delapan tahun terakhir. Namun, siasat-siasat LBP bagi “Jokowi Tiga Periode” tidak cukup canggih. Mudah dibaca. Ketika diwawancarai Deddy Courbuzzier, LBP mengklaim 110 juta akun di media sosial mendukung perpanjangan masa jabatan presiden tiga periode berdasarkan maha data (big data). Tapi klaim ini dibantah para pakar medsos. Dan memang LBP tak mampu menjawab tantangan mereka agar ia mengungkap informasi dari data itu dan menjelaskan metode yang digunakan. Dengan demikian, bisa disimpulkan klaim LBP tidak berdasar.

Tapi LBP terus maju dengan dukungan Jokowi. Dengan wajah riang, Jokowi menghampiri kerumunan anggota Apdesi yang terus berteriak “tiga periode” sambil membagikan kaos hitam. Tahun lalu, ketika tokoh Projo M. Qodari melontarkan wacana tiga periode, Jokowi menolak keras. Wacana itu, katanya, bertujuan menampar mukanya, mencari muka, atau menjerumuskannya. Tapi setelah Muhaimin Iskandar, Ketum Golkar Airlangga Hartarto, dan Ketum PAN Zulkifli Hasan, mengangkat kembali wacana itu, reaksi Jokowi berubah.

Demi demokrasi, Jokowi berdalih, wacana itu tak dapat dilarang karena setiap orang bisa berbicara apa saja. Sayangnya, wacana itu dapat berujung pada kudeta konstitusi. LBP sendiri melihat ada peluang mengamandemen konstitusi untuk mewujudkan mimpinya. Kebetulan MPR sedang membahas amandemen untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang berpotensi disusupi agenda liar dari LBP untuk juga mengamandemen masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Potensi itu kemudian dimatikan PDI-P — didukung parpol lain — dengan meminta MPR menghentikan pembahasan PPHN untuk sementara waktu.

Biar begitu, gagasan tiga periode tak hilang dari benak LBP. Dan terus diorkestrasi meskipun menghalalkan segala cara. Suara mereka yang mengatasnamakan Apdesi sesungguhnya adalah suara LBP. Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Apdesi, Arifin Abdul Majid, mengecam keras pencatutan nama ormasnya oleh orang-orang tertentu. Mereka itu mengaku tindakan mereka merupakan balas budi setelah rezim mengabulkan lima permintaan mereka: honor kades dicairkan setiap bulan (bukan setiap tiga bulan sebagaimana berlaku selama ini), dana operasional ditambah tiga persen dari dana desa, setempel desa diubah, proses pencairan SPJ disederhanakan, dan pemberian diskresi pengguna BLT desa. Dus, lima kompensasi ini merupakan tukar guling dengan dukungan Jokowi tiga periode.

Tapi Arifin tidak membenarkan sikap anggotanya itu. Ia mempertanyakan mengapa Apdesi yang sudah terdaftar di Kemenhukham masih digunakan orang yang tidak berhak. Maka Ormas itu meminta Polri mengungkap aktor intelektual yang menggiring isu seakan seluruh anggota Apdesi mendukung perpanjangan masa jabatan presiden. Tentu saja Polri tidak akan melakukannya karena di belakang gemuruh Apdesi ada paus besar meskipun jelas Apdesi sebagai lembaga dilarang berpolitik. Arifin mengatakan, sikap politik mereka telah keluar dari tugas pokok dan fungsi organisasi, bahkan telah melanggar sumpah untuk taat pada konstitusi. Aksi orang-orang Apdesi itu menunjukkan isu Jokowi tiga periode masih akan bergulir hatta besok langit runtuh. Pertanyaannya, mengapa rezim tetap bersikukuh pada pendirian ingin berkuasa lebih lama meskipun hal itu berpotensi menciptakan krisis politik?

Bila berhenti pada 2024, rezim Jokowi akan mewariskan kemunduran di semua sendi kehidupan bangsa. Bahkan, ia tak layak untuk sekadar diperbandingkan dengan pemerintahan SBY. Makin dekat dengan akhir pemerintahannya, semakin banyak masalah yang muncul ke permukaan. Di antaranya, kenaikan harga dan kelangkaan bahan pokok yang menciptakan keresahan sosial. Situasi ini akan bertahan, bahkan semakin memburuk, akibat dampak perang Ikraina yang kurang diantisipasi rezim.

Lebih dari itu, rezim tersandera oleh proyek pemindahan ibu kota yang seolah dunia akan kiamat besok kalau tidak diwujudkan sekarang. Proyek oligarki ini menyita porsi besar APBN karena investor tidak tertarik menanamkan uang di sana. Selain tidak feasible dari sisi sosial, ekonomi, hukum, politik, dan lingkungan, calon investor ingin ada jaminan keberlanjutan rezim. Sebab, kemungkinan besar pemerintah pengganti rezim Jokowi tidak akan melanjutkan proyek yang tidak populer ini.

Setelah melihat kecilnya kemungkinan rezim Jokowi bisa memperpanjang kekuasaannya tanpa diterpa badai politik, Softbank dan dua bank lainnya mundur dari komitmen mereka menanam ratusan triliun di sana, yang memang sangat mungkin merugi. Harapan pun tipis Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, yang baru-baru ini dirayu LBP, akan masuk ke proyek yang potensi mangkraknya sangat besar. Lagi pula, apa ada cukup orang yang hendak pindah ke sana untuk menghidupkan IKN Nusantara? Maka, di benak LBP, hanya tersedia satu jalan untuk meningkatkan kepercayaan investor: rezim Jokowi berlanjut setelah 2024. Tanpa partisipasi swasta dalan dan luar negeri, penggelontoran uang rakyat dari APBN bernilai ratusan triliun di saat utang luar negeri sudah sangat tinggi, terlalu beresiko. Itu pun belum memadai. Belum lagi pertanggungjawaban politik yang mungkin dituntut rakyat.

Pembangunan IKN sudah akan dimulai bulan ini. Sementara dua tahun sisa pemerintahan Jokowi tidak cukup untuk menuntaskan sekadar infrastruktur dasar IKN. Dengan demikian, proyek ini akan mubazir bila nanti rezim penerus tak meneruskannya. Sangat mungkin rezim baru tidak melanjutkannya karena ia butuh anggaran besar untuk menangani masalah kemiskinan dan pengangguran yang tinggi yang ditinggalkan rezim Jokowi. Memang rakyat masih akan susah hingga beberapa tahun ke depan, yang mengharuskan negara melindungi mereka. Rezim baru tak akan mengambil resiko kehilangan legitimasi ketika banyak masalah yang lebih krusial menuntut untuk ditangani segera.

Sebenarnya, tersedia jalan sederhana untuk menghadapi dilema ini: rezim membatalkan proyek IKN yang hanya menguntungkan oligarki dan antek-anteknya. Dengan begitu, rezim tak harus ngotot memperpanjang kekuasaan melalui otak-atik konstitusi yang akan menciptakan preseden buruk bagi masa depan demokrasi kita. Rezim berikut, yang juga kebelet berkuasa selama mungkin, dapat melakukan hal sama untuk alasan yang tidak perlu.

Akhirnya, konstitusi — paru-paru sebuah negara — hanya jadi mainan penguasa rakus, yang berdampak pada ramifikasi persoalan yang semakin berat untuk ditangani. Lebih baik anggaran APBN untuk IKN direlokasi untuk membantu kesulitan ekonomi masyarakat. Dengan demikian, rezim dapat mengakhiri mandatnya tepat waktu — sebagaimana diamanatkan konstitusi — dengan husnul khatimah. Tak apa-apa gagal sedikit ketimbang menjerumuskan bangsa ini ke dalam kekacauan, yang dapat berujung pada jatuhnya rezim seperti nangka busuk.

Tangsel, 1 April 2022