Dendam Jenderal Merah

Oleh: Sutoyo Abadi (Koordinator Kajian Politik Merah Putih)

Pada era kepemimpinan Presiden Suharto harus diakui demokrasi relatif terpimpin, terasa arahnya bukan untuk menuju rezim tirani tetapi semata, untuk menjaga agar proses demokrasi tidak menjadi liar yang akan menggangu kebhinekaan, stabilitas dan ketenangan negara dalam proses pembangunan. Dengan harapkan adanya keadilan dan pemerataan hasil pembangunan bisa di rasakan oleh masyarakat.

Nampaknya Presiden Suharto menyadari pada negara berkembang dengan ciri masih berbudaya agraris proses pematangan demokrasi harus diciptakan secara bertahap, apabila dilepas bebasĀ justru akan membahayakan keutuhan negara.

Kebhinekaan pada kehidupan kebangsaan saat ini retak mengarah ke disintegrasi bangsa, diperparah dengan terjadinya “doubling out” , umat Islam dianggap sebagai musuh negara. HTI dan FPI dianggap lebih berbahaya dari komunis. Radikalisme – intoleran dan teorisme dijadikan amunisi maut menyerang umat Islam.

Ancaman disintegrasi bangsa dan menguatnya tribalism yang makin marak diremehkan. Kondisi ini sangat sulit di bantah dan disembunyikan bahwa gerakan Jenderal Merah – memanfaatkan kekuatan sekuler kiri radikal – berkoalisi dengan oligarki terus memperkuat diri, mengabaikan semua rambu rambu konstitusi. Anehnya sasarannya terus menyerang umat Islam sebagai sebagai penghalang dan musuh utamanya.

Mengingatkan kita skema permainan Jenderal Merah di akhir masa era pemerintahan Suharto masih menyimpan dendam kepada Umat Islam, menemukan momentum mampu mengendalikan penguasa negara. Memanfaatkan kekuatanĀ kiri radikal dan oligarki sebagai pemilik finansial, celakanya komunis nimbrung untuk bangkit kembali.

Negara dalam bahaya – UUD 45 asli dan Pancasila sudah dimarginalkan, disintegrasi bangsa di depan mata, semoga rakyat semaki sadar akan bahaya ini untuk bangkit menyelamatkan Indonesia.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News