IDe: Populisme Islam Alami Penindasan di Era Jokowi

Populisme Islam mengalami penindasan sejak Joko Widodo (Jokowi) berkuasa 2014. Beberapa tokoh populisme Islam masuk penjara dan mengalami diskriminasi, dituding radikal bahkan dijuluki kadal gurun (kadrun).

“Peran kaum Muslim urban di ruang publik justru sedang ditindas. Tokoh-tokohnya dipenjarakan dan organisasinya dibubarkan. Kebijakan diskriminatif ini dibuat sejak 2014 ketika populisme Islam yang memberikan suara pada pasangan Prabowo Subianto kalah melawan pasangan Joko Widodo (Jokowi),” kata Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe) Smith Alhadar kepada redaksi www.suaranasional.com, Selasa (29/3/2022).

Populisme Islam ialah politik yang memposisikan umat berhadap-hadapan dengan elite. Populisme Islam mengalami pergeseran dari populisme yang bertujuan mencapai penguasaan ekonomi menjadi populisme yang bertujuan meraih kekuasaan politik.

Pasalnya, kendati kalah, populisme Islam melanjutkan perlawanan mereka terhadap rezim Jokowi, bahkan perlawanan kian keras seiring dengan kian kerasnya penindasan rezim kepada mereka. Diksi radikalisme, yang sebenarnya merujuk pada aktivitas politik, dipakai untuk melabeli kelompok agama.

Kata Smith, populisme Islam dituduh hendak mendirikan khilafah. Tentu saja tuduhan ini palsu belaka. Tujuannya hanya menakut-nakuti rakyat dan memecah-belah masyarakat agar memudahkan rezim mengontrolnya dan membuat kaum Muslim sibuk bertengkar sehingga luput dari perhatian pada kinerja rezim yang bekerja untuk oligarki ekonomi dan politik.

“Populisme Islam bukan mereka yang hendak mengganti negara Pancasila dengan khilafah. Tapi mereka yang ingin rezim Jokowi menghadirkan keadilan sosial bagi semua. Juga perhatian pada aspirasi budaya mereka ketika nilai-nilai liberalisme dari luar menyusup hingga ke kamar tidur keluarga-keluarga Muslim. Gelombang pasang konservatisme Islam di Indonesia harus dilihat dari kacamatan ini,” paparnya.

Smith mengatakan, pendukung populisme Islam, yakni mereka yang sekadar menuntut pengakuan atas eksistensi mereka, cukup besar. Hasil survei Indikator Politik Indonesia pada Februari 2020 mengungkapkan, jumlah pendukung populisme Islam sebesar 16,3 persen, penentangnya 33,9 persen, dan yang netral sebesar 49,8 persen.

“Kalau dikonversikan ke dalam angka, 16,3 persen itu hampir mendekati 50 juta jiwa. Ini jumlah yang tidak main-main. Terus menekan mereka tanpa alasan yang masuk akal, bukan saja akan menimbulkan ketegangan yang serius di dalam masyarakat, tapi juga akan membengkakan jumlah mereka. Mereka yang netral (49,8 persen) menyatakan, keberpihakan mereka pada salah satu bergantung pada situasi dan kondisi politik yang dihadapi. Dus, ada potensi membesarnya jumlah pendukung populisme Islam bilamana rezim semakin memarginalisasi mereka,” pungkasnya.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News