Smith Alhadar: Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)
Perang Rusia-Ukraina yang dimulai pada 24 Februari, menyusul invasi Rusia ke tetangganya itu, diduga akan berlangsung relatif lama. Nampaknya Rusia di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin mungkin telah salah perhitungan mengenai kemampuan perang Ukraina dan kedigdayaan militer Rusia. Perhitungan blitzkrieg (serangan kilat) tentara Rusia terhadap Ukraina ternyata tidak tercapai. Ketika artikel ini ditulis, 24 Maret, saat perang telah berlangsung satu bulan, Rusia belum juga berhasil menaklukkan ibu kota Kiev dan kota strategis lainnya.
Masalah manajemen perang, logistik, salah hitung, dan rendahnya moral tentara Rusia diduga merupakan penyebabnya. Di pihak lain, moral perang tentara Ukraina cukup tinggi, apalagi ia disokong rakyatnya yang bahu-membahu membentuk sukarelawan untuk melawan Rusia. Selain itu, sokongan moril mayoritas komunitas Internasional terhadap Ukraina dan mengalirnya bantuan keuangan serta senjata anggota NATO ke negara itu meningkatkan secara signifikan kemampuan perang Ukraina.
NATO dan Uni Eropa memang berkepentingan Rusia dikalahkan di Ukraina. Tujuannya: Beruang Merah itu tak lagi menjadi pemain global sebagai penyeimbang militer NATO, aliansi militer terbesar dan terkuat di muka bumi. Juga untuk menghilangkan ancaman Rusia terhadap Eropa. Selanjutnya, rezim Putin akan runtuh untuk digantikan rezim baru yang bersedia mengakomodasi rencana perluasan perbatasan NATO hingga ke perbatasan Rusia dengan memasukkan Ukraina ke dalam keanggotaannya. Kekalahan Rusia juga dapat memicu runtuhnya rezim Belarus yang pro-Moskow untuk digantikan rezim pro-NATO. Rezim Rusia yang baru pengganti rezim Putin terpaksa harus bersikap fleksibel terhadap tuntutan NATO dan UE karena ia membutuhkan bantuan keuangan mereka, membuka akses Rusia ke pasar UE untuk mengekspor kembali minyak, gas, dan gandumnya yang diboikot UE pasca invasi Rusia, demi bangkit dari keterpurukan akibat perang. Akibat lain dari kekalahan Putin adalah Cina, lawan serius Barat dan sekutunya, kehilangan teman strategis dalam persaingannya dengan Barat. Cina mungkin akan melunak terhadap obsesinya menduduki Taiwan secara militer dan sikap asertifnya di Laut Cina Selatan serta Laut Cina Timur.
Tak heran, sampai saat ini Cina tetap menjaga hubungan baiknya dengan Rusia. Kendati mendorong Rusia dan Ukraina menyelesaikan masalah mereka di meja perundingan, Beijing menolak mengecam Rusia. Itu terlihat dalam sikap abstein yang diambilnya terkait Resolusi DK PBB yang mengecam Rusia. Bahkan, NATO menduga kuat Putin telah meminta bantuan persenjataan dari Cina yang mungkin saja akan dikabulkan Cina. Kalau benar berita itu, kita harus memandang ini sebagai taktik Putin, teman karib Presiden Cina Xie Jinping, untuk melibatkan Cina dalam perang karena mustahil Rusia — produsen senjata terbesar kedua setelah AS — telah kehabisan senjata ketika perang belum lagi sebulan. Kalau Xie memenuhi keinginan Putin hal itu sangat wajar meskipun hanya simbolik.
Cina berharap Rusia memenangkan perang. Kalau demikian, pamor NATO pimpinan AS akan runtuh. Hal itu juga akan menguatkan anggapan bahwa sanksi ekonomi tidak cukup efektif untuk melemahkan bangsa yang disanksi. Dengan demikian, AS dan sekutu Baratnya akan menilik ulang kekuatan senjata ekonomi yang sering digunakan untuk memaksa lawan tunduk pada kemauan mereka. Apalagi ada banyak contoh yang menjelaskan bahwa banyak faktor, di antaranya sejarah, budaya dan martabat sebuah bangsa jauh lebih berperan dalam menyokong eksistensi sebuah rezim ketimbang faktor ekonomi. Kasus Korea Utara, Kuba, dan Iran, adalah contoh jelas bagaimana sebuah rezim bertahan kendati telah dijatuhkan sanksi ekonomi total oleh Barat dan sekutunya selama puluhan tahun. Hingga kini Barat menganggap Cina dapat dikendalikan melalui ancaman sanksi ekonomi. Hingga tingkat tertentu, ancaman sanksi ekonomi memang bisa jadi deterrence bagi rezim Cina yang tak ingin kehilangan momentum perkembangannya di berbagai bidang, terutama pertumbuhan ekonominya yang tinggi. Toh, kemajuan Cina ini tak dapat dipisahkan dari akses ekonomi dan teknologi negara-negara Barat yang diperoleh Cina. Tapi bila rezim Putin survive, apalagi keluar sebagai pemenang perang, kendati telah dikenakan sanksi ekonomi yang “melumpuhkan”, hal itu akan menjadi insentif politik bagi Cina dalam berhadapan dengan Barat. Sebaliknya, Barat kehilangan kepercayaan diri dalam menggunakan ekonomi sebagai senjata melawan musuh-musuhnya.
Kendati menghadapi kesulitan di lapangan, Rusia tak siap untuk kalah. Ini bukan saja menjadi ambisi Putin, tetapi aspirasi mayoritas rakyat Rusia. Kekalahan Rusia bukan saja akan menguburkan rezim Putin, tetapi akan juga menenggelamkan pamor Rusia sebagai great nation yang merupakan lawan sepadan AS di bidang militer dan mereduksi peran Rusia di panggung global. Dengan kata lain, Rusia akan “lenyap” untuk digantikan Cina. Tak ada orang Rusia yang siap menghadapi kenyataan ini. Dus, perang Rusia-Ukraina akan berkepanjangan. Memang belakangan Presiden Ukraina Volodimir Zelensky melunak dengan bersedia memenuhi tuntutan Putin agar Ukraina menjadi negara netral mengikuti model Swis, Austria, atau Finlandia. Putin menyambut tawaran ini. Tetapi perundingan-perundingan yang telah berlangsung beberapa kali antara delegasi Rusia dan Ukraina di Belarus dan Turki belum menemui titik terang. Point yang menjadi penghalang adalah tuntutan Zelenski agar Rusia mengembalikan Krimea milik Ukraina yang dicaplok Rusia pada 2014 dan mencabut pengakuan Rusia atas wilayah Donetsk dan Luhansk (kawasan Donbas) — wilayah di Ukraina timur yang dihuni etnis Rusia — sebagai republik merdeka. Tuntutan Zelenski ini sukar ditawar karena hanya dengan Rusia mengembalikan wilayah-wilayah itu Zelenski bisa menyelamatkan muka dalam membuat konsesi terhadap Rusia terkait netralitas Ukraina.
Semakin lama Rusia dan Ukraina berperang, semakin meredupkan perkembangan ekonomi dunia. Penghentian ekspor minyak dan gas Rusia ke Eropa, juga hilangnya ekspor gandum Rusia dan Ukraina — produsen gandum terbesar di dunia– telah memukul ekonomi dunia. Bujukan AS dan UE agar negara-negara Arab Teluk, produsen minyak dan gas terbesar di dunia, agar memompa lebih banyak energi mereka ke pasar global untuk mengganti minyak dan gas Rusia yang hilang (gas dan minyak Rusia mengisi 40 persen dari kebutuhan energi fosil Eropa) ditampik oleh Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar, yang ingin agar harga minyak dan gas di pasar dunia tetap tinggi. Sementara Iran belum bisa mengekspor minyak dan gasnya karena masih terkena sanksi AS. Sementara itu, gandum Rusia dan Ukraina yang hilang di pasaran dunia tak dapat dipenuhi negara lain.
Kekurangan pangan dan energi di pasar global telah memicu inflasi dan krisis pangan di berbagai negara. Rakyat miskin Indonesia, sebagaimana rakyat miskin di berbagai negara, hari-hari ini telah ikut memikul dampak perang Ukraina berupa meningkatnya harga pangan dan energi yang menggerus daya beli mereka. Ke depan, kesulitan hidup rakyat akan semakin tertekan yang dapat berdampak pada stabilitas dan keamanan negara. Potensi kerawanan ini sepertinya kurang diantisipasi rezim Jokowi. Memang pemerintah mungkin akan terus menyalurkan bantuan sosial dan mempertahankan subsidi, tetapi hal itu tak akan banyak membantu karena lapisan masyarakat yang tadinya diklasifikasi sebagai hampir miskin, kini telah jatuh miskin bahkan sejak hantaman pandemi covid-19 dua tahun lalu, yang diperparah oleh dampak perang Rusia-Ukraina.
Bila nanti keadaan semakin sulit, diduga kuat rezim Jokowi tak punya kemampuan untuk menanganinya. Pasalnya, utang luar negeri kita sudah menumpuk, pendapatan dari pajak menurun akibat perusahaan-perusahaan terpukul yang dapat memicu pemecatan tenaga kerja, dan rezim akan membuang uang ratusan triliunan rupiah untuk membangun IKN Nusantara menggunakan porsi besar APBN. Situasi politik nasional juga akan mendidih bila mana rezim, melalui berbagai cara, akan menunda pemilu 1-2 tahun atau perpanjangan masa jabatan presiden hingga tiga periode. Rencana ini mendapat penolakan keras dari publik, juga dari sebagian besar parpol di parlemen. PDI-P bahkan telah mundur dari rencana amandemen konstitusi untuk memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara karena khawatir ditunggangi rezim untuk mengandemen konstitusi guna memperpanjang periodisasi presidensi menjadi tiga periode. Sikap PDI-P, Gerindra, PKS, PPP, dan Demokrat dalam menentang penundaan pemilu dan perpanjangan jabatan presiden mestinya menutup peluang rezim Jokowi untuk terus berkuasa. Wapres Ma’ruf Amin pada 23 Maret lalu juga menyatakan, dia dan Presiden Jokowi hingga kemarin hanya berpikir sampai 2024. Tak ada pikiran untuk memperpanjang kekuasaan melampaui batas yang digariskan konstitusi. Namun, sepanjang Jokowi masih mendukung wacana perpanjangan masa jabatan presiden, apalagi sering perkataan Jokowi tidak sesuai dengan apa yang dia lakukan, kita belum bisa percaya pada rezim. Terlebih, belakangan ini ada dugaan rezim sengaja tak menandatangi anggaran untuk pemilu yang sudah harus ia lakukan pada bulan ini mengingat tahapan pemilu telah dimulai pada Juni mendatang. Alasannya anggaran itu terlalu besar. Bila nanti KPU menyatakan tidak sanggup menyelenggarakan pemilu dengan anggaran yang terbatas yang diajukan rezim dalam waktu yang juga sudah mepet, maka rezim memiliki preteks untuk menunda pemilu. Bagaimanapun, sepanjang rezim masih waras, kemungkinan pemilu ditunda atau upaya memperpanjang jabatan presiden tiga periode tidak akan dilakukan.
Dus, kita berasumsi pilpres akan berlangsung pada 14 Februari 2024 di saat posisi Jokowi melemah akibat keterpurukan ekonomi nasional. Kengototannya membangun IKN yang terkait dengan ambisi-ambisi politiknya bisa jadi meruntuhkan wibawanya. Dengan kata lain, Jokoisme yang terbangun dari karakter lugas, sederahana, dan kerakyatan Jokowi akan luntur. Hal ini akan berpengaruh pada parpol-parpol pendukungnya. Lebih jauh, politik asosiasi dengan Jokowi yang digunakan Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto bisa jadi akan berpengaruh negatif pada elektabilitas keduanya. Apalagi bila perkiraan ekonomi rakyat kian terpuruk menjelang pemilu jadi kenyataan.
Memang terkait perang Ukraina, rezim Jokowi mendukung resolusi Majelis Umum PBB yang mengecam invasi Rusia berdasarkan prinsip menjaga ketertiban dunia dan aspek kemanusiaan yang diderita rakyat Ukraina sesuai dengan pesan konstitusi. Posisi ini bertujuan menjaga kepentingan nasional dengan memelihara hubungan baik dengan Barat di mana ekonomi Indonesia sangat bergantung. Namun, ahli hukum hubungan internasional dari Universitas Indonesia Prof Hikmahanto Juwana melihatnya sebagai pengabaian politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif alias netral seperti yang digariskan konstitusi. Lepas dari kontroversial itu, rakyat Indonesia cenderung mendukung Rusia sebagaimana yang terekam dalam percakapan di media sosial. Ada beberapa perkiraan mengapa rakyat Indonesia bersimpati pada Putin.
Pertama, Barat pimpinan AS dipandang memberlakukan standar dan moral ganda. Invasi Rusia ke Ukraina disamakan dengan invasi AS ke Irak pada 2003 yang memang tanpa resolusi DK PBB dengan tuduhan palsu bahwa Irak masih menyembunyikan senjata pembunuh massal. Invasi itu juga jauh lebih menghancurkan infrastruktur Irak dan menewaskan ratusan ribu rakyat sipil ketimbang korban material dan nonmaterial yang diderita Ukraina saat inu. Belum lagi dukungan tanpa reserve AS dan sekutunya terhadap Israel yang menzalimi bangsa Palestina. Kedua, rakyat Indonesia mendukung pemimpin yang berkarakter tegas dan berwibawa seperti yang dimiliki Putin. Bertahannya Orde Baru pimpinan Soeharto selama 32 tahun, populeritas Presiden SBY hingga terpilih dua periode, dan dukungan besar rakyat pada Prabowo dalam pilpres, menguatkan asumsi bahwa budaya Indonesia mendukung tokoh kharismatik yang tegas, kokoh, dan militeristik. Ketiga, Putin memang dekat dengan masyarakat Muslim Rusia yang merupakan 15-20 persen dari total 145 juta jiwa populasi Rusia, terbesar di Eropa. Selama Putin memimpin dalam dua dekade terakhir — di luar invasi Rusia ke Chechnya — penduduk Muslim dimanjakan. Tak heran, dalam invasi Rusia ke Ukraina banyak menggunakan tentara Muslim dari Republik Chechnya, Tatarstan, dll.
Dengan Indonesia mengambil posisi pro-Barat, bisa jadi lebih jauh menggerus wibawa Jokowi, yang berdampak pada parpol-parpol pendukungnya. Di luar itu, perang Ukraina telah berdampak pada ekonomi dan politik Asia Tenggara, terutama Indonesia. Pilpres 2024 mungkin sekali akan “dicampuri” kekuatan-kekuatan besar, terutama AS dan Cina. Bila Rusia memenangkan perang, yang akan berdampak pada naiknya pamor Rusia di panggung internasional dan menguatkan posisi Cina di Indo-Pasifik, maka posisi Indonesia semakin rentan vis a vis Barat. Indonesia, yang sensitif terhadap isu yang berbau Cina, baik Muslim maupun nasionalis, akan dimanfaatkan Barat dalan menyokong figur capres yang dapat menyatukan dua kekuatan ini, yang sejak pilpres 2024 terbelah secara diametral. Dengan demikian, Indonesia (yang tak pernah akan menjadi sekutu Cina) diharapkan berperan sebagai game changer di Indo-Pasifik guna mengimbangi kekuatan Cina dan Rusia di kawasan ini. Toh, negara-negara Asean lain diduga tak akan pernah bisa memainkan peran ini mengingat kekuatan, seharah, budaya, kepentingan politik, dan ideologi mereka sangat berbeda dengan Indonesia.
Apalagi, berbeda dengan Said Aqil Siroj yang pro-Cina, PBNU di bawah pimpinan Yahya Cholil Staquf lebih pro-Barat, bahkan agak condong ke Israel. Dengan demikian, AS dan sekutunya berharap rezim pasca Jokowi lebih kental dengan warna Islamnya karena akan memperkuat resistensi Indonesia terhadap Cina. Apalagi, beberapa waktu lalu AS telah mengeluarkan UU Anti-Islamphobia. Dalam hal Rusia kalah perang, tekanan Cina di Indo-Pasifik mungkin taj akan berkurang karena ia memerlukan lebensraum (ruang hidup) ke wilayah timur ketika Rusia tak lagi dapat diandalkan sebagai sekutu yang mengamankan perbatasan Cina di utara dan barat. Karena itu, bisa jadi Beijing juga akan bermain dalam pilpres Indonesia untuk menjamin kepentingan ekonominya di negeri ini. Tetapi, tak ada proksi Cina di Indonesia yang bersedia melayani kepentingannya. Bahkan, tak ada aspiran capres yang mau berasosiasi dengannya mengingat sentimen anti-Cina makin tumbuh di Indonesia. Singkatnya, perang Ukraina, apa pun hasilnya, akan merugikan Cina dan Rusia terkait posisi Indonesia di Indo-Pasifik. Indonesia akan diuntungkan bila presiden terpilih mengakomodasi kepentingan Barat — hal ini pasti dilakukan — karena AS dan sekutunya berkepentingan memajukan Indonesia di bidang ekonomi untuk mengatasi pengaruh ekonomi Cina karena selama ini Cina-lah yang bersedia berinvestasi besar di negeri ini di bidang infrastruktur, tambang, dan energi. Dus, perkembangan Indonesia pasca Jokowi akan sangat bergantung pada respons Indonesia terhadap perang Ukraina.
Tangsel, 24 Maret 2022