Selama tujuh tahun pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) melakukan dosa terbesar dengan keberadaan buzzer.
“Dosa terbesar yang dilakukan Penguasa 7 tahun ini adalah: Buzzer,” kata dr Tifauzia Tyassuma di akun Twitter-nya @DokterTifa, Jumat (18/3/2022).
Keberadaan buzzer, kata dr Tifauzia melakukan adu domba dan menyebarkan fitnah sesama anak bangsa.
“Luar biasa dalam memecah-belah rakyat, membunuh akal sehat, menghilangnya nyawa, bangsa ini retak, lingkungan saling memaki, keluarga berantakan bahkan tercerai-berai,” ungkapnya.
dr Tifauzia mengatakan, rakyat Indonesia terjadi permusuhan karena adanya hasutan buzzer.
Pengamat politik, Hendri Satrio, menyatakan buzzer belum tentu membahayakan demokrasi. Menurutnya, buzzer menjadi persoalan karena ada ketidakadilan penegakan hukum di Indonesia saat ini.
“Kalau menurut saya pribadi, buzzer boleh tidak? Boleh. Membahayakan demokrasi tidak? Belum tentu. Tapi kenapa kita kesal sama buzzer? Karena kita melihat ada ketidakadilan di situ,” ujar Hendri dalam diskusi di Kantor YLBHI, Jakarta, Kamis (11/10).
“Kalau adil saja, menurut saya tidak masalah,” katanya.
Hendri kemudian menjelaskan bahwa buzzer yang pro-pemerintah tidak pernah dipidana jika melanggar Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik. Menurutnya, buzzer yang pro-Joko Widodo angkuh karena merasa dekat dengan kekuasaan.
“Sebut saja buzzer yang paling kita kenal misalnya. Dia ngomong ini sembarangan, ngomong (sembarangan) lagi, didiemin aja tuh,” ucap Hendri.
Lebih lanjut, Hendri mengatakan pemerintah boleh menggunakan buzzer. Namun, buzzer itu harus digunakan untuk hal-hal yang baik.
“Sekarang memang problemnya, mereka boleh salah dan tidak apa-apa. Kalau yang tidak berada di lingkungan Istana tidak boleh salah. Kalau salah UU ITE, kan itu problemnya,” ujarnya.