Isu penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden yang dilontarkan sejumlah elit politik, yang berujung dengan munculnya klaim Big Data dari Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan semakin membuat banyak pihak mencurigai adanya agenda terselubung dari elit penguasa untuk terus mempertahankan kekuasaannya meski dengan melanggar undang-undang dan konstitusi negara.
Pernyataan tegas itu dilontarkan oleh koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi (KomTak), Lieus Sungkharisma, Kamis (17/3/2022).
Menurut Lieus, apa yang diungkapkan Luhut soal Data 110 juta nitizen yang menginginkan pemilu ditunda dan masa jabatan presiden diperpanjang, tidak lepas dari rangkaian pernyataan sebelumnya oleh sejumlah elit politik yang ingin penundaan pemilu dilakukan.
“Para elit politik itu sebenarnya tau bahwa gagasan penundaan pemilu tidak konstitusional dan melanggar undang-undang. Tapi demi memenuhi ambisi pribadi untuk terus berkuasa, mereka tak peduli lagi soal itu,” ujar Lieus.
Luhut sendiri, tambah Lieus, demi menguatkan ambisi untuk terus berkuasa itu, kemudian melontarkan pernyataan yang katanya memiliki data tentang 110 juta nitizen yang menghendaki pemilu ditunda dan jabatan presiden diperpanjang.
“Para elit penguasa itu sedang main pingpong. Saling lempar bola. Saya minta janganlah terus membohongi rakyat. Para elit politik, berhentilah membohongi publik,” tegas Lieus.
Lieus menilai para elit politik saat ini sedang mempermainkan perasaan rakyat. “Lihat saja, Luhut mengaku punya data. Tapi ketika diminta membukanya dia menolak. Inikan pembohongan namanya. Kalau benar, yang namanya data itu ‘kan hak publik. Ya buka saja. Tapi kenapa Luhut keberatan?” tanya Lieus.
Seperti diketahui, Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim punya data besar yang berisi suara 110 juta pengguna media sosial ingin pemilu 2024 ditunda. Namun ketika dalam satu acara di Hotel Grand Hyatt Jakarta, Selasa (15/3) wartawan meminta Luhut membukanya, Luhut justru menolaknya. “Buat apa dibuka?” katanya.
Hal itulah yang membuat Lieus merasa para elit yang kini lagi berkuasa sedang mempermainkan perasaan rakyat dengan menggiring opini seolah-olah mayoritas rakyat negeri ini menghendaki pemilu ditunda. “Padahal para elit itulah yang ingin mempertahankan kekuasaannya,” tutur Lieus.
Apalagi, jelas Lieus, big data Luhut itu dibantah langsung oleh data yang ada di DPD RI. “Data Luhut sangat jauh berbeda dengan data yang dimiliki Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti,” ujar Lieus.
La Nyalla menyebut klaim Luhut itu tidak dapat dibenarkan. “Berdasarkan analisa big data yang kami miliki, percakapan tentang Pemilu 2024 di platform paling besar di Indonesia yaitu Instagram, YouTube dan TikTok tidak sampai 1 juta orang,” ujar Nyalla.
Karena itulah Lieus meminta Luhut dan para elit partai politik berhenti mewacanakan penundaan pemilu apalagi ingin memperpanjang jabatan presiden.
“Patuhi dan jalani saja apa yang sudah diamanatkan oleh konstitusi dan undang-undang. Para elit politik jangan bikin negeri ini semakin gaduh dengan pernyataan-pernyataan kontra produktif seperti itu,” katanya.