Oleh: H. Damai Hari Lubis,SH., MH (Pengamat Hukum) Sekretaris Dewan Kehormatan DPP. KAI/ Kongres Advokat Indonesia
Ketika hukum dipandang dari sudut sempit oleh JPU. Maka Majelis Hakim Wajib Menguliti Tuntutan JPU secara presisi dan Imparsial. Oleh sebab hukum Selain Terdakwa/TDW Munarman Wajib Mendapat Keadilan ( gerechtigheit ) termasuk semua Pemerhati daripada bangsa ini Membutuhkan Kepastian Hukum (rechtmatigheit), Sehingga hukum dirasakan benar – benar utility atau berdaya guna serta bermanfaat ( doelmatigheid )
Pengantar
Sebagai Pembuka, bahwa keberadaan Undang – Undang atau Hukum Positif serta Kandungannya ( larangan dan perintah ). Terkait sistim hukum atau sisitim perundang-undangan negara kita dikenal adanya keberlakuan Asas fiksi hukum atau presumptio iures de iurp asas fiksi hukum merupakan ketentuan dasar atau pokok yang memiliki makna, bahwa semua orang rakyat bangsa Indonesia dianggap sudah tahu apapun status sosial atau derajat atau apapun jabatan dan atau kedudukannya ditengah masyarakat atau orang atau subjek hukum yang telah dewasa atau kanak – kanak dalam batasan usia tertentu, sehat akalnya yang dalam makna hukum dapat mempertanggung jawabkan segala perbuatannya hukumnya sesuai undang -undang yang berlaku, walau kenyataannya subjek hukum dimaksud tidak lulus sekolah dasar dan dirinya selama hidupnya menetap atau berdomisili terpencil diatas pegunungan sekalipun
Bahwa literatur, artikel hukum sebagai pendapat hukum ini dibuat diluar atau tidak menyangkut narasi yang bersipat ada hubungannya dengan pendapat publik, atau eksepsi atau bukan tinjauan perspektif hukum yang memuat bantahan terhadap penyimpangan daripada rumusan surat dakwaan yang merujuk hukum acara/ KUHAP atau UU.RI. No. 8 Tahun 1981, bukan juga sebuah pleidooi yang isinya tentang bukti – bukti yang terungkap dihadapan majelis hakim dimuka persidangan yang terkait alat- alat bukti yang disanding dengan keterangan para saksi a charge, a decharge, bukti surat atau bukti rekaman suara dari perangkat elekronik dan kesaksian para ahli berikut sumpah, yang kesemuanya biasa dirangkum untuk dijadikan dasar pembelaan oleh seorang atau beberapa orang Terdakwa ( pleidooi ) yang isinya penolakan terhadap tuntutan atau menjadi rangkaian penolakan terhadap isi tuntutan yang dibuat atau dihantarkan oleh Sdr JPU. Kepada Majelis Hakim. Oleh karenanya materi literatur ini kesemuanya diluar konteks daripada materi terhadap hukum pidana formil dan diluar konteks hukum pidana materil yang mengupas atau mengkaji khusus tentang memenuhi atau tidak memenuhi unsur-unsur daripada surat tuntutan JPU kepada sahabat Aktivis Munarman yang kelak tentunya akan disampaikan kepada Majelis Hakim oleh TDW Munarman sendiri dan atau dari Para Pengacaranya. Literatur hukum yang disampaikan ini semata – mata sumbangsih pikiran nara sumber /Penulis terhadap keseluruhan giat dan aktifitas Sdr. Munarman yang menjadi tuduhan, dakwaan serta tuntutan JPU. Dari sudut pandang keberlakuan daripada sistem hukum positif yang ada yang pada prinsipnya ideal harus dilaksanakan secara equal oleh setiap orang WNI di NKRI.
Semoga Insya Allah, Penulis narasi berharap. artikel dapat bermanfaat bagi praktisi hukum utamanya para Hakim yang mengadili Sahabat Para Akrivis Munarman dan termasuk JPU serta berguna sebagai ilmu pengetahun hukum untuk semua ummat, rakyat atau WNI yang mendambakan keadilan ( gerechtigheid ) dan tentu berharap vonis menerbitkan kepastian hukum ( rechmatigheid ) dan utility atau manfaat atau daya guna daripada fungsi kapasitas penegakan hukum ( Doelmatigheid )
Tentang Tuntutan JPU
Sdr. JPU. pada register perkara nomor 925/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.tim telah mengajukan tuntutan hukumnya terhadap TDW. Munarman selama 8 ( delapan ) tahun penjara atas perkara dugaan tindak pidana terorisme. Dalam tuntutannya, JPU menyatakan Munarman terbukti melanggar UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan bahwa Munarman telah melanggar Pasal 14 Juncto Pasal 7, Pasal 15, Juncto Pasal 7 serta Pasal 13 huruf C UU Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.
Tuduhan JPU yang menjelma menjadi tuntutan kepada aktivis Munarman tersebut memiliki beberapa unsur karakter yaitu merencanakan atau menggerakkan orang lain sebagai bentuk ancaman kekerasan untuk melakukan tindak pidana teroris, dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Diantaranya dengan mengajak warga melakukan baiat atau sumpah setia kepada Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) melalui kegiatan yang dihadiri Munarman sebagai pemberi materi
Pertimbangan Hukum Majelis Hakim sebagai Dasar Hukum Putusan
Maka terhadap tuntutan JPU tersebut Majelis Hakim butuh berbagai pertimbangan hukum sebagai dasar putusan, dengan cara mencari, menggali secara due proccess melalui ketentuan rujukan KUHAP, dan Para Hakim atau anggota Majelis Hakim pastinya mewajibkan dirinya berlaku imparsial atau objektif, maka tentunya akan mengupas dan mengkaji makna – makna penting hukum terhadap alasan perbuatan terdakwa, apakah ada alasan pembenaran hukum atau penyangkalan terhadap tuntutan pidana, jika dihubungkan dengan berbagai koridor regulasi dari sistim hukum yang berlaku serta mengikat bagi seluruh WNI, adapun kajian atau kupasan hukum secara luas ini dikarenakan Para Hakim yang menyidangkan perkara ingin mendapatkan kebenaran yang sebenar-benarnya ( materiele waarheid ), tidak akan sembarang menghukum, mengingat fungsi hakim adalah menemukan kebenaran atau ketidak benaran tuntutan JPU. termasuk temuan hukum sebagai kontrol hukum, yang pastinya kewenangan melaksankan pada perintah hukum yang beritikad baik ambivalen dengan perencanaan perbuatan makar atau kejahatan terhadap Konstitusi Dasar NRI ( UUD. 1945 ) dan atau sengaja berencana melanggar konsititusi
Bahwa Majelis Hakim untuk mendapatkan kebenaran tidak harus melulu fokus atas tuduhan pidana materiil dari JPU., oleh sebab tupoksinya para hakim anggota majelis tentu akan mengupas secara prudensial, objektif/ imparsial serta presisi terhadap dan yang terkait pada semua unsur Hukum Positif demi mendapatkan Materiele Waarheid atau Kebenaran yang Sesungguh – Sungguhnya. Oleh karenanya dalam rangka pembuktian sebagai bagian daripada hukum acara pidana ( Tata cara acara persidangan ) Para Hakim harus selalu berupaya mencari, dan berupaya menemukan kebenaran materil (materiele waarheid), yaitu kebenaran yang sesungguhnya atau kebenaran yang riil. Dengan demikian upaya mencari dan menemukan kebenaran materil pada proses acara pidana yang berkaitan erat dengan proses hukum pembuktian diantaranya demi kebenaran dan juga termasuk ketidak benaran daripada tuntutan JPU. oleh sebab itu Para Hakim atau Hakim sebagai yang dituntut untuk berkewajiban berbuat dan berlaku adil layaknya bak Wakil Tuhan dimuka bumi, dapat menemukan hakekat keadilan ( gerechtigheit ) atas dasar fakta dan data kebenaran yang sebenar – benarnya atau sesungguh – sungguhnya ( materiele waarheid ) sebagai makna subtansial daripada hakekatnya vonis yang punya irah- irah Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa, maka tentunya Majelis Hakim yang menyidangkan perkara a quo mesti berkewajiban menggali hukum – hukum positif yang ada atau sistem hukum yang wajib diberlakukan atau harus dilaksanakan secara profesional dan proposional serta imparsial sehingga mendapatkan sebuah putusan yang objektif dan akuntabel ( logis dan berkeadilan ) serta berkepastian hukum. Sehingga dapat diterima sebagai pemenuhan 3 (tiga) fungsi hukum yang berkeadilan atau gerechtigheit dan fungsi kepastian hukum atau rechtmatigheid, putusan atau vonis harus tetap pada framing sejati pada fungsi hukum lainnya yaitu memperhatikan asas utility atau asas manfaat atau doelmatigheid. Maka ketika penerapan daripada tiga fungsi hukum dimaksud terkait keadilan, kepastian hukum, serta utility atau manfaat hukum telah terakumulasi dalam putusan Majelis Hakim, maka mutatis mutandis vonis telah memenuhi faktor penting daripada sisi kemanusiaan, yakni Kemanusiaan yang Adil Dan beradab. Adab atau moralitas dalam hukum sungguh hakekatnya sangat penting *karena hukum tanpa moral adalah sia – sia belaka.
Selanjutnya dan oleh karenanya ketika vonis telah menyentuh sisi kemanusiaan yang adil dan beradab, para hakim secara subtansial telah memahami tentang tujuan serius daripada 3 ( tiga ) fungsi vonis hukuman termasuk fahami dampak vonis terhadap seorang subjek hukum yang kelak dipastikan akan mengalami guncangan psykologis akibat sanksi hukuman pidana yang menimbulkan sindrom atau traumatik karena penderitaan yang dialami karena faktor manusiawi yang sedang dialami seorang manusia, oleh sebab dikekang kebebasannya dalam menjalankan kehidupannya sehari- hari, yang dikurung di penjara dalam tempo sekian waktu lamanya sesuai amar putusan
Undang – Undang Hukum Positif Isinya Merupakan Perintah Hukum yang Sungguh Ideal, karena makna hukum positip wajib mesti dilaksanakan oleh setiap subjek hukum WNI apapun strata-nya dalam korelasi kehidupan sosial sehari – harinya, tanpa terkecuali oleh karena prinsip idealnya, setiap WNI harus melaksanakan dan patuhi perintah semua sistem hukum dan Perundang-undangan yang berlaku. Maka oleh sebab adanya kewajiban bagi setiap WNI untuk melaksanakan hukum atau perintah undang – undang, oleh karenanya timbul pertanyaan ; ” dimana letak kesalahannya Sdr. Munarman atau apa salahnya Sdr. Munarman ? “. Dalam hal kewenangan mengadili dan hak menghukum Majelis Hakim yang dimuliakan mesti serius ekstra hati – hati terkait penghukuman penjara terhadap manusia yang secara pilosofis hukum dikenal adagium/ adagum hukum , ” lebih baik membebaskan 1000 orang yang bersalah* daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah ” tentu dalam hal ini hak hakim untuk menggunakan hati nurani pun amat perlu dipertimbangkan ” saat proses sakral ” a quo
Pelaksanaan pada kewajiban “Peran Serta Masyarakat ” Bukan Pelaku Teror/ Terorisme
Bahwa sudah diketahui tuntutan JPU adalah 8 ( delapan ) Tahun terhadap TDW. Munarman, maka tuntutan ini adalah sebagai bagian dari sisi gelap penegakan hukum oleh JPU. Yang nota bene JPU. Merupakan subjek hukum yang berprofesi sebagai bagian daripada institusi aparatur penegak hukum yang tentunya wajib fahami akan asas fiksi hukum atau presumptio iures de iur, sehingga oleh karena eksistensi atau keberadaan asas fiksi hukum, oleh karena adanya bukti fakta tuntutannya, maka identik JPU. telah melakukan pengkerdilan terhadap Hukum – Hukum positif ( Sistem Perundang – Undang yang Harus Berlaku ). Oleh sebab JPU. Pada kasus Terdakwa Munarman selaku penegak hukum sudah semestinya berlaku objektif terhadap Terdakwa, tidak boleh subjektif, JPU wajib memahami apa yang dilakukan Sdr. Munarman adalah wujud kesetiaannya atau bentuk kepatuhannya terhadap perintah undang – undang. JPU tidak boleh ada dendam yang ( seolah ) bersifat pribadi, terlebih sebagai untuk dan atas nama negaran dengan atribut Jaksa selaku Penuntut Umum yang patut memiliki dan menjiwai profesi penegak hukum dalam artian subjek yang selalu setia kepada hukum dan mengantongi predikat jati diri strata terhormat menurut ketentuan undang-undang oleh sebab tupoksinya demi keterikatan atas sumpah jabatan mulia selaku aparatur penegak hukum terhadap sistim hukum serta kesemua tugas dan fungsinya semata- mata berasaskan dan demi kepentingan undang- undang atau demi pelaksanaan dan penegakan hukum
Oleh sebab itu sebenarnya JPU harus dapat membedakan WNI yang sungguh- sungguh cinta tanah air dengan pelaku tindak kejahatan, dalam pemahaman makna analogi kriminal yang sebenar – benarnya, oleh sebab Munarman yang publik kenal dan ketahui sebagai seorang ahli hukum dan advokat serta aktivis lapangan atau unjuk rasa yang sesekali melakukan kegiatan kritisi lewat goresan tangan yang dimuat oleh berbagai pewarta atau media sosial dan senang melakukan diskusi publik atau seminar terkait dengan topik materi penegakan hukum, termasuk terkait kondisi sosial masyarakat dan juga politik, serta kadang bersama kelompoknya FPI, GNPF Ulama atau bersama – sama bergabung menggunakan atribut komunitas lainnya yang konsentrasi giat juangnya sama – sama dalam penegakan hukum, Munarman suka lakukan protes dalam kerangka kritik sosial dan kritisi terhadap pelaksanaan atau sistem perpolitikan tanah air. Tentunya itupun tidak merupakan kegiatan rutinitas yang asal- asalan atau pokoknya bersuara, bukan karena ketidak sukaan belaka atau melulu pandangan subjektifitas, ia akan unjuk rasa sebagai bentuk protes atau menorehkan tulisan sebagai kritikan hanya jika ia dan kelompoknya sesama aktivis merasakan ada sebuah kekeliruan dalam penerapan hukum pada satu objek permasahan, sehingga dijadikan topik pokok bahasannya dengan dan melalui diskusi ilmiah, seminar, kritik melalui tulisan ilmiah sebagai fungsi perannya sebagai individu dan atau kelompok sebagai wujud aplikasi dari dan merupakan bentuk sosial kontrol, dan kadang ia Munarman menggunakan hak individu dan kelompoknya menggunakan hak melalui langkah protes dengan cara unjuk rasa, bila memang ia Munarman rasakan memang dibutuhkan, tepat waktu untuk mengingatkan yang keliru dan atau yang dipandang salah olehnya pada sebuah pokok pengambilan keputusan atau kebijakan pemerintah sebagai penyelenggara negara yang dirinya tidak sependapat dan dirinya memiliki argumentasi kuat karena disertai dengan dalil regulasi yang ada dan berlaku atau punya kesamaan pendapat yang sudah ramai menjadi sebuah penolakan publik. Aktifitas Munarman lainnya termasuk menghadiri undangan diskusi publik terbuka maupun tertutup dan atau mengadakan diskusi atau pertemuan, lalu dirinya tentu sah untuk mengeluarkan pendapat pribadi dan pendapat hukumnya. Dan kesemuanya daripada yang ia lakukan tersebut merupakan bagian dari perintah sistem perundang – undangan atau wujud pengejawantahan atau pelaksanaan perintah hukum positif dengan dan tak terlepas daripada yang dimaknai daripada pemahaman asas fiksi hukum. Sampai disini jika diamati, dipelajari giat dan aksi Terdakwa Munarman melalui segala aktifitasnya tersebut diatas, maka dimana letak salahnya seorang Munarman ? lalu jika dikaitkan aktifitas giat juang Munarman sehingga berujung lahirnya sebuah proses penagkapan dan penahanan oleh penyidik, kemudian menjadi proses dakwaan dari JPU, kemudian dakwaan terbitkan Surat Tuntutan. Maka jika dakwaan dan atau tuntutan a quo dihubungkan dengan perspektif hukum atas dasar asas hukum yang dikenal dan sebagai pedoman hukum dan atau termasuk pemahaman hukum positif yang mesti wajib dilaksanakan, lalu tentunya jika dihubungkan dengan subtantif tuntutan, tentunya menjadi sebuah peristiwa yang tranparan bahwa objek perkara yang menjadi dakwaan dan atau tuntutan merupakan wujud implikasi hukum yang dilakukan seorang aktivis Munarman dengan cara turut dalam ” peran serta masyarakat ” yang hakekatnya sebagai perintah daripada sistim hukum atau perundang – undangan, sehingga atifitas Munarman subtansial semata – mata melulu demi tegaknya kebenaran serta menunjang kewibawaan ( pemerintahan ) negara dalam menerapkan atau melaksanakan hukum dan atau melakukan kebijakan politik dan hukum, dan ini dilakukan Sdr. Munarman secara nirlaba karena tanpa berbayar. Sehingga subtansial-nya hanya demi menjaga marwah dan kehormatan dan kemuliaan pemerintah sah negara ini dihadapan semua warga negaranya.
Semestinya pejabat pemerintahan sebagai pejabat publik harus lebih dulu atau setidaknya bersamaan dalam pelaksanaan kewajiban hukum, selain sebagai kontrak sosial terhadap tanggung jawab moral selaku pejabat publik ( eksekutif dan legislatif ) termasuk utamanya para pejabat publik penegak hukum sebagai bagian dari penyelenggara negara sesuai tupoksi masing-masing untuk menciptakan atau terciptanya kesejahteraan ekonomi, keadilan sosial, pembangunan hukum atau penegakan hukum yang berkeadilan, berkepastian hukum dan bermanfaat bagi tanah air, rakyat bangsa dan negara Indonesia. Namun akibat daripada hukum positif yang hakekatnya dibebankan secara equal kepada setiap orang bangsa ini. Beberapa diantarnya hasil temuan kritisi para aktivis ada juga yang ternyata terbukti ada faktor kekeliruan dari kebijakan atau putusan penyelenggara negara ( literatur tidak khusus narasi ini ) atau bahkan karena faktor kesengajaaan atau pelencengan beberapa kebijakan politik dan pelaksanaan penegakan hukum. Maka pada intinya semua kegiatan terkait aksi – aksi Munarman dan Munarman – Munarman lainnya ( para aktivis yang ada ditanah air ) tentu menjadikan ” Para Munarman ” tersebut merupakan figur yang ideal, karena justru yang mereka lakukan dan perbuat atau laksanakan, hal ini merupakan logika hukum yang bersifat positif dari sisi konsekuwensi moral dan hukum,oleh karenanya pelaksanaan aktifitas Munarman dan aktivis lainnya didasari perintah hukum positif,* hal ini terdapat atau dapat dibuktikan dalam bentuk rujukan akan beban hukum atau yang prinsipnya harus dan atau dapat di-implementasi-kan oleh semua WNI, sekalipun sekedar monitoring, artinya walau tanpa adanya temuan pelanggaran tetap ada ruang kebolehan dan atau kewajiban terhadap semua WNI tanpa terkecuali oleh sebab dan akibat daripada adanya sistem hukum positif
Legal Standing TDW Munarman Terhadap Semua Aktifitas Juangnya Juga Merupakan Payung Hukum Bagi Dirinya dan Setiap WNI
Fasilitas hukum dari aktifitas atau giat juang Sdr. Munarman adalah berkenaan dengan hukum positif dan semua payung hukum sebagai legal standing atau merupakan asas legalitas tersebut terdapat dalam beberapa undang – undang positif ( hukum yang mesti berlaku ), yakni sistem Konstitusi Dasar NRI UUD. 1945 , Jo. UU. RI No. 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum Jo. UU.RI. No. 39 Tahun 1999 Tentang Komnas HAM. Jo. PP. No. 68 Tahun 1999 , UU. RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Pejabat Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Bebas Dari KKN. Jo. UU. RI No. 31 Tahun 1999 Jo. UU. RI No. 21 Tahun 2001 Tentang Perubahan UU RI . No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor dan UU. RI. No. 19 Tahun 2021 Tentang Perubahan UU. RI. No. 30 Tentang KPK, dan UU . RI No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri dan PP. No. 43 Tahun 2018
Sehingga asas legalitas atau legal standing daripada undang- undang yang memuat perintah tarhadap ” Peran Serta Masyarakat ” yang ada, terdapat pada semua sistim hukum yang disebutkan pada semua konsitusi atau UU. tersebut diatas, sebagai yang membuktikan peran dimaksud adalah merupakan undang – undang. Sehingga dimaknai secara hukum adalah sebagai hukum positif yang harus dihormati serta dipatuhi untuk dilaksanakan, maka ideal jika semua perintah perundang-undangan yang ada tersebut dilaksankan oleh semua WNI. *Salah satunya yang mematuhi hukum positip tersebut diatas adalah TDW. Munarman, sehingga baginya patut diteladani serta diberi apresiasi bukan ditangkap,ditahan, didakwa serta dituntut oleh badan peradilan*
Agar lebih fokus pembenaran hukum atas perbuatan Sdr. Munarman sebagai seorang Terdakwa tentang aktifitas juangnya dalam ” Peran Serta Masyarakat ” sebagai yang hatus dimaknai secara hukum positif adalah perbuatan berdasarkan perintah undang-undang (dibaca : yang harus diketahui atau dianggap tahu sesuai fiksi hukum ) sehingga memang sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap WNI
Bahwa Sdr. Munarman telah melakukan Aktifitas atau giat juang, jika dirinci yang telah disebutkan diatas, sebagai berikut :
1. Suka lakukan protes dalam kerangka kritik sosial dan kritisi terhadap pelaksanaan atau sistem perpolitikan tanah air.
2. unjuk rasa sebagai bentuk protes atau menorehkan tulisan sebagai kritikan hanya jika ia dan kelompoknya sesama aktivis merasakan ada sebuah kekeliruan dalam penerapan hukum pada satu objek permasahan
3. Diskusi hukum, seminar, kritik melalui tulisan ilmiah sebagai fungsi perannya sebagai individu dan atau kelompok sebagai wujud aplikasi dari dan merupakan bentuk sosial kontrol, yang menggunakan hak individu dan kelompoknya
4. Hak protes dengan cara unjuk rasa, yang sudah ramai menjadi topik atau objek rasa sebuah penolakan publik
5. Menghadiri undangan diskusi publik terbuka maupun tertutup dan atau mengadakan diskusi atau seminar atau sekedar pertemuan
6. Pendampingan hukum diluar maupun didalam lembaga peradilan
A. Bahwa perbuatan TDW. Munarman Berdasarkan Konstitusi Dasar UUD. 1945 terkait semua perbuatannya yang diantaranya adalah sebagai ” tertera didalam tuntutan Sdr. JPU ” karena berawal dari mengahadiri sebuah atau beberapa kali pertemuan dan memberikan pendapatnya kepada audiens atau peserta yang hadir, namun kenapa bisa berujung pelaku teroris ? Terkait apapun pendapatnya, jika negatif secara hukum apakah ada langkah lanjutnya. Adakah pertemuan lanjutan yang bersipat khusus atau koordinasi
1.Ilustrasi hukum yang mengacu KUHP ( UU. RI. No. 1 Tahun 1946 ) sebagai rujukan UUD. 1945 terkait undang- undang dibawahnya, sesorang berkata kepada seorang atau beberapa orang kawannya. ” Mari kita bunuh dia, sambil mengacungkan pedangnya dari dalam rumah, namun dirinya tidak keluar rumah, serta tidak mendatangi selangkahpun kepada seseorang yang ia tuju yang entah dimana keberadaannya “. Maka terhadap orang yang mengajak, pemegang parang, tentu tidak dapat dihukum.
2. Seorang yang memberikan pendapat tentu bukan berarti pendapatnya harus tepat dan benar. Jika memang seorang berpendapat mesti selalu benar mengapa ada istilah perbedaan pendapat, apa makna daripada subtansi ” keliru atau salah atau benar ? Jika tidak pernah ada kata beda pendapat ? ” Ini logika etimologi dan fakta nyata kehidupan alam
3. Maka ketika dikonfirmasi dan disanding dengan merujuk ” peran serta masyarakat ” yang Ia lakukan, serta dalam semua kategori dan karakter giat juangnya dari nomor 1 sampai dengan 6 adalah wujud atau manifestasi daripada pelaksanaan manyampaikan pendapat di muka umum serta dijamin halal oleh Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-undang
B. Selanjutnya pada alinea terakhir huruf A di teapat pada frase” undang – undang ” dapat dilihat, dibaca dan dikaji serta dimaknai sebagai pengetahuan hukum bagi masyarakat umum dan dapat menjadi pertimbangan pembenaran hukum sebagai penolakan atas dakwaan dan tuntutan JPU karena dimaknai ” perbuatanTDW. Munarman justru dirinya merupakan seorang individu dari seorang WNI yang patuhi hukum sebagai wujud aktifitas yang merupakan pelaksanaan ” peran serta masyarakat ” atau langkah aplikasi daripada perintah hukum dari sistim perundang – undangan NRI.
Pasal- pasal ” peran serta masyarakat ” dimaksud yang dijadikan payung hukum atau asas legalitas rekomendasi memang nyata empirik dan memenuhi katakter pasal – pasal pada beberapa undang – undang ( terkait Peran Serta Masyarakat ) yang kesemuanya undang undang ini merujuk secara hirarkis tertinggi menurut sistem perundang undangan yaitu UUD. 1945 :
1.Undang-undang (UU) No. 9 Tahun 1998
Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum ;
2. UU. RI No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Bebas dari KKN.
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 8
(1) Peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan negara merupakan
hak dan tanggungjawab masyarakat untuk ikut mewujudkan
Penyelenggara Negara yang bersih.
(2) Hubungan antara Penyelenggara Negara dan masyarakat dilaksanakan
dengan berpegang teguh pada asas-asas umum penyelenggaraan
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Pasal 24
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai.
(2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan
partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya
untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan
penyelenggaraan negara sejalan dengan tuntutan perlindungan,
penegakan, dan pemajuan hak asasi manusia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 25
Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum,
termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3. UU. RI No.39 Tahun 1999 Tentang HAM.
Pasal 14
(1) Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi yang diperlukan
untuk mengembangkan pribadinya dan lingkungan sosialnya.
(2) Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah,
dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis sarana yang
tersedia
Pasal 23
(1) Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan
politiknya.
(2) Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan
menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan
memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertban, kepentingan
umum, dan keutuhan bangsa.
Pasal 24
(1) Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk
maksud-maksud damai.
(2) Setiap warga negara atau kelompok masyarakat berhak mendirikan
partai politik, lembaga swadaya masyarakat atau organisasi lainnya
untuk berperan serta dalam jalannya pemerintahan dan
4. Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 1999
Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Negara
5. UU. RI.No. 2O Tahun 2001 Tentang Perubahan UU.RI.No.31 Thaun 1999 Tentang Pemberantasan Tundak Pidana Korupsi
Pasal 9
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
diwujudkan dalam bentuk :
a. hak mencari, memperoleh, dan memberikan informasi tentang penyelenggaraan negara;
b. hak untuk memperoleh pelayanan yang sama dan adil dari
Penyelenggara Negara;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab
terhadap kebijakan Penyelenggara Negara; dan
d. hak memperoleh perlindungan hukum dalam hal :
1). Melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b,
dan c;
2). Diminta hadir dalam proses Penyelidikan, penyidikan, dan disidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Hubungan antar-Penyelenggara Negara sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) berpegang teguh pada asas-asas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam
penyelenggaraan negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
6.UU. RI. No. 2 Tahun 2002 Tentang Polri
Pasal 42
(1) Hubungan dan kerja sama Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan badan, lembaga, serta instansi di dalam dan di luar negeri didasarkan atas sendi-sendi hubungan fungsional, saling menghormati, saling membantu, mengutamakan kepentingan umum, serta memperhatikan hierarki.
(2) Hubungan dan kerja sama di dalam negeri dilakukan terutama dengan
unsur-unsur pemerintah daerah, penegak hukum, badan, lembaga, instansi
lain, serta masyarakat dengan mengembangkan asas partisipasi dan subsidiaritas
(3) Hubungan dan kerja sama luar negeri dilakukan terutama dengan
badan-badan kepolisian dan penegak hukum lain melalui kerja sama bilateral
atau multilateral dan badan pencegahan kejahatan baik dalam rangka tugas
operasional maupun kerja sama teknik dan pendidikan serta pelatihan.
(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan (3)
diatur dengan Peraturan Pemerintah
7.PP No. 43 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Oleh karenanya beradasrkan semua sistem berikut pasal – pasal, apa yang terkait terhadap semua langkah giat juang TDW. Munarman, dengan merujuk semua sistim konstitusi yang ada perihal dan terkait ” Peran Serta Masyarakat ” tentunya setelah menguasai dan memaknai semua keterkaitan hukum positif sebagai landasan giat dan juang para aktivis, dalam hal ini Sdr. Terdakwa Munarman. Selain dirinya juga adalah seorang penegak hukum menurut UU. RI. No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat. *Oleh karenanya dibutuhkan keputusan Dewan Etik, jika dirinya punya kekeliruan dalam aktifitasnya dalam berperan ” dalam Peran Serta Masyarakat
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya terhadap tuntutan JPU. pada perkara Nomor 925/Pid.Sus/2021/ PN. Jkt.tim sangat perlu memaknai moralitas serta pertanggung jawabannya sehingga dapat menjiwai tentang makna fungsi hukum positif yang harus berlaku ( ius konstitum ) , sehingga UU. atau Hukum Positif tersebut bukan sekedar dimaknai sebagai hanya cita – cita yang mudah – mudahan berlaku ( ius konstituendum ) bagi WNI. Sehingga semua bangsa ini terlebih para aparatur penegak hukum ( Polri, Kejari, Para Hakim, Para Advokat ) selain peran serta masyarkat diatur dan dieprintahkan keterlibatannya didalam UU. yang mengatur, tentu sepakat dapat membedakan mana pejuang dan yang mana kriminal teroris, atau subjek hukum yang dapat dinyatakan sebagai terduga atau terdakwa pelaku teroris, yang jelas – jelas secara hukum dan adab dan atau dari sisi kemanusiaan teroris merupakan tindak kejahatan yang tidak bermoral dan kejahatan tersebut mendapatkan ancaman hukuman sesuai sistem hukum yang berlaku yakni sesuai dinyatakan oleh Undang – undang Tentang Teroris sebagaimana diatur oleh UU. RI. No. 5 Tahun 2018
Untuk itu seyogyanya JPU terkait perkara TDW Munarman serta Majelis Hakim agar memperhatikan serta mempertimbangkan semua sistem hukum terkait dakwaan dan perbuatan TDW. Munarman dan aktifitasnya selaku aktivis selama ini dari sisi kacamata payung hukum dan terkait perintah UU. Sebagai hukum positif sehingga implementasinya secara ideal merupakan wujud pelaksanaan peran serta masyarakat yang merupakan keharusan dan bukan sekedar himbauan kepada seluruh rakyat bangsa WNI NKRI dan terhadap tuntutan sangat dan amat dibutuhkan perhatian dan pertimbangan- pertimbangan hukum proritas Majelis Hakim yang Semoga Dimuliakan Oleh Allah, Tuhan yang Maha Kuasa Didunia Maupun ( Mahkamah ) Akhirat dengan segala pertimbangan yang konsen berpijak atas dasar referensi unsur – unsur sistem hukum sebagai motif atau yang menjadi latar belakang giat dan aksi juang TDW . Munarman. Dalam pemahaman hukum semuanya berdasar atas dasar sistem hukum terkait tentang kewajiban peran serta masyarakat sebagai keharusan untuk diberlakukan oleh setiap WNI
Dan selebihnya peristiwa persidangan di pengadilan dalam perkara pidana adalah penggalian sebuah dasar penghukuman terhadap manusia yang tidak boleh keliru atau haram untuk dikelirukan. Tuntutan harus bersandarkan demi keadilan ( gerechtigheid ) dan demi kepastian hukum ( rechtmatigheid ). Maka keadilan dan kepastian hukum hanya dapat lahir semata mata berdasarkan oleh fakta hukum yang terungkap dimuka persidangan sesuai kebenaran materil atau kebenaran yang sebenar-benarnya ( materiele waarheiid ) cukup itu, tidak boleh lebih daripada itu, tidak boleh menyentuh oleh sebab berbagai faktor diluar kepentingan penegakan dan wibawa hukum, wajib objektif dan imparial, tidak boleh dipengaruhi kepentingan daripada politik maupun kekuasaan atau intervensi oleh siapapun dan oleh pihak manapun
Penutup
Maka terakhir dari penulis sebagai seorang al fakir atau orang yang amat lemah, sebab tak memiliki kekuatan apapun selain mata, akal ( ilmu yang sedikit ) mata hati dan jari ini, mencoba menyampaikan pengetahuan sederhana ini, agar Para Hakim bertindak dengan memutus keadilan yang kelak akan berguna selain bagi fungsi dan wibawa hukum, itu sendiri juga pada diri Aktivis Munarman secara pribadi dan keluarganya, dan terhadap masyarakat serta tentunya bagi Hakim Majelis kelak di Mahkamah Akhirat oleh sebab hukum, pada diri Terdakwa Munarman terhadap objek perkara pidana a quo oleh sebab peran hukum yang dilakukannya memang diberikan kemerdekaan berkumpul dan kebebasan menyampaikan dan memberikan pendapat atas dasar perintah undang, selain perintah kewajiban untuk berperan sesuai hukum positif dalam ” peran serta masyarakat,” maka SULIT atau TIDAK AKAN DITEMUKAN SATU PUN UNSUR KESALAHAN atau tadi jikapun ada perbedaan pendapat atau kekeliruan pendapat hukum dari dan atau perlakuan yang salah, dikembalikan kepada hal terkait” apakah ada atau tidak kelanjutannya ? ” seperti ilustrasi hukum dalam artikel ini dengan contoh diatas ? atau jika adapun bukan perbuatan pidana oleh sebab wujud sebagai individu yang jatidirinya tunduk pada perintah dan pelaksanaan hukum positif, sehingga pantas secara hukum untuk dinyatakan dalam vonis yang amar putusan sebagai onslag ( perbuatan terbukti namun perbuatan yang dilakukan bukan sebuah tindak pidana )
Untuk semua itu penulis yakin selain narasi hukum sebagai persembahan ilmu yang mudah – mudahan dengan penuh harapan Majelis Hakim akan berlaku adil yang se-adil adilnya atau ex aequo et bono
Medio Mart 2022