Ada persamaan MotoGP 1997 dan MotoGP 2022 keduanya diseleggarakan saat situasi negara sedang tidak baik-baik saja. Tahun 1997, Krisis ekonomi sudah masuk 1 bulan sebelum penyelenggaraan MotoGP. Rupiah sudah melemah dan harga pokok terutama barang impor sedang naik.
Demikian dikatakan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat dalam pernyataan kepada redaksi www.suaranasional.com, Kamis (17/3/2022).
Kata Ahmad Nur Hidayat, Presiden Soeharto gagal memprediksi bahwa ternyata tidak lama dari selebrasi MotoGP 1997 tersebut, krisis ekonomi makin suram dan makin dalam. “Nasib Presiden Soeharto yang akhirnya setelah 8 bulan selebrasi motoGP 1997 itu jatuh dari kepresidenannya maka Presiden,” ungkapnya.
Bila Presiden Jokowi ingin berbeda dengan Nasib Presiden Soeharto yang akhirnya setelah 8 bulan selebrasi motoGP 1997 itu jatuh dari kepresidenan Presiden Jokowi harus lebih banyak memikirkan hal-hal yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
“Jokowi harus menghindari selebrasi yang hanya memenuhi kepuasan dan hajat elit tertentu,” papar Ahmad Nur Hidayat.
Tahun 2022, MotoGP diselenggarakan saat kelangkaan minyak terjadi dan ada ancaman kenaikan harga minyak akibat Perang Ukraina-Rusia.
“Dalam komunikasi publik terdapat persamaan 1997 dan 2022 dimana selebrasi motoGP dibuat sangat meriah untuk melupakan kesusahan yang sedang terjadi di publik,” paparnya.
Namun ada perbedaan selebrasi motoGP 2022 diselenggarakan ditengah adanya narasi pemerintah untuk melakukan penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden.
Ia mengatakan, pada 2022 Presiden membutuhkan momen untuk menaikan citra dan elektabilitasnya agar agenda penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden tersebut mendapat dukungan publik.
“Namun Presiden Jokowi kelihatannya jauh lebih cerdik dari Presiden Soeharto. Momen Selebrasi MotoGP dimanfaatkan untuk beberapa agenda. Sekali Mendayung, Dua-Tiga Pulau Terlampaui. Agenda peningkatan citra politik Presiden sekaligus agenda melupakan kesulitan publik yang sedang terjadi,” jelasnya.