Tertipu Jokowi

Smith Alhadar: Direktur Eksekutif Institute for Democracy Education (IDe)

Ketika Prabowo Subianto dipastikan maju sebagai capres dalam pilpres 2014 — dengan peluang menang cukup besar — Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang tidak suka membaca buku dan belum menunjukkan prestasi kerja di ibu kota tiba-tiba saja menjadi media darling. Narasi-narasi positif, kadang malah bombastis, terkait mantan wali kota Solo ini diamplifikasi. Karakter lugas, sederhana, dan kerakyatan Jokowi diperkuat. Integritas dan kebaruannya dalam konteks reformasi menemukan relevansinya ketika pasca reformasi Indonesia masih dipimpin para elite di pusat.

Dus, Jokowi diuntungkan menghadapi Prabowo yang bau Orde Baru-nya sangat menyengat. Mantan Panglima Kostrad yang diberitakan hendak melakukan kudeta terhadap Presiden B.J. Habibie ini adalah menantu mantan Presiden Soeharto. Ketika itu ia juga diberitakan terlibat penculikan sejumlah mahasiswa. Fakta ini menakutkan pendukung reformasi. Indonesia bisa kembali ke era kegelapan Orba bila tokoh yang tak punya track record demokrasi ini berkuasa. Terlebih, perkembangan bangsa akan terhambat karena PBB mengeluarkan surat pencekalan terhadapnya. Presiden sebuah negara yang diisolasi dunia internasional tentu akan merusak negara itu sendiri. Semua ini membuat media tak lagi memegang prinsip “cover both side” dalam memberitakan tentang Prabowo. Sebaliknya, media pun mengabaikan sikap kritis terhadap Jokowi. Integritasnya yang cacat pun ditutupi.

Pertama, klaim Jokowi bahwa siswa SMK di Solo telah berhasil menciptakan mobil SMK di bawah sponsornya ketika menjabat wali kota Solo ternyata bohong belaka. Sebenarnya ketika itu mudah saja wartawan menginvestigasi berita heboh itu untuk membuktikan kebenarannya. Namun, ketakutan pada Prabowo — juga khawatir kredibilitas Jokowi akan dipertanyakan — membuat media menutup mata atas disinformasi yang datang dari Jokowi itu. Anehnya, sampai sekarang, Jokowi tidak merasa bersalah atas kebohongan publik yang dibuatnya itu. Media pun tak berusaha membongkarnya. Kedua, Jokowi mengkhianati janjinya pada Prabowo untuk tidak akan maju sebagai calon presiden. Memang secara moral Jokowi berutang budi pada Prabowo yang membawanya ke Jakarta untuk bertarung melawan gubernur petahana Fauzi Bowo dalam pilgub 2012. Prabowo bahkan harus bolak-balik menemui Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri untuk membujuk beliau agar PDI-P ikut mengusung Jokowi bersama Gerindra. Awalnya Mega tidak yakin pada Jokowi dan cenderung mendukung petahana yang punya elektabilitas tinggi. Namun, ketika elektabilitas Jokowi terus meningkat — salah satunya berkat pakar strategi pemilu asal Amerika Serikat yang disewa Prabowo — Mega yang pragmatis berbalik mendukung Jokowi. Kerja sama PDI-P dan Gerindra ini berhasil memenangkan Jokowi. Namun, kemenangan Jokowi ini berakibat fatal bagi Prabowo yang tidak menyangka Jokowi akan “menusuknya” dari belakang seperti pengkhianatan Brutus terhadap Julius Caesar. Dengan mencampakkan janjinya pada Prabowo, Jokowi terima pencalonannya sebagai presiden oleh PDI-P dalam pilpres 2014 yang hanya menghadapkan pasangan Jokowi dan pasangan Prabowo. Hasilnya kita semua tahu: Jokowi keluar sebagai pemenang mengalahkan Prabowo.

Dua kasus di atas sebenarnya telah cukup menggambarkan karakter Jokowi yang sesungguhnya. Dia sebenarnya bukan tukang mebel yang polos, tapi seseorang yang ambisius, yang bersedia melakukan apa saja demi ketenaran dan kekuasaan. Lihat, demi menggapai ambisinya, mudahnya ia berjanji hanya untuk tidak ditepatinya. Tak kurang dari 66 janjinya kepada publik selama kampanye dalam pilpres 2014 untuk ia lupakan begitu saja. Janji menyelesaikan pelanggaran HAM berat di masa lalu bukan hanya tak dipenuhinya, tapi justru terjadi kekerasan dan pembunuhan di masa pemerintahannya tanpa penegakan hukum yang fair. Komisi Pemberantasan Korupsi yang dibentuk pasca reformasi untuk memberantas korupsi justru dilemahkan. UU Cipta Kerja yang mengibiri hak-hak buruh disahkan. UU IKN yang menyita porsi besar APBN dipaksakan dengan melanggar janjinya sendiri bahwa dana APBN tidak dipakai untuk membangun infrastruktur IKN yang dimulai April mendatang. Pelanggaran janji untuk tidak menggunakan dana APBN termasuk fatal karena utang negara sudah menumpuk dan penanganan pandemi covid-19 untuk menyelamatkan ekonomi rakyat masih jauh dari selesai. Didukungnya putera dan menantunya untuk merebut kekuasaan di kota Solo dan kota Medan melalui pilkada — yang tak satu pun presiden Indonesia sebelumnya melakukannya — merupakan pelanggaran semangat reformasi yang hendak menghapus nepotisme. Semua ini lebih jauh menggambarkan siapa Jokowi sebenarnya.

Ternyata dia bukan representasi rakyat sebagaimana citra dirinya yang terbangun selama ini. Memang penampilan lahiriahnya, yang terlihat dari wajah, tawa, dan busana yang dikenakannya, Jokowi terlihat sebagai pemimpin yang bersahaja. Namun, sisi batiniahnya tidak demikian. Yang sedikit dari banyak kasus yang saya paparkan di atas, Jokowi bukan pemimpin kerakyatan. Dia, dengan kesadaran dan kemauannya sendiri, telah menjelma menjadi kacung oligarki. Dan yang dia nikmati statusnya itu. Pelemahan KPK, UU Cipta Kerja, dan pemindahan IKN yang dilakukan tidak tepat waktu — untuk menyebut beberapa contohnya saja — dengan jelas memperlihatkan keberpihakannya pada kepentingan oligarki parpol dan oligarki ekonomi. Pemindahan IKN dan penciptaan dinasti politik dengan menyokong keluarga dekatnya menjadi penguasa daerah juga memperlihatkan bagaimana Jokowi lebih mementingkan kepentingan diri dan keluarganya ketimbang kelangsungan hidup NKRI yang demokratis dan inklusif, yang diperjuangkan mahasiswa dengan darah dan air mata. Ya, di masa Jokowi, KKN kembali lagi. Seorang akademisi terpaksa melaporkan tentang adanya kerja sama antara anak-anak presiden dengan perusahaan raksasa yang terlibat perusakan hutan sehingga harus berhubungan dengan pengadilan. Akademisi itu menduga kuat, perusahaan itu rela berinvestasi di perusahaan anak-anak prediden senilai kurang daripada Rp 100 miliar demi terhindar dari denda bernilai triliunan rupiah.

Kendati hasil survei Litbang Kompas pada 17-30 Januari lalu memperlihatkan tingginya kepuasaan publik (73,6 persen) terhadap kinerja pemerintahan Jokowi, sesungguhnya — kecuali pembangunan infrastruktur yang bisa dilakukan oleh siapa saja — tidak ada prestasi Jokowi yang patut dibanggakan. Lihat, selama berkuasa dalam delapan tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia di era Jokowi sekali pun tak pernah menyamai pertumbuhan ekonomi era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Malah, selama pandemi pertumbuhan ekonomi kita nyungsep di bawah nol. Memang penyebab utamanya adalah pandemi covid-19 yang dialami seluruh negara di dunia, tapi kinerja rezim Jokowi juga buruk. Untuk mendapat gambaran yang jelas dan dapat disaksikan semua orang terkait buruknya kinerja tersebut adalah langkanya minyak goreng yang telah berlangsung selama berbulan-bulan. Harus dicatat bahwa Indonesia adalah produsen minyak goreng terbesar di dunia. Tapi di mana-mana rakyat harus mengantri sampai ribuan meter untuk mendapatkan harga minyak goreng yang telah melejit tak terkendali. Aneh, untuk urusan minyak goreng yang sederhana saja, rezim Jokowi tidak becus. Pemerintah telah mengemukakan berbagai alasan — termasuk menyalahkan rakyat yang dikatakan menimbun minyak goreng — terkait kisruh ini, namun tidak ada yang masuk akal dan bisa diterima secara moral. Di masa rezim Soekarno, memang kerap terjadi kelangkaan bahan pokok, tapi di luar perhatian rezim yang asyik dengan isu politik, pada era itu Indonesia memang masih sangat miskin. Di puncak kekuasaan Soekarno, pendapatan per kapita Indonesia hanya 80 dollar AS. Sekarang hampir 4.000 dollar. Hampir lima puluh kali lebih kaya dari era Soekarno. Maka krisis minyak goreng, bahan pokok rakyat, tak bisa ditafsir lain kecuali keamatiran kinerja rezim Jokowi. Kita sulit percaya bahwa krisis ini telah berjalan lima bulan tanpa pemerintah mampu mencari jalan keluarnya yang mestinya sederhana. Presiden lebih sibuk urus IKN dan wacana perpanjangan masa jabatan presiden.

Bila hasil survei Litbang Kompas dapat diandalkan, saat krisis minyak goreng telah berlangsung hampir tiga bulan, maka fakta ini menunjukkan ketiadaan korelasi antara kinerja rezim Jokowi yang sesungguhnya dengan realitas di lapangan. Artinya, telah terjadi salah faham yang luas tentang Jokowi. Ia telah berubah menjadi mitos, yang menghipnotis akal sehat publik, termasuk para akademisi dan intelektual negeri ini. Orang tak menghubungkan krisis minyak goreng dan sikap serta beleid KKN rezim Jokowi yang saya paparkan di atas dengan keculasan dan buruknya kinerja rezim Jokowi. Publik baru mulai bangkit melawannya ketika ia mendukung wacana perpanjangan masa kekuasaannya. Tidak mungkin kita dapat menolak fakta bahwa Jokowi ingin berkuasa lebih lama sekalipun berpotensi melanggar konstitusi. Dulu, ketika ada pihak yang mengusulkannya berkuasa selama tiga periode, Jokowi menolak keras. Sekarang malah ia dukung wacana itu: perpanjangan masa jabatan untuk 1-2 tahun atau perpanjangan kekuasaan hingga tiga periode. Media Tempo mengungkapkan fakta bahwa usul perpanjangan kekuasaan presiden yang disampaikan tiga ketua umum parpol sesungguhnya datang dari istana. Hal itu diperkuat klaim Menko Marives Luhut Binsar Panjaitan bahwa wacana perpanjangan masa kekuasaan presiden didukung big data 110 juta rakyat membicarakannya.

Sayangnya klaim LBP ditolak mentah-mentah oleh para pakar media sosial yang menyebut wacana itu hanya dibicarakan kurang dari satu juta akun. Hasil survei lembaga survei yang kredibel, termasuk Litbang Kompas, menemukan mayoritas rakyat menolak perpanjangan masa jabatan presiden dan mendesak agar pemilu tetap dilakukan pada 14 Februari 2024 yang merupakan hasil kesepakatan KPU, DPR, dan pemerintah. Kecusali PKB, Golkar, dan PAN, semua parpol juga mengharamkan otak-atik konstitusi yang mestinya “sakral” hanya untuk memenuhi hasrat kuasa segelintir orang, terutama Jokowi. Pasalnya, tidak ada alasan yang memungkinkan perpanjangan masa presidensi melalui amandemen konstitusi. Kalau dipaksakan, amandemen konstitusi hanya untuk Jokowi dan oligarki merupakan penghinaan terhadap konstitusi an sich dan akal sehat publik. Di sini terlihat Jokowi tak punya persepsi diri — bahasa awamnya adalah tidak tahu diri — dalam mengambil kebijakan. Mestinya ia tahu kapasitasnya yang memang terbatas sekalipun, misalnya, rakyat menghendakinya berkuasa lebih lama dari yang dibolehkan konstitusi. Secara keliru dia menerjemahkan kepuasaan publik atas kinerja rezimnya sebagaimana hasil survei Kompas di atas sebagai keinginan rakyat untuk ia berkuasa lebih lama. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting pada Maret ini menunjukkan kepuasaan tinggi atas kinerja Jokowi hanya berupa penghormatan kepadanya, bukan keinginan agar ia berkuasa lebih lama. Apalagi, keinginan memperpanjang masa jabatan terkait erat dengan pemindahan IKN yang menjadi obsesi Jokowi sebelum turun takhta. Memang sebenarnya Jokowi tak punya prestasi apa pun yang dapat ia wariskan kepada publik Indonesia. Hanya IKN-lah satu-satunya yang tersisa, yang ia bayangkan dapat menjadi legacy-nya untuk dikenang rakyat Indonesia untuk selamanya.

Sayangnya, legacy mewah yang ia bayangkan itu juga ditolak para tokoh dan akademisi nasional karena dianggap tergesa-gesa, tidak bermoral, dan mengancam keuangan negara, ketika perang Ukraina berdampak besar bagi ekonomi nasional. Tetapi karena bukan George Washington, bapak bangsa AS yang menolak perpanjangan masa presidensinya demi masa depan demokrasi AS an sich, Jokowi malah berpikir sebaliknya bahwa perpanjangan masa jabatan presidensinya akan menguntungkan Indonesia. Visi sumir yang hari ini ditolak ramai-ramai oleh mayoritas besar rakyat Indonesia, termasuk mereka yang dulu mendukung presiden yang hanya suka baca komik Sinchan dan Doraemon ini. Memang berbahaya memberikan kekuasaan lebih lama pada orang yang tak punya visi dan komitmen pada Indonesia ke depan yang bebas korupsi, bebas nepotisme, bebas dari oligarki, dan bebas dari ambisi pribadi. Dan karena Jokowi tidak menyerah untuk menghentikan wacana perpanjangan masa jabatan presidensinya, tekanan lebih kuat dan tegas perlu dilakukan sampai ia sadar bahwa memang ia tidak ditakdirkan untuk menjadi orang besar Indonesia seperti keinginannya — keinginan yang tidak sesuai dengan kapasitasnya — karena ketokohan seseorang hanya datang dengan sendirinya dari kapasitas moral, intelektual, dan karya besar yang dihasilkannya secara genuine tanpa mengorbankan kepentingan rakyat banyak dengan melayani kepentingan oligarki. Yang juga harus diingatkan terus-menerus pada Jokowi adalah bahwa ambisi kekuasaannya dapat berujung pada krisis multidimensi yang bukan hanya akan membakar dirinya, tapi juga menenggelamkan Indonesia. Syukurlah salah faham terhadap Jokowi selama ini terkuak di ujung masa presidensinya. Ia memang bukan orang yang polos, sederhana, dan kerakyatan, melainkan sosok ambisius yang bersembunyi di balik jubah putih. Ia makin berbahaya karena dia tidak pintar tapi punya banyak kemauan yang kemudian dimanfaatkan oligarki cerdik untuk kepentingan mereka sendiri. Semoga Indonesia terselamatkan dari orang bodoh tapi tidak tahu dirinya bodoh. Orang bodoh yang berkuasa, dan ingin terus berkuasa, yang mimpinya tidak sesuai dengan kapasitasnya.

Tangsel, 16 Maret 2022

Simak berita dan artikel lainnya di Google News