Oleh: Damai Hari Lubis (Mujahid 212)
Terkait Kasus Satire ” Tempat Jin Buang Anak ” versi Edy Mulyadi/ Edy, pihak penyidik Bareskrim Polri tentunya telah mendapatkan penguatan dalil hukum dari Para Ahli Budaya dan Bahasa sehingga akibatnya berbuah Edy atau selaku subjek hukum yang menyatakan ” Tempat Jin Buang Anak ” langsung dikenakan hukuman dalam kurungan/ penjara di Bareskrim Mabespolri , di mana Edy selaku subjek hukum yang dikurung tersebut atau yang kini terkekang kemerdekaan dan kehidupannya, yang hanya oleh sebab persoalan yang amat sepele dizaman pemikiran moden dan abad digital, sekedar berhubungan dengan satire atau ungkapan sindiran melalui kalimat bias yang prinsipnya sebagai bentuk penolakan pada sebuah peristiwa kebijakan politik, maka perbuatan menghukum orang dalam kurungan atau memenjarakan orang dimaksud dapat dinyatakan sebagai bentuk pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah serta pelanggaran HAM.Oleh sebab bukti tehadap Edy subjek hukum yang langsung diberi sanksi hukuman, ( kurungan/ penjara) maka kelak mau gak mau suka gak suka, akhirnya proses peradilan tehadap Edy Mulyadi akan memasuki pada babak acara ” soal jin buang anak atau tahapan acara (pidana) pembuktian proses jin atau makna membuang anaknya dan kemana kebiasaan tempat membuangnya “, bahkan mungkin akhirnya akan timbul pertanyaan bagaimana terkait hukum waris pada masyarakat mahluk bangsa jin dan tata cara atau prosedural hukum adopsi anak jin
Entah kayak apa deskripsi jin & anaknya jin kelak dimuka persidangan. Para ahli yg menyatakan Edy melanggar hukum merupakan fakta yang menunjukan sinonim mereka melarang adat atau peradaban sebuah daerah atau yang merupakan bagian dari unsur kebudayaan, yang ” katanya ” justru ( mereka ) pemerintah akan terus menjaga kelestariannya bahkan hidupkan kembali adat budaya yang nampak menjelang punah ? Bahkan mereka turut menjadi aktor yang penjarakan Edy
Bagaimana mungkin satire yang merupakan sebuah seni berkata – kata ( linguistik ) yang dipolitisir menjadi delik, lalu entah bagaimana metode pembuktiannya dari pemenuhan unsur unsur tindak pidana dimaksud jika dihubungkan dengan pola atau cara- cara subtantif tindak pidana tersebut dilakukan oleh si pelaku Edy, sementara benci yang diakibatkan juga merupakan perbuatan pidana, sekurang – kurangnya tidak elok menurut adab karena disampaikan melalui unsur reaksi otot fisik ( contra due proccess hukum ) karena muatan narasinya ” akan menumbak, memotong tubuh si pelaku Edy “. Sedangkan Edy melaksanakan demo atau unjuk rasa sebagai peran serta masyarakat yang menolak melalui pola ungkapan suara jiwa juga yang sebenarnya secara fakta otomatis mewakili banyak orang atau kelompok daripada masyarakat bangsa ini atas ketidak setujuan terhadap sebuah objek atau wujud kebijakan dan politik pembangunan pemindahan Ibukota Negara Baru/ IKN. B di Kalimantan Timur , yang oleh dia Edy sebagai seorang WNI yang mewakili banyak orang yang sefaham atau sependapat dengan dirinya atau yang juga sama – sama menolak terhadap kebijakan pemerintahan ( eksekutif ) dan para ( legislatif ) anggota parlementer yang nota bene adalah wakil ia Si Edy sendiri dengan cara berkarakter ilmiah ( sertakan data dan fakta ) serta santun atau berseni dalam penyampaiannya, selain selebihnya perilaku yang ia perankan dilindungi oleh sistem konstitusi ( batas normatif) tentang kemerdekaan menyampaikan pendapat dimuka umum. Namun justru yang ada berbalas dari kelompok yang sejatinya merupakan pendukung program eksekutif terkait IKN. B di Kalimantan Timur , mereka marah bahkan ada narasi sumbang aroma propokatif dan cukup mengerikan, seolah ada kelompok akan menganiaya dengan berbagai gambaran akan menggunakan klewang dan tumbak, terhadap Edy Mulyadi, ada juga narasi – narasi atraktif tidak jelas lainnya seolah akan melakukan ” santet melalui jin – jin sungguhan untuk membunuh Edy ? ” .
Tentunya “pantun berbalas ” ini jauh lebih kasar dengan deskripsi
ungkapan yang patut diduga dapat memenuhi unsur – unsur rasa kebencian yang dilarang oleh undang undang sebagai buntut causalitas yang ditimbulkan, tapi amat disayangkan lacur, malah didukung oleh para punggawa atau aparatur pemerintah negara, negerinya Edy Mulyadi, negeri milik bersama – sama seluruh WNI selalu mandator. Bentuk dukungan oleh Penyidik Bareskrim Mabespolri selaku aparatur melalui kebijakan ” politik ” melakukan penahanan atau penjara terhadap Edy Mulyadi kemarin hari Senin, 31 Januari 2022 sebagai langkah awal dalam proses hukum. Jika flashback / kilas balik ? bagaimana pula dengan berbagai ” satire ” yang keluar dari mulut Sukmawati Soekarno Putri, Ade Armando, Abu Janda juga Denny Siregar ? Dari sisi komparasi peristiwa hukum dan penegakannya yang semestinya due procces serta equal ?
Pasalnya ketika para ilmuwan seni bahasa dan ahli hukum ikuti kehendak politik fragmatis sebagai bentuk dukungan kepada sebuah pihak atau kelompok tertentu ( oligarkis ) yang tentu memiliki segudang kepentingan dan keberuntungan, maka petaka akibat fenomena kepentingan politis fragmatis ini akan memproduksi cacat negatif ilmu pengetahuan yang berkepanjangan serta akan banyak melahirkan ” para korban ” oleh sebab faktor kebutuhan stekeholder yang vital butuh dukungan akan asas kepentingan dan keberuntungan mereka”.
Sungguh penerapan edunisasi yang tidak bermoral dari orang atau kelompok orang yang seharusnya menjunjung tinggi serta selalu wajib mengedepankan ilmu pengetahuan, logika dan atau nalar sehat
Edunisme = pemikiran edan atau faham tidak sehat