Berdasarkan riset munculnya radikalisme atau ekstremisme disebabkan oleh ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi serta politik.
“Kalau menilik banyak hasil riset, bahwa radikalisme atau ekstremisme yang terjadi di Indonesia secara determinan bukan disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang radikal atau ekstrem, tapi lebih banyak disebabkan oleh ketimpangan dan ketidakadilan ekonomi dan politik,” kata Rektor Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Ma’mun Murod Al Barbasy kepada redaksi www.suaranasional.com, Kamis (27/1/2022).
Kata Ma’mun Murod, ketidakadilan ekonomi dan politik yang diciptakan dan dipertontonkan secara demonstratif oleh sebagian elit politik dan segelintir orang yang kerap disebutnya sebagai kaum oligark. “Baik oligarki ekonomi maupun oligarki politik,” jelas Ma’mun.
Ma’mun juga mengatakan, penggunaan term deradikalisasi justru mempunyai kecenderungan mengambil posisi ekstrim lainnya yang berdiri saling berseberangan.
Berbeda dengan moderasi beragama yang mencoba mengambil “jalan tengah”, merangkul, dan mendamaikan, maka kerja-kerja deradikalisasi justru cenderung saling berhadapan (vis a vis) antara mereka yang dicap sebagai radikal atau ekstrem dengan mereka yang menyebut diri mencoba melakukan kerja-kerja deradikalisasi.
“Sehingga sejatinya antara upaya untuk melakukan deradikalisasi tak berbeda jauh dengan mereka yang diberi label radikal, yaitu sama-sama mengambil titik (bipolar) ekstrem yang saling berseberangan dan vis a vis,” papar Ma’mun.
Realitas yang terjadi di Indonesia saat ini, apa yang sering disebut atau menyebut dirinya sebagai kelompok moderat (tawasuth) yang mencoba memoderasi sikap-sikap radikal atau ekstrem dalam beragama, justru terkadang cenderung mengambil posisi berhadapan dengan kelompok yang mencoba dimoderasi.
“Dan ketika yang dimaksud moderasi beragama tapi dalam praktiknya justru vis a vis dengan kaum radikalis atau ekstremis, maka sebenarnya tidak tepat untuk disebut sebagai moderasi beragama,” jelas Ma’mun.
Kata Ma’mun, kegaduhan dan polarisasi keberagamaan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir tidak menggambarkan adanya ikhtiar untuk melakukan moderasi beragama.
“Yang ada dan terjadi justru adanya rivalitas yang saling berhadapan antara kelompok ekstrem atau radikal yang satu berhadapan dengan kelompok ekstrem atau radikal lainnya,” pungkasnya.