Jadi Ketua Pansus PCR, Fahira Idris: Agar Clear dan Tidak Jadi Bola Liar

Anggota DPD RI yang juga Senator DKI Jakarta Fahira Idris terpilih sebagai Ketua Panitia Khusus (Pansus) Polymerase Chain Reaction (PCR). Pembentukan pansus ini merupakan respon cepat DPD RI atas berbagai persoalan bangsa yang menjadi concern atau perhatian besar dari seluruh rakyat salah satunya terkait PCR yang sejak awal pandemi hingga detik ini menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat. Dalam memimpin Pansus PCR, Fahira didampingi tiga orang wakil ketua yaitu Wakil Ketua I Elviana (Senator Jambi), Wakil Ketua II Hasan Basri (Senator Kaltara) dan Wakil Ketua III Angelius Wake Kako (Senator NTT).

Fahira Idris mengungkapkan, isu PCR di masyarakat, dinamika begitu tinggi. Sementara di media massa isu PCR ini juga demikian masif diulas. Bahkan, dinamika isu PCR yang lebih tinggi lagi bisa ditemui di berbagai platform sosial media.

Dinamika yang terjadi terkait PCR ini, salah satunya adalah soal harga tes PCR yang dinilai banyak pihak mengindikasikan ada kekeliruan kebijakan. Situasi ini menyebabkan munculnya dugaan ada sejumlah pihak yang memanfaatkan pandemi ini untuk mengeruk keuntungan lewat tes PCR. Namun, Pemerintah juga meyakini bahwa penetapan dan evaluasi harga PCR sudah sesuai aturan dan tidak ada pihak manapun yang diuntungkan secara komersial atas penetapan tarif PCR di Indonesia.

“Kehadiran Pansus PCR ini sebagai ikhtiar mencari kebenaran agar isu ini terang benderang dan tidak simpang siur. Sebagai wakil rakyat, kami punya tanggung jawab konstitusional dan tanggung jawab moral untuk menelusuri soal PCR ini agar semuanya clear dan tidak menjadi bola liar,” ujar Fahira Idris di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta (20/1).

Menurut Fahira, pansus ini menjadi ikhtiar DPD RI untuk melakukan identifikasi dan klarifikasi, menyajikan peta substansi persoalan dan memberikan masukan, pemikiran, gagasan, serta rekomendasi terkait dugaan kebijakan PCR yang membebani publik khususnya menyangkut transparansi dan akuntabilitas serta isu konflik kepentingan. Hal yang dipersoalkan publik bukan dari isu kesehatan atau kebijakan tes PCR untuk menanggulangi pandemi, tetapi kebijakan negara yang tidak jelas dan berubah-ubah khususnya menyangkut biaya. Selain itu, masyarakat menilai ada dimensi bisnis yang tidak transparan dan akuntabel.

“Setidaknya ada dua persoalan utama yang akan ditelusuri oleh Pansus PCR DPD RI. Pertama, apakah regulasi yang ada di bidang kebijakan PCR telah memadai dan efektif serta fair, transparan dan akuntabel dalam memastikan kepentingan masyarakat terjamin. Kedua, apakah terdapat konflik kepentingan dari penyelenggara negara di dalam kebijakan bisnis PCR khususnya dikaitkan dengan dampaknya bagi kesejahteraan masyarakat dalam akses kesehatan,” pungkas Fahira Idris.

Simak berita dan artikel lainnya di Google News