Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang menyetujui RUU Ibu Kota Negara (IKN) menunjukkan demokrasi sontoloyo. Lembaga wakil rakyat tidak mencerminkan perwakilan dari suara masyarakat.
“Persetujuan DPR atas RUU IKN adalah daftar terbaru praktek-praktek demokrasi sontoloyo,” kata Guru Besar ITS Prof Daniel Mohammad Rosyid dalam artikel berjudul Demokrasi Sontoloyo, Kamis (20/1/2022).
Kata Daniel, kesontoloyoan itu dimulai sejak UUD 45 diobrak-abrik secara ugal-ugalan menjadi UUD2002. Misi pokok amandemen itu adalah agar sistem MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat dihancurkan melalui sistem pilpres dan pilkada langsung.
“Secara perlahan tapi pasti keterpilihan menggusur keterwakilan. Keterwakilan itu makin hilang saat melalui serangkaian UU Politik, tatacara pemilihan eksekutif itu semuanya diatur oleh partai politik. Suara rakyat hanya sampai di bilik suara Pemilu, tidak pernah sampai ke parlemen,” ungkapnya.
Para cukong tahu lalu segera membeli saham partai politik itu. Partai politik di negeri ini adalah satuan yang melakukan jual beli kepentingan politik bernilai triliunan rupiah. Akhirnya partai politik pun bisa dikendalikan untuk melayani kepentingan cukong, bukan konstituen partai politik itu.
“Jadilah oligarki. No more no less. Katanya mau meniru AS sebagai kampiun demokrasi, tapi kultur partai politik di negeri ini belum memenuhi syarat bagi demokrasi ala AS itu,” paparnya.
Tiga agenda reformasi, yaitu pemberantasan korupsi, demokratisasi dan desentralisasi, kini tinggal omong kosong. Rezim saat ini, justru memanfaatkan pandemi untuk memperlemah agenda reformasi itu.
“Niat memeratakan pembangunan diwujudkan dengan memindahkan IKN ke Kaltim, tapi otonomi daerah justru konsisten dilemahkan, lalu terus membajak demokrasi dan membiarkan korupsi terselubung melalui maladministrasi publik,” pungkasnya.